Bolehkah Potong Rambut atau Kuku saat Junub? Ini Penjelasan Ulama
Pertanyaan mengenai hukum memotong rambut atau kuku dalam keadaan junub (berhadas besar) sering menjadi pembahasan , berikut penjelasannya.
TRIBUNNEWS.COM - Pertanyaan mengenai hukum memotong rambut atau kuku dalam keadaan junub (berhadas besar) sering menjadi pembahasan di kalangan umat Islam.
Banyak yang bertanya-tanya apakah tindakan tersebut diperbolehkan atau justru dilarang sebelum melakukan mandi wajib.
Junub adalah kondisi hadas besar yang terjadi setelah keluarnya mani atau hubungan suami-istri.
Seorang Muslim yang berada dalam keadaan junub diwajibkan melakukan mandi wajib (ghusl) agar kembali suci dan bisa menjalankan ibadah tertentu seperti salat, membaca Al-Qur’an, atau thawaf.
Karena junub berkaitan dengan kesucian diri, sebagian umat mengira bahwa memotong rambut atau kuku dalam kondisi ini tidak diperbolehkan.
Lantas, bagaimana sebenarnya hukumnya?
Bolehkah seorang muslim memotong rambut atau kuku saat Junub?
Hukum Memotong Rambut atau Kuku Saat Junub
Menurut Imam Al-Ghazali, orang yang sedang punya junub tidak diperkenankan untuk memisahkan sebagian anggota tubuhnya, misalnya rambut, kuku, dan sejenisnya.
Pasalnya, di akhirat kelak seluruh anggota tubuh itu akan dikembalikan dan masing-masing akan menuntut karena saat di dunia dipisahkan dalam keadaan junub.
Baca juga: Infonya Sering Dicari Saat Ramadan, Apa Itu Mandi Junub? Ini Aturan Lengkap dari Niat sampai Caranya
ولا ينبغي أن يحلق أو يقلم أو يستحد أو يخرج الدم أو يبين من نفسه جزءاً وهو جنب إذ ترد إليه سائر أجزائه في الآخرة فيعود جنباً ويقال إن كل شعرة تطالبه بجنابتها
Artinya: “Dan tidak seharusnya mencukur rambut, memotong kuku, mencabut bulu kemaluan, mengeluarkan darah, atau memisahkan sebagian anggota tubuh dalam keadaan junub, karena semua bagian tubuhnya itu akan dikembalikan kepadanya di akhirat. Maka ia akan kembali dalam keadaan junub. Dikatakan pula bahwa setiap helai rambut akan menuntutnya karena janabah”. (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Daru Ibn Hazm: 2005], h. 490)
Keterangan dari Imam Al-Ghazali tersebut banyak dijadikan rujukan oleh para ulama, di antaranya adalah Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, Syekh Khatib As-Syirbini, dan sebagainya.
Pandangan serupa juga dijelaskan oleh ulama besar asal Nusantara, Syekh Nawawi Al-Bantani, sebagaimana berikut:
وَمن لزمَه غسل يسن لَهُ أَلا يزِيل شَيْئا من بدنه وَلَو دَمًا أَو شعرًا أَو ظفرا حَتَّى يغْتَسل لِأَن كل جُزْء يعود لَهُ فِي الْآخِرَة فَلَو أزاله قبل الْغسْل عَاد عَلَيْهِ الْحَدث الْأَكْبَر تبكيتا للشَّخْص
Artinya: “Barang siapa yang wajib mandi junub disunnahkan untuk tidak menghilangkan apa pun dari tubuhnya, meskipun hanya darah, rambut, atau kuku, sebelum ia mandi. Hal ini karena setiap bagian tubuh akan dikembalikan kepadanya di akhirat. Jika ia menghilangkannya sebelum mandi, maka hadats besarnya itu akan kembali kepadanya sebagai bentuk teguran dan peringatan bagi dirinya.” (Syekh Nawawi Al-Bantani, Nihayatuz Zain, [Beirut, Darul Kutubil Ilmiyah: 2022], h.33).
Namun menurut Imam Al-Qalyubi, pendapat Imam Al-Ghazali tersebut perlu ditinjau ulang.
Hal ini karena ada pendapat lain yang mengatakan bahwa anggota tubuh yang akan dibawa ke akhirat hanyalah bagian tubuh yang masih melekat pada saat seseorang meninggal dunia.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.