Minggu, 24 Agustus 2025

Pemilu 2024

Sistem Proporsional Tertutup Dinilai Justru Mengaburkan Rakyat untuk Memilih Kandidat Potensial

Sistem proporsional tertutup dianggap justru mengaburkan rakyat untuk memilih kandidat-kandidat potensial.

Penulis: Fersianus Waku
Editor: Dewi Agustina
Ist/Tribun Jogja
Ilustrasi Pemilu. Sistem proporsional tertutup dianggap justru mengaburkan rakyat untuk memilih kandidat-kandidat potensial. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fersianus Waku

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Bidang Hubungan Legislatif DPP Partai NasDem Atang Irawan menolak apabila Pemilu 2024 dilakukan secara proporsional tertutup atau pemilih mencoblos partai politik (parpol) dan bukan calon anggota legislatif (Caleg).

Atang khawatir apabila sistem Pemilu proposional tertutup dilakukan, maka oligarki dalam Parpol semakin tak bisa terpatahkan.

"Sejarah buram eksistensi parpol yang kerap dipandang hanya elitis, birokratis dan hanya mementingkan kepentingannya sendiri melalui skema konspirasi konfigurasi kepentingan elite partai menjadi momok yang menakutkan bagi civil society," kata Atang dalam keterangannya, Minggu (1/1/2023).

Atang menganggap bahwa sistem proporsional tertutup justru mengaburkan rakyat untuk memilih kandidat-kandidat potensial yang dapat merepresentasikan kepentingan mereka.

Baca juga: Tolak Proporsional Tertutup, Wakil Ketua MPR: Rakyat yang Harus Menentukan Wakilnya

Sehingga, akselerasi kepentingan rakyat akan terbantahkan dalam ruang gelap partai politik.

"Memilukan bagi demokrasi ketika rakyat diberikan otoritas untuk menentukan wakilnya namun kemudian dirampas kembali oleh parpol," ujarnya.

Atang juga khawatir apabila rekrutmen dan seleksi Caleg dilakukan secara tertutup tanpa memberikan ruang informasi yang transparan.

Padahal, dalam Pasal 241 undang-undang (UU) Pemilu mensyaratkan seleksi bacalon dilaksanakan secara demokratis dan terbuka.

Karenanya, Atang menilai sistem proporsional tertutup bukan hanya langkah mundur dalam perjuangan demokrasi, bahkan menuju titik nadir bagi hak konstitusional rakyat untuk menentukan wakilnya.

Atang pun mewanti-wanti bahwa rendahnya kepercayaan terhadap parpol akan terulang kembali sehingga apatisme dan apolitis bakal bersemi kembali.

Sebab, dengan sistem proporsional tertutup rakyat tidak pernah tahu siapa yang akan mewakili dirinya karena semua menjadi otoritas parpol atau seperti memilih kucing dalam karung.

Bahkan, lanjut Atang, mirisnya lagi wakil yang tidak mendapatkan dukungan signifikan dari rakyat dapat melenggang di legislatif hanya karena nomor urutnya lebih kecil daripada suara terbesar.

"Miris memang. Suara rakyat hanya akan menjadi komoditas partai politik dan dimanipulasi oleh oligarki parpol," ungkap dia.

Baca juga: PAN Tolak Wacana Sistem Proporsional Tertutup, Minta MK Konsisten dengan Putusan Sebelumnya

Lebih jauh, Atang mengatakan jika proporsional tertutup adalah sebuah reinkarnasi hegemoninya parpol untuk melegitimasi demokrasi.

Ia juga merespons pihak yang menyebut sistem proposional terbuka memakan biaya yang cukup besar (high cost).

Atang pun menanyakan jaminan bahwa rekrutmen Caleg dengan proporsional tertutup tidak memungkinkan terjadinya ruang suap agar mendapatkan nomor urut kecil.

"Apakah ada jaminan proses kandidasi tidak menjadi benih unggul yang dapat menstimulasi korupsi di kemudian hari, karena ada kekhawatiran sejak awal dalam kandidasi sudah terjadi mahar di internal parpol dalam penentuan nomor urut," ucap Atang.

Legal Standing Pemohon Dipertanyakan

Atang juga mempertanyakan legal standing pemohon uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, termasuk soal sistem proporsional terbuka.

"MK sebaiknya menguji betul terkait legal standing pemohon terhadap permohonan pengujian Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu, khususnya terkait kerugian pemohon karena peserta Pileg bukanlah perseorangan melainkan parpol, kecuali untuk pemilihan anggota DPD RI," papar Atang.

Lantas, Atang pun bertanya apakah para pemohon pernah menjadi Caleg dengan nomor urut kecil dalam kapasitas sebagai pengurus partai, namun dikalahkan dengan nomor urut lebih besar.

"Bahkan, akan menjadi ironis jika pemohon tidak dicalonkan oleh parpolnya dalam kontestasi 2024, sehingga dimana letak legal standingnya para pemohon," imbuhnya.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan