Minggu, 21 September 2025

Pemilu 2024

6 Kelebihan dan Kelemahan Pemilu dengan Sistem Proporsional Terbuka dan Tertutup Menurut Pengamat

Pangi Syarwi Chaniago membeberkan kelebihan dan kelemahan dari sistem pemilu proporsional terbuka dan tertutup.

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto (keempat kanan) bersama Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar (keempat kiri), Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (kedua kanan), Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan (kedua kiri), Presiden PKS, Ahmad Syaikhu (ketiga kiri), Wakil Ketua Umum Partai NasDem, Ahmad Ali (ketiga kanan), Wakil Ketua Umum PPP Amir Uskara (kiri), dan Sekjen Partai NasDem, Johnny G Plate (kanan) berfoto bersama dalam acara silaturahmi awal tahun di Jakarta, Minggu (8/1/2023). Delapan pimpinan partai politik bertemu untuk membahas sistem proporsional tertutup dalam pelaksanaan Pemilu 2024 yang diwacanakan oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU). 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - CEO dan Founder Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago membeberkan kelebihan dan kelemahan dari sistem pemilu proporsional terbuka dan tertutup.

Pangi mengatakan sistem proporsional terbuka kekuatan ada pada figur kandidat populis, melemahkan partai politik, tidak ada pembelajaran dan tidak menghormati proses kaderisasi di tubuh partai politik, sementara proporsional tertutup menguatkan institusi kelembagaan partai politik.

Menurutnya, menguatnya keinginan untuk kembali ke sistem proporsional tertutup boleh jadi karena anti tesis rendahnya kualitas, kapasitas, mutu dan kompetensi 575 anggota DPR-RI yang terpilih di periode sekarang.

Walaupun mereka dipilih rakyat secara langsung tapi produk undang-undang yang dihasilkan jauh dari jeroan selera rakyat, undang-undang untuk kepentingan elite semata.

Baca juga: Perbedaan Pemilu Sistem Proporsional Terbuka dan Proporsional Tertutup yang Ditolak 8 Parpol

Kelemahan Sistem Proporsional Terbuka

Setidaknya, menurut Pangi ada beberapa alasan menggapa sistem pemilu proporsional terbuka telah merusak partai politik.

Pertama, calon legislatif sesama di internal partai bersaing ketat satu sama lain, manusia menjadi serigala bagi sesamanya (leviathan), saling menerkam dan saling memakan di antara internal caleg.

Kedua, sistem proporsional terbuka melemahkan partai politik, tidak ada caleg yang benar-benar kampanye mengunakan visi dan misi yang telah disusun partai, masing-masing caleg berkampanye dengan cara, tema dan narasinya sendiri-sendiri.

"Sistem proporsional terbuka mengesampingkan tautan platform, visi dan misi partai hanya sebagai aksesoris pajangan belaka, hanya gimik, tidak digunakan masing-masing caleg sebagai fitur kampanye, realitasnya masing-masing caleg berkampanye untuk dirinya sendiri-sendiri," kata Pangi, dalam keterangannya, Senin (9/1/2023).

Ketiga, sistem proporsional terbuka lebih cenderung menyebabkan pemilih memilih figur kandidat ketimbang tautan partai.

Itu maknanya sistem proporsional terbuka lebih mengandalkan figur ketimbang menguatkan sistem kepartaian, cenderung memilih presiden ketimbang partai, senang dengan nama, maka memilih nama dan tidak memilih partai.

"Tentu saja, memang tidak bisa disamaratakan kasusnya, misalnya PDIP dan PKS lebih cenderung yang menonjol pengaruh DNA partai ketimbang pengaruh kandidasi figur calonnya di dalam memutuskan pilihan politiknya, artinya party effect lebih menonjol daripada person effect," ucapnya.

Keempat, sistem pemilu proporsional terbuka juga menyebabkan salah satu alasan rendahnya identitas partai, hanya sebesar 13,2 persen, pemilih yang merasa dekat baik secara “ideologis” maupun secara “psikologis” dengan partainya.

"Dugaan saya salah satu penyebab rendahnya party-ID karena penerapan sistem pemilu proporsional terbuka, sepanjang tetap memakai sistem proporsional terbuka, maka selama itu presentase party-ID di Indonesia tetap rendah," katanya.

Kelima, sistem pemilu proporsional terbuka juga menyebabkan tingginya “split ticket voting”, tidak tegak lurus atau beririsan antara pilihan partai dan pilihan presiden.

Fenomena split ticket voting adalah bentuk dari kegagalan partai politik politik di dalam mengelola isu dan program, kejenuhan konstituen yang kemudian menyebabkan pemilih abai terhadap keinginan partai, kecenderungan pemilih lari kepada calon lain yang justru tidak diendorse oleh partainya, akibat rendahnya party-ID menyebabkan pemilih tidak taat kepada partainya.

Keenam, sistem pemilu proporsional terbuka cenderung merusak sistem meritokrasi parpol, melemahkan proses kaderisasi partai.

"Yang tadinya bukan kader partai, lalu tiba-tiba bisa nyelonong jadi caleg, dapat nomor urut cantik lagi. Sistem proporsional terbuka tokoh populis, artis dan publik figur mendapatkan tempat istimewa di partai (privilege), karena caleg artis dimanfaatkan sebagai vote getter mesin pengumpul suara semata oleh partai politik," ujarnya.

Kelemahan Sistem Proporsional Tertutup

Adapun yang menjadi kelemahan sistem proporsional tertutup yakni:

Pertama, mengurangi interaksi dan intensitas kader partai dengan pemilih.

Caleg yang terpilih bakal jarang turun bersosialisasi, menyapa dan menyalami masyarakat secara langsung, sebab caleg yang terpilih bertanggung jawab langsung kepada partainya bukan konstituennya, sumber kekuasaan bukan daulat rakyat, tapi daulat elite parpol.

Kedua, lanjut Pangi, cenderung caleg tidak mau bekerja keras untuk mengkampanyekan dirinya dan partai, sebab mereka percaya yang bakal dipilih adalah caleg prioritas nomor urut satu, bukan basis suara terbanyak, itu artinya menurunkan persaingan antar kader internal caleg.

Ketiga, kurang sesuai untuk partai baru dan partai kecil yang belum terlalu dikenal.

Keempat, belum cocok untuk partai yang populis, yang belum kuat dan belum tumbuh secara merata sistem kaderisasinya.

Kelima, menguatnya oligarki di internal partai politik, partai ada kemungkinan lebih mengutamakan kelompok dan golongan tertentu, kekuasaan berada di tangan segelintir orang.

Keenam, proporsional tertutup di khawatirkan seperti memilih kucing dalam karung, pemilih banyak tidak kenal dengan daftar list nama calegnya.

"Sebab pemilih tidak merasa dekat dengan pemilihnya," tandasnya.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan