Rabu, 20 Agustus 2025

Daging Sapi Langka

Pedagang Daging Sapi Mogok, Pedagang Bakso pun Ikutan Mogok

Mujiyanto (50), pedagang bakso asal Solo yang tinggal di Gang Rawa Badak, Koja, Jakarta Utara, sudah sejak Sabtu lalu tidak berjualan bakso.

Editor: Dewi Agustina
Warta Kota/Andika Panduwinata
Sukino (56) membuka usaha warung baksonya di Jalan Meruya Utara, Kembangan, Jakarta Barat. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -  Mujiyanto (50), pedagang bakso asal Solo yang tinggal di Gang Rawa Badak, Koja, Jakarta Utara, sudah sejak Sabtu (8/8/2015) lalu tidak berjualan bakso. Pedagang yang mangkal di sekitar Koja itu harus kehilangan pendapatan rata-rata Rp 400.000 per harinya.

"Sejak Sabtu sampai sekarang saya ndak jualan. Ya mau diapain. Saya mau beli daging di mana? Toh penjualnya pada mogok semua. Mau beli daging di supermarket? Maksain banget kelihatannya. Yo wis (ya sudah), pedagang daging mogok, aku pun mogok," jelas Mujiyanto yang ditemui Warta Kota di Kawasan Pasar Maja, Koja, Jakarta Utara, Senin (10/8/2015).

Setahu Mujiyanto, semua pedagang bakso di Jabodetabek memilih tidak berjualan karena kesulitan memperoleh daging sapi. Meski ada beberapa temannya yang mencoba menggunakan daging ayam dan ikan, namun dagangannya tak laku.

Jumlah pedagang bakso di Jabodetabek menurut data Asosiasi Pedagang Mi dan Bakso (APMISO) sekitar 50.000 orang. Jika rata-rata setiap pedagang omzetnya Rp 400.000 saja, maka dalam waktu sehari saja para pedagang bakso di Jabodetabek kehilangan pendapatan Rp 20 miliar.

Sementara itu, menurut Ketua Umum APMISO Indonesia, Trisetyo Budiman, jumlah pedagang mi ayam dan bakso di Indonesia mencapai 2,5 juta pedagang. Jika dirata-rata omzetnya Rp 400.000 per hari, maka kalau seluruh pedagang bakso tak berdagang lantaran tak ada daging sapi, maka kerugian (kehilangan pendapatan) tukang bakso se-Indonesia bisa mencapai lebih dari Rp 1 triliun.

Menurut Trisetyo, dari jumlah 2,5 juta pedagang bakso, 70 persen merupakan pedagang gerobak keliling, 10 persen pengusaha bakso besar dari rumah makan sampai restoran, dan sisanya atau 20 persen pengusaha bakso yang mangkal.

Seperti diberitakan, sejak Minggu (9/8/2015) lalu para pedagang daging memilih mogok berdagang karena sulitnya mendapat daging sapi setelah pemerintah menutup keran impor. Meski ada juga yang berjualan, contohnya di supermarket, harganya sangat mahal untuk ukuran para pedagang bakso.

Unsur Permainan
Menurut dugaan Mujiyanto, langkanya daging di pasaran karena ada unsur permainan. Karena itu, dia tak berharap banyak kepada pemerintah.

"Halah, paling stok daging dibekep (disembunyikan) pemerintah. Warga kecil sudah miskin jadi susah. Jadinya opo? Sehari-hari yo wis berutang ke tetangga buat hidup istri dan dua anak saya. Nggak usah ngarep pemerintah. Pasrah saja," jelasnya.

Keluhan serupa juga disampaikan Sri Wahyuni (30), pemilik jasa penggilingan daging sapi dan siomay di Jakarta Utara. Dia mengaku mengalami kerugian cukup besar lantaran mogoknya para pedagang daging.

Biasanya per hari menerima pesanan 50 pedagang bakso, kini menciut menjadi kisaran lima pedagang.

"Bahkan nggak ada sama sekali yang menggiling daging. Kebanyakan di sini nggiling daging sapi untuk dibuat bakso. Sekilo ongkosnya Rp 5.000. Jadi, ya saya rugi Rp 1.500.000 per hari," katanya. "Kasihan, Mas, banyak yang ngeluh pedagang bakso di sini. Ada beberapa yang nekat pake daging ayam sama ikan," tambahnya.

Harga Naik
Sementara itu, Lusi Tania dari CV Fiva Food & Meat Supply, sebuah pabrik olahan daging sapi di Bekasi, Jawa Barat, mengatakan, sebelum daging sapi impor dibatasi, harga yang dikenakan pemasok ke Fiva Food antara Rp 62.000 hingga Rp 63.000 per kg. Pascapembatasan daging impor, harganya naik Rp 6.000 hingga Rp 10.000 per kg.

"Sekarang harga dari pemasok ke Fiva Food naik jadi Rp 71.000 hingga Rp 72.000 per kg," ungkap Lusi kepada Warta Kota, Senin (10/8/2015).

"Selama ini kita memang menggunakan daging sapi impor. Karena impor daging dibatasi, harga yang kita dapat dari pemasok jatuhnya lebih mahal," ujar Lusi.

Dikatakan Lusi, pihak pemasok mengaku terpaksa menaikkan harga jual karena untuk mendapatkan daging sapi sangat sulit. Pamasok saling berebut barang di tingkat distributor, sehingga harganya lebih mahal.

Beruntung, selama ini pihaknya menggunakan jasa dua pemasok daging sapi. Sehingga stok tetap aman meski harganya naik. Selain memproduksi olahan daging sapi, Fiva Food juga membuat produk olahan daging ayam dan ikan.

Lusi menjelaskan, meskipun harga daging sapi sedang tinggi, pihaknya tak berniat mengurangi produk olahan daging sapi yang selama ini telah terdistribusi ke supermarket-supermarket.

Dalam sehari, Fiva Food bisa memproduksi olahan daging sapi antara 1,5 sampai 2 ton. Setiap bulannya, Fiva Food membutuhkan bahan baku daging sapi sebanyak 6 sampai 7 ton untuk diolah menjadi bakso, sosis, rolade, atau kornet.

Hanya saja, kata Lusi, harga produk olahan daging sapi yang mereka lempar ke pasaran terpaksa harganya dinaikkan.
 "Mau nggak mau harga produk yang mengandung daging sapi kita naikkan. Tapi naiknya paling hanya 10 persen dibandingkan harga lama. Kita nggak mau menaikkan harga terlalu tinggi agar konsumen tak protes," katanya. (m2/jhs/m3/wid/gps/tribun)

Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan