Perkuat Ketahanan Siber, Bamsoet Dorong Pemerintah Ratifikasi Konvensi PBB & Tuntaskan RUU KKS
Bambang Soesatyo usai bertemu Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Prof. Ahmad M. Ramli di Jakarta, Kamis (6/11/25)
TRIBUNNES.COM - Anggota DPR RI sekaligus Ketua MPR RI ke-15 serta Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Politik, Pertahanan, dan Keamanan KADIN Indonesia, Bambang Soesatyo, menegaskan pentingnya langkah cepat pemerintah dalam memperkuat pertahanan siber nasional.
Menurutnya, ada dua agenda utama yang harus segera dijalankan, yakni meratifikasi United Nations Convention Against Cybercrime yang baru saja disahkan Majelis Umum PBB, serta mempercepat pengesahan Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS).
Kedua langkah tersebut akan menjadi pondasi hukum yang kokoh bagi Indonesia dalam menghadapi meningkatnya ancaman kejahatan siber lintas negara yang semakin kompleks dan berpotensi mengancam keamanan nasional.
Usai bertemu Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Prof. Ahmad M. Ramli di Jakarta, Kamis (6/11/25). Bamsoet menegaskan pentingnya langkah cepat pemerintah untuk memperkuat pertahanan siber nasional.
“Disahkannya Konvensi PBB tentang Kejahatan Siber adalah momentum penting bagi dunia, termasuk Indonesia. Ini adalah babak baru kerja sama global melawan kejahatan siber. Kita tidak bisa tinggal diam. Indonesia harus segera meratifikasi konvensi itu dan mempercepat pembentukan UU Keamanan dan Ketahanan Siber sebagai perangkat hukum nasional,” ujarnya.
Baca juga: Ketua MPR Sebut Pelajaran Bahasa Portugis untuk Tingkatkan Kualitas Pergaulan Global
Ketua DPR RI ke-20 dan Ketua Komisi III DPR RI ke-7 ini menjelaskan bahwa dunia kini menghadapi ancaman digital yang sangat serius. Laporan Cybersecurity Ventures memperkirakan total kerugian akibat kejahatan siber global akan mencapai 10,5 triliun dolar AS pada tahun 2025.
Kejahatan siber tidak lagi terbatas pada peretasan atau pencurian data, tetapi telah berkembang menjadi serangan terhadap infrastruktur strategis negara, mulai dari bandara, rumah sakit, jaringan listrik, hingga sistem keuangan. Serangan besar-besaran yang baru-baru ini melumpuhkan sistem sejumlah bandara utama di Eropa menjadi peringatan keras bagi semua negara, termasuk Indonesia.
“Serangan siber sudah menjadi alat geopolitik baru. Negara yang tidak siap bisa lumpuh tanpa satu pun peluru ditembakkan. Karena itu, keamanan siber bukan lagi urusan teknis, tapi soal kedaulatan,” tandas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Wakil Ketua Umum/Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini memaparkan bahwa di Indonesia, ancaman tersebut sudah tampak nyata. Data Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) menunjukkan, sepanjang tahun 2024 terdapat lebih dari 403 juta anomali trafik siber yang terdeteksi, meningkat sekitar 27 persen dibanding tahun sebelumnya. Sebagian besar serangan menargetkan infrastruktur informasi kritikal nasional (IIKN) seperti sektor pemerintahan, energi, transportasi, dan keuangan.
“Bayangkan bila sistem perbankan diretas, atau jaringan listrik dan bandara lumpuh bersamaan. Dampaknya bisa mengguncang stabilitas ekonomi dan keamanan nasional. RUU KKS harus segera disahkan agar negara memiliki dasar hukum yang tegas untuk melindungi infrastruktur strategis tersebut,” urai Bamsoet.
Dosen tetap pascasarjana Universitas Pertahanan (Unhan), Universitas Jayabaya, dan Universitas Borobudur ini menuturkan bahwa RUU KKS akan mengatur secara komprehensif mengenai pembagian tanggung jawab antarinstansi, protokol keamanan, hingga mekanisme penanganan insiden siber skala nasional. Saat ini, koordinasi antar lembaga seperti BSSN, Kominfo, Polri, dan BIN masih berjalan secara parsial.
“BSSN sudah bekerja keras di bidang mitigasi teknis. Tetapi tanpa dasar hukum yang mengikat, sistem pertahanan siber nasional belum punya kekuatan penuh. UU KKS akan menjadi tulang punggung koordinasi nasional menghadapi ancaman siber,” jelas Bamsoet.
Lebih lanjut, Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Alumni Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran (PADIH-UNPAD) ini mencontohkan bahwa banyak negara telah melangkah lebih jauh. Amerika Serikat, misalnya, telah memiliki Cybersecurity and Infrastructure Security Agency Act; Uni Eropa menerapkan NIS2 Directive; sementara Singapura menetapkan Cybersecurity Act sejak 2018. Seluruh regulasi tersebut memastikan perlindungan terhadap infrastruktur kritikal sekaligus memberikan sanksi hukum bagi penyelenggara yang lalai menjaga sistemnya.
“Negara-negara maju memahami bahwa data dan jaringan adalah aset strategis masa depan. Indonesia tidak boleh tertinggal. Kita harus segera membangun sistem hukum siber yang adaptif agar mampu melindungi kepentingan nasional,” pungkas Bamsoet.(*)
Baca juga: Sekretaris MPR For Papua Desak Presiden Prabowo Selesaikan Konflik Bersenjata di Papua
| Akbar Supratman Apresiasi Pembangunan Pelabuhan Regional Salakan di Banggai Kepulauan |
|
|---|
| Eddy Soeparno Dorong Krisis Iklim Jadi Prioritas Nasional, Sebut Sudah Masuk Tahap “Wake-Up Call” |
|
|---|
| MPR RI dan MGMP Pekanbaru Ajak Pelajar Hidupkan Nilai Pancasila |
|
|---|
| Ketua MPR Yakin Polisi Akan Usut Tuntas Kasus Ambruknya Bangunan Ponpes Al Khoziny Sidoarjo |
|
|---|
| Eddy Soeparno: Pertemuan Prabowo–Jokowi Bahas Maslahat untuk Masyarakat |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.