Bentrok Cikeusik
Polisi Diminta Tegas Tindak Pelaku Kekerasan terhadap Ahmadiyah
Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) mengecam keras aksi penyerangan terhadap kelompok jemaah Ahmadiyah di Cikeusik
Editor:
Kisdiantoro

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) mengecam keras aksi penyerangan terhadap kelompok jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Jawa Barat, Minggu (6/2/2011) kemarin. Mereka juga meminta aparat kepolisian segera menindak pelaku anarkis sesuai hukum yang berlaku.
“Sebagai institusi, negara berkewajiban melindungi setiap warga negara dari segala ancaman sebagaimana diatur dalam UUD’45, apalagi sampai mengorbankan kelompok minoritas. Karena itu, SOKSI mendesak aparat keamanan segera menindak pelaku anarkis sesuai hukum yang berlaku. Kalau masalah ini terus dibiarkan dikhawatirkan bisa menjadi preseden buruk terhadap pemerintah sendiri,” ujar Ketua Umum Depinas SOKSI, Ade Komarudin saat ditemui di gedung DPR, Jakarta, Senin(7/2/2011).
Menurut Ade, adanya insiden Ahmadiyah merupakan cerminan gagalnya aparat kepolisian menjaga ketertiban dan ketentram masyarakat dari perilaku tindak kriminal yang mengatasnamakan agama.
Karena itulah, pemerintah melalui pihak Kepolisian harus segera mengusut tuntas aksi penyerangan dan menangkap pelaku insiden anarkis apalagi sampai menelan korban jiwa.
“Pembiaran yang dilakukan aparat kepolisian dalam mengatasi tindak kekerasan ini membuktikan kegagalan pemerintah dalam melindungi setiap warga negara dalam melaksanakan amanah konstitusi. Kejadian ini bukan kali pertama bahkan sering kali terjadi dan yang menjadi korban justru masyarakat kecil, seperti insiden HKBP Ciketing beberapa waktu lalu,” jelasnya.
Sekretaris Fraksi Golkar ini melanjutkan, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara semua pihak harus menghargai semangat pluralisme dan kebhinekaan, sehingga kerukunan antar umat beragama tetap berjalan lancar.
“Sekarang ini ada kekhawatiran seolah-olah pemerintah telah mengingkari konstitusi dan peraturan hukum yang mengakui eksistensi hak atas kebebasan beribadah, beragama dan berkeyakinan sebagaimana diatur dalam konstitusi UUD'45," jelasnya.
Ade juga menambahkan, apabila yang menjadi pangkal persoalan adalah masalah SKB 3 Menteri pada 2006, sebaiknya masalah itu perlu didiskusi kembali, karena secara hirarki perundang-undangan SKB tidak dikenal dalam UU Nomor 10 Tahun 2004.
“Yang jelas, pemerintah harus mampu memberikan perlindungan terhadap setiap warga negara dalam melaksanakan keyakinan beragama sesuai dengan UUD 1945. Salah satu solusi mengatasi konflik antar umat beragama adalah bagaimana sesama pemeluk agama bisa menjalin semangat ukhuwah islamiyah dengan mengedepankan persaudaraan dan perdamaian dibanding membesar-besarkan konflik yang terjadi,”jelas Ade.