Kasus Simulator SIM
Pakar Hukum Pidana: MoU Melemahkan KPK
Divisi Hukum Polri meminta pandangan dari sejumlah praktisi hukum sengketa penanganan kasus dugaan korupsi antara KPK dan Kepolisian.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Divisi Hukum Polri meminta pandangan dari sejumlah praktisi hukum terkait sengketa penanganan kasus dugaan korupsi di Korlantas Polri antara KPK dan Kepolisian. Termasuk didalamnya, pakar hukum pidana Universitas Padjajaran Romli Atmasasmita.
Romli menuturkan memorandum of understanding (MoU) atau nota kesepahaman yang disepakati Kejaksaan Agung, Kepolisian, dan KPK ternyata bermasalah.
"Masalahnya MoU itu melemahkan Undang-undang KPK. Itu masalahnya, ditanda tangan Abraham Samad sebagai ketua KPK, itu persoalannya," ungkap Ramli di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (6/8/2012).
Menurut Romli, dengan adanya MoU tersebut membuat KPK memliki kedudukan yang sama dengan Polri dan Kejaksaan. Dalam MoU tersebut tertulis ada pengendalian bersama dalam penangan korupsi, padahal di KPK tidak ada pengendalian bersama, seharusny KPK mengkoordinir, mengkoordinasikan, dan mensupervisi.
"KPK itu kan mensupervisi, harusnya KPK, katakanlah berada sebagai triger maker yang harusnya punya wewenang yang lebih besar, dengan MoU malah supervisinya hilang," ungkapnya.
Guru besar Universitas Padjajaran ini mengungkapkan, seharusnya MoU tersebut tudak ditandatangan Abraham Samad, karena undang-undang KPK sudah cukup jelas. "Karena ketua KPK tanda tangan, kalau cuma tanda tangan kejaksaan dan kepolisian, ya tidak ada persoalan bisa dibatalkan. Tapi kalau ketua KPKnya tanda tangan, ini jadi masalah," paparnya.
Terangnya, membatalkan MoU tersebut tidak semudah membalikan tangan pasalnya saat ini Polri menjadi pihal paling dirugikan secara citra.
"Kalau dalam kondisi ini, KPK mencabut, sudah jadi itu bukan masalah, persoalannya, waktu dia tanda tangan baca nggak? Itu dari sisi integritas," ucapnya.
Kasus dugaan korupsi pengadaan alat simulator SIM pertama kali mencuat saat Bambang Sukotjo, direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia, membeberkan adanya dugaan suap proyek pengadaan simulator SIM di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Mabes Polri.
Bambang terang-terangan menyebut ada suap dari perusahaan pemenang tender pengadaan simulator 2011, kepada pejabat Korlantas Polri bernisial DS sebesar Rp 2 miliar.
Tak hanya dugaan suap, Bambang pun membeberkan adanya praktek mark up dalam proyek pengadaan simulator motor dan mobil di institusi Polri tersebut.
Pada saat lelang proyek tesebut, perusahaan bernama PT Citra Mandiri Metalindo berhasil memenangi tender pengadaan 700 simulator sepeda motor senilai Rp 54,453 miliar dan 556 simulator mobil senilai Rp 142,415 miliar pada 2011.
Ketegangan antara KPK dan Polri dimulai saat KPK melakukan penggeledahan di gedung Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri terkait kasus Simulator SIM. Sebenarnya baik KPK maupun Polri sudah sama-sama tahu bahwa masing-masing lembaga penegak hukum tersebut sedang menangani kasus di yang sama di Korlantas Polri.
KPK dan Polri, Senin (30/7/2012) melakukan pertemuan di ruang Kapolri sekitar pukul 14.00 WIB. Saat itu, kedatangan pimpinan KPK Abraham Samad diterima langsung Kapolri Jenderal Polisi Timur Pradopo yang didampingi Kabareskrim Polri.
Polri mengklaim dalam pertemuan tersebut dilakukan pembicaraan mengenai penanganan kasus korupsi di Korlantas. Namun, dalam pertemuan tersebut Polri membantah adanya permohonan izin dari KPK untuk menggeledah Korlantas.
Pada hari yang sama, justru KPK melakukan penggeledahan di Korlantas sampai akhirnya terjadi kesalahpahaman antara Polri dan KPK.
Kabareskrim Polri saat itu langsung turun untuk membicarakan penggeledahan tersebut dengan tiga pimpinan KPK Abraham Samad, Bambang Widjajanto, dan Busyro Muqoddas pada Selasa (31/7/2012) dini hari.
Polri semakin geram setelah KPK mengumumkan Irjen Pol Djoko Susilo sebagai tersangka kasus Simulator SIM tersebut dalam jumpa persnya di Gedung KPK bersama perwakilan Polri setelah melakukan penggeledahan di Gedung Korlantas Polri, Selasa (31/7/2012) pagi.
Kemudian pada sore harinya, sekitar pukul 14.30 WIB pimpinan KPK Abraham Samad dan Bambang Widjajanto datang ke Mabes Polri bertemu dengan Kapolri membicarakan penanganan kasus tersebut dan penyitaan barang bukti di Korlantas.
Pertemuan tersebut disepakati bahwa barang bukti dibawa KPK untuk di verifikasi. Kemudian dalam penanganan kasusnya KPK menangani Irjen Pol Djoko Susilo, sementara Polri menangani Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) ke bawah dalam tender proyek alat simulator SIM tersebut.
Kemudian, Rabu (1/8/2012) penyidik Bareskrim Polri menetapkan lima tersangka dalam kasus tersebut diantaranya Brigjen Pol Didik Purnomo sebagai PPK dalam pengadaan Simulator SIM, AKBP Teddy Rusmawan sebagai ketua panitia lelangnya, Kompol Legimo sebagai bendaharanya, kemudian Bambang Susanto sebagai direktur perusahaan pemenang tender alat simulator SIM, dan Sukotjo Bambang sebagai sub-kontraktor penyedia alat simulator SIM.
Setelah itu, pada 3 Juli 2012 Kabareskrim Polri Komjen Pol Sutarman pun menggelar jumpa pers menyikapi polemik penanganan kasus tersebut. Dalam jumpa persnya Polri menegaskan bahwa pihaknya tetap akan melanjutkan proses penyidikan kasus tersebut dan tidak akan memberikan kasus yang ditanganinya kepada KPK.
Malam harinya sekitar pukul 19.00 WIB penyidik Bareskrim Polri pun menahan Brigjen Pol Didik Purnomo, AKBP Teddy Rusmawan, Kompol Legimo, dan Bambang Susanto.
Keinginan Polri dan KPK yang sama-sama ngotot ingin menangani kasus tersebut menjadi sorotan media, bahka Menkopolhukan Djoko Suyanto pun angkat bicara menengahi perseteruan tersebut dengan melakukan jumpa pers pada Sabtu (4/8/2012).
Selain itu pro kontra pun terjadi di masyarakat dengan berbagai persepsi masing-masing. Untuk itu, Djoko Suyanto meminta Polri dan KPK untuk kembali duduk bersama dan mengumumkan fakta yang sebenarnya mengenai hasil pertemuan Senin (30/7/2012) dan Selasa (31/7/2012). Hal tersebut penting untuk menjelaskan komitmen masing-masing lembaga.