Minggu, 9 November 2025

Jadi Saksi Untuk Nazaruddin, Loyalis Anas Ramaikan Pengadilan Tipikor

Anas bersama 15 saksi lain yang dihadirkan jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi

Penulis: Wahyu Aji
Editor: Hendra Gunawan
Tribunnews.com/Wahyu Aji
Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum hadir dalam sidang pemeriksaan saksi dengan terdakwa Muhammad Nazaruddin di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (23/3/2016). 

"Selain itu, Anas juga harus membayar uang pengganti sebesar Rp57.592.330.580 (Rp57 miliar lebih) kepada negara. Apabila uang pengganti ini dalam waktu satu bulan tidak dilunasinya maka seluruh kekayaannya akan dilelang dan apabila masih juga belum cukup, maka diganti dengan pidana penjara selama empat tahun," kata Suhadi.

Sebelumnya pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta sebenarnya telah meringankan vonis mantan anggota Komisi X DPR RI ini menjadi tujuh tahun dari pidana delapan tahun penjara berdasarkan putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Oleh Pengadilan Tipikor, Anas yang merupakan mantan Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR itu dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi dan melakukan tindak pidana pencucian uang sehubungan dengan proyek P3SON Hambalang.

Di dalam pertimbangannya, MA menolak keberatan Anas yang menyatakan bahwa tindak pidana asal atau predicate crime dalam tindak pidana pencucian uang harus dibuktikan terlebih dahulu. Majelis Agung mengacu kepada ketentuan Pasal 69 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU yang menegaskan bahwa predicate crime tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu.

Majelis kasasi menyatakan pula bahwa pertimbangan pengadilan tingkat pertama dan banding yang menyatakan bahwa hak Anas untuk dipilih dalam jabatan publik tidak perlu dicabut merupakan hal yang keliru. Mengingat untuk memperoleh jabatan tersebut bergantung kepada publik. Sehingga, harus dikembalikan kepada penilaian publik atau masyarakat itu sendiri.

Sebaliknya, majelis kasasi berpendapat bahwa publik atau masyarakat justru harus dilindungi dari fakta, informasi, persepsi yang salah dari seorang calon pemimpin. Kemungkinan bahwa publik salah pilih kembali haruslah dicegah dengan mencabut hak pilih seseorang yang nyata-nyata telah mengkhianati amanat yang pernah diberikan publik kepadanya.

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved