Gelar Pahlawan Nasional
Al Araf Soroti Ironi Negara Hukum di Tengah Rencana Penghargaan untuk Soeharto
Al Araf menyampaikan kritik tajam terhadap kondisi penegakan HAM di Indonesia. Termasuk rencana gelar pahlawan nasional untuk Soeharto.
Ringkasan Berita:
- Al Araf, dosen FH Universitas Brawijaya dan pegiat HAM, menerima penghargaan dalam acara Sapa Alumni di Jakarta, 7 November 2025.
- Al Araf mengkritik rencana pemerintah memberikan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto.
- Menurutnya, langkah tersebut mengabaikan sejarah kekerasan negara dan melukai perasaan korban.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Al Araf, dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya sekaligus pegiat hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, menerima penghargaan dari almamaternya dalam acara Sapa Alumni yang digelar di Jakarta, 7 November 2025.
Penghargaan ini diberikan oleh Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) dan Ikatan Alumni FH UB sebagai bentuk apresiasi atas kontribusinya dalam memperkuat masyarakat sipil dan memperjuangkan nilai-nilai keadilan.
Di tengah penghargaan itu, Al Araf menyampaikan kritik tajam terhadap kondisi penegakan HAM di Indonesia.
Menurutnya, pengakuan terhadap HAM selama ini masih bersifat normatif—tercantum dalam konstitusi dan undang-undang, namun minim dalam implementasi.
“Korban ada, pelaku ada, kejahatan ada, aturan ada, tapi keadilan belum juga hadir,” ujar Al Araf dalam keterangannya, Minggu (9/11/2025).
Ia menyoroti stagnasi penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat, seperti Tragedi 1965, Talangsari, dan Mei 1998, yang hingga kini belum menyentuh akuntabilitas pelaku.
"Setiap Kamis, para korban dan keluarga masih berdiri di depan Istana Negara, menuntut keadilan yang tak kunjung datang. “Ini ironi dalam negara hukum,” kata Al Araf.
Kritik Al Araf memuncak saat menanggapi rencana pemerintah yang mempertimbangkan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto.
Menurutnya, langkah itu tidak hanya mengabaikan sejarah kekerasan negara di era Orde Baru, tetapi juga melukai perasaan para korban. “Pemberian gelar itu akan memperburuk wajah penegakan HAM di Indonesia,” tegasnya.
Kontroversi pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bukan hal baru. Sejak lengser pada 1998, warisan politiknya terus diperdebatkan.
Di satu sisi, ia dikenang sebagai arsitek pembangunan ekonomi dan stabilitas politik. Namun di sisi lain, pemerintahannya ditandai oleh represi, pembungkaman oposisi, dan pelanggaran HAM sistematis.
"Militer—dalam bentuk ABRI kala itu—digunakan untuk menghadapi kelompok kritis, dari mahasiswa hingga aktivis, yang berujung pada hilangnya nyawa dan kebebasan sipil."
Acara FH UB
Dalam kesempatan yang sama, penghargaan serupa juga diberikan secara anumerta kepada almarhum Munir Said Thalib, aktivis HAM yang tewas diracun dalam penerbangan menuju Belanda pada 2004.
Munir dikenang sebagai simbol keberanian dalam membela korban pelanggaran HAM berat, dan menjadi inspirasi bagi generasi baru aktivis hukum dan keadilan.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum., menjelaskan bahwa penghargaan ini diberikan kepada alumni yang memiliki dedikasi tinggi dalam mendorong perubahan di berbagai bidang.
“Ini adalah bentuk penghormatan institusi terhadap kontribusi nyata para alumni. Kami berkomitmen menjadikannya agenda tahunan,” ujarnya.
Gelar Pahlawan Nasional
| Terkait Gelar Pahlawan Nasional, Soeharto dan Gus Dur Disebut Punya Jasa Besar bagi Petani |
|---|
| Guru Besar UNJ: Gelar Pahlawan Penghormatan oleh Negara, Hindari Ungkit Dendam Politik |
|---|
| Wacana Soeharto Diberi Gelar Pahlawan Dikritik, Wamensos: Ikhlaskan yang Terjadi di Masa Lalu |
|---|
| Alasan Muhadjir Dukung Soeharto Diberi Gelar Pahlawan, Suara Pihak-pihak yang Mendukung |
|---|
| Golkar Sebut Soeharto Layak Sandang Pahlawan Nasional, Jasa-jasanya Besar Ikut Bangun Papua |
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.