Selasa, 18 November 2025

Pengamat Duga Kepentingan Politik Pilpres 2019 Jadi Alasan Jokowi Pertahankan Airlangga

Menurut Said, Presiden dapat dianggap telah melakukan tindakan yang kurang pantas.

Editor: Johnson Simanjuntak
POROS JAKARTA
Said Salahudin 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Politik dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin menilai kelonggaran yang diberikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada Airlangga Hartarto untuk merangkap jabatan Menteri sekaligus Ketua Umum Golkar dapat dibaca setidaknya pada tiga hal.

Pertama, dari sisi etika. Menurut Said, Presiden dapat dianggap telah melakukan tindakan yang kurang pantas.

Karena salah satu ciri pemimpin yang baik adalah mengedepankan nilai-nilai etika dengan memegang prinsip "satu kata satu perbuatan". Apa yang dia katakan, itulah yang semestinya harus dia perbuat.

"Jadi kalau dulu Presiden berkata Menteri tidak boleh merangkap jabatan, mengapa sekarang kok diperbolehkan? Ini kan yang sekarang diributkan oleh banyak orang sehingga muncul tudingan bahwa Presiden tidak konsisten," ujar Said kepada Tribunnews.com, Selasa (23/1/2018).

Baca: Kursi di Teater Besar Sold Out, Megawati: Bukti Saya Masih Dicintai

Semestinya imbuhnya, Presiden taat asas pada kebijakan yang dibuatnya sendiri.

Nah, sikap inkonsisten Presiden ini bisa disebut sebagai perilaku yang kurang pantas, sebab ada etika pemerintahan yang ditabrak disitu.

Lebih jauh lagi perbuatan tersebut bisa saja dianggap sebagai perbuatan yang merendahkan martabat Presiden sendiri.

Tindakan kurang patut yang merendahkan martabat Presiden dalam perspektif hukum tata negara dapat digolongkan sebagai perbuatan tercela atau 'misdeamenor'. Perbuatan ini dapat dijadikan sebagai salah satu alasan untuk mendakwa seorang Presiden dalam proses 'impeachment'.

Jadi mengubah suatu kebijakan tidak selalu bisa didalilkan sebagai hak prerogatif Presiden, tetapi bisa saja di dalam pelaksanaan hak tersebut terdapat tindakan tidak etis yang tergolong sebagai 'misdeamenor'.

Hal kedua yang bisa dibaca dari kebijakan Presiden terhadap rangkap jabatan Airlangga adalah dari aspek hukumnya.

Sebetulnya tidak ada satu pun undang-undang yang melarang seorang menteri merangkap jabatan sebagai pengurus partai.

Karena bagaimanapun jabatan menteri adalah jabatan politik. Sehingga oleh sebab itu bisa saja seorang pengurus parpol menduduki jabatan menteri pada saat yang bersamaan.

Nah, masalahnya kan Presiden sendiri yang diawal masa pemerintahannya membuat kebijakan melarang menterinya rangkap jabatan sebagai pengurus partai. Jadi sebetulnya disinilah titik pangkalnya.

Ketika Presiden menelurkan kebijakan rangkap jabatan, maka kebijakan itu menjadi hukum atau 'policy' yang berlaku dilingkaran Istana.

Sebagai pembentuk hukum, sudah barang tentu Presiden memiliki kewajiban untuk menjamin hukum yang dibuatnya memiliki kepastian.

"Jadi kalau sudah ditetapkan 'policy' larangan rangkap jabatan, maka demi terwujudnya asas kepastian hukum Presiden hendaknya memberlakukan kebijakan itu selama dia memerintah," jelasnya.

Nah, pada kasus Airlangga ini asas kepastian hukum dari kebijakan Presiden tidak bisa dirasakan.

Selain itu, kebijakan penghapusan larangan rangkap jabatan khusus kepada Airlangga ini memunculkan kesan Presiden telah 'menganakemaskan' Ketua Umum Partai Golkar itu dengan cara memberikan suatu keistimewaan atau 'privilege'.

Perlakuan khusus Presiden ini pada gilirannya bisa memantik kecemburuan diantara anggota kabinet yang lain. Menteri dari unsur parpol yang lain akan merasa tidak diperlakukan secara sama oleh Presiden.

"Sebab saat mereka dulu ditarik ke Istana, Presiden meminta mereka mundur dari kepengurusan parpolnya," ucapnya.

"Mereka akan berpikir mengapa terhadap sesuatu yang sama, Presiden memperlakukannya secara berbeda. Padahal suatu perlakuan yang berbeda terhadap suatu hal yang sama tergolong sebagai bentuk diskriminasi yang memunculkan ketidakadilan," jelasnya lebih lanjut.

Hal ketiga yang bisa dibaca dari keputusan Presiden mempertahankan Airlangga adalah dari perspektif politik.

Argumentasi Presiden bahwa posisi Menperin yang dijabat Airlangga akan berisiko jika diganti oleh pejabat lain di sisa periode pemerintahan ini sebetulnya agak sulit diterima.

Mengapa?

Sebab bongkar-pasang anggota kabinet merupakan hal yang lazim dilakukan bahkan hingga di detik-detik akhir suatu pemerintahan.
Sepanjang ada alasan pembenar, Presiden tidak memiliki hambatan apapun untuk mengganti para pembantunya.

Kalau Presiden beralasan bidang industri akan terganggu jika Airlangga diganti, bukankah dengan alasan yang sama sebetulnya Presiden bisa saja mempertahankan Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai Panglima TNI beberapa waktu yang lalu, misalnya.

"Jadi saya kira ada faktor lain yang coba disembunyikan Presiden dibalik alasannya mempertahankan Airlangga," jelasnya.

"Sepertinya ini terkait dengan strategi Presiden yang ingin mempertahankan posisinya untuk periode berikutnya.

Untuk bisa memenangkan Pilpres 2019, Presiden sudah barang tentu memerlukan Golkar yang saat ini dipimpin Airlangga," imbuhnya.

Nah, dipertahankannya Airlangga boleh jadi dimaksudkan oleh Jokowi agar ia tetap memiliki wibawa dan posisi tawar dihadapan Airlangga.

"Jadi perlakuan istimewa yang diberikan Jokowi kepada Airlangga ini saya kira tidak bisa dilepaskan dari kepentingan masing-masing pihak di Pemilu 2019," jelasnya.

Di satu sisi Golkar tetap memerlukan posisi menteri yang saat ini ditempati Airlangga dalam rangka pemenangan partai di Pemilu 2019.

Pada sisi yang lain, Jokowi tetap memerlukan Airlangga duduk di posisinya sekarang dengan harapan ia bisa lebih mudah berkomunikasi dan membuat kesepakatan politik dengan Golkar di Pilpres 2019 tanpa harus bersikap inferior dan kehilangan wibawa di hadapan Ketua Umum Golkar.

"Disitulah pertemuan kepentingan Jokowi dan Golkar yang saya duga menjadi alasan Presiden mempertahankan Airlangga sebagai Menperin dengan konsekuensi Presiden sudah siap dengan tudingan dirinya tidak konsisten pada soal isu rangkap jabatan menteri," ucapnya. (*)

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved