Harap Andi Bertemu Istri
Tumpukan itu meninggi, menjulang ke atas dengan seng menutupi permukaannya. Ada juga bagian yang menjorok ke bawah 2-5 meter dalamnya.
Editor:
Content Writer
Bagai tumpukan puing bangunan yang diangkut dan ditumpahkan truk, kemudian dikumpulkan membukit oleh ekskavator. Tanah keras, kering bercampur benda-benda seperti tembok, kasur hingga peralatan rumah tangga, sudah tak berbentuk lagi.
Tumpukan itu meninggi, menjulang ke atas dengan seng menutupi permukaannya. Ada juga bagian yang menjorok ke bawah 2-5 meter dalamnya.
Akan tetapi tanah yang membukit karena tumpukan material bangunan itu terjadi bukan karena disengaja. Fenomena alam tanah mencair (likuefaksi) menerjang pemukiman padat penduduk itu.
Bangunan bisa bergerak sendiri menjauh dari tempatnya semula, mengikuti arus tanah. Manusia dan benda lainnya tersedot ke dalam tanah yang menjadi lumpur secara mendadak, ditarik ke dalam dan hilang. Tempatnya di Perumnas Balaroa, Palu Barat, Palu.
Siang itu, Rabu (3/10) Andi Mustafa sedang berdiri di atas puing sisa bangunan tempat ia dan warga lainnya tinggal, Perumnas Balaroa. Menggunakan jaket merah, Andi menuturkan ketakutannya dari likuefaksi, Jumat (28/9).

Petang itu Andi baru mau berangkat ke tempatnya sembahyang Maghrib di surau dekat rumah. Andi sedang di dalam kamarnya mengambil sarung untuk bergegas salat Maghrib. Namun tiba-tiba dengan keras bangunan rumah Andi dan keluarganya gemetar. Istrinya berteriak dan memerintahkan suaminya itu keluar rumah.
“Tiba-tiba tanah goyang,” cerita Andi saat merasakan gempa pukul 18.02 WITA itu.
Tanah yang tadinya kuat dan kokoh untuk dipijak, tiba-tiba berubah menjadi bergelombang layaknya ombak. Aspal jalanan yang keras bahkan sampai terlipat ke atas mengikuti gerakan tanah yang begitu “liar” kala gempa 7,4 SR datang. Kenyataan di depan mata itu seketika membawa Andi dalam ketakutan.
Andi bercerita, sore itu rumah-rumah bergerak meninggalkan dudukannya. Pohon tersedot ke dalam tanah yang menjadi lumpur selama gempa berlangsung. Hanya mengandalkan atap seng pemukiman dan kelincahan melompat, Andi coba bertahan di atas genteng menghindari maut.
“Tak bisa saya lari sempurna, hanya bisa merayap pegangan tembok,” ucap Andi sambil mempraktikkan caranya menyelamatkan diri.
Laki-laki paruh baya itu berkisah sempat tertimpa bangunan rumah. Tubuh dan kakinya tak bisa bergerak, sedangkan mulutnya terus berdoa meminta pertolongan. Likuefaksi membuat tembok yang menindih Andi merekah, membuat celah yang akhirnya digunakan Andi menyelamatkan diri.
“Tembok itu berjalan ke belakang saya,” tuturnya sambil memperagakan posisi sila saat lepas dari timpaan tembok.
Tak buang kesempatan lari, Andi coba merayap ke atap rumah. Dengan susah ia menyelamatkan diri sendiri, bertahan di atap rumah sembari terhenyak dengan apa yang terjadi.
Hingga kini, Istri dan keluarga lainnya belum bisa ditemukan keberadaannya. Saat bertemu Tim ACT pun, Andi tampak sedang serius memerhatikan tanah yang telah melintir tak karuan dan menjadi lumpur di pijakannya. Ia mengangkat puing dan berharap melihat tubuh pasangannya itu dalam kondisi selamat.

Perumnas Balaroa memang menjadi salah satu lokasi dengan kondisi paling hancur pascagempa. Bukan tsunami, bukan efek langsung dari gempa yang memicu kematian dan kehancuran massal di perumahan ini, tapi likuefaksi.