Suap untuk Bowo Sidik Tidak Diketahui Komisaris PT HTK
Hal ini terungkap pada saat Komisaris PT HTK, Theo Lekampessy memberikan keterangan sebagai saksi di sidang kasus suap dan gratifikasi yang melibatkan
Penulis:
Glery Lazuardi
Editor:
Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK mendakwa anggota Komisi VI DPR RI Fraksi Golkar, Bowo Sidik Pangarso, menerima uang suap dari Marketing Manager PT Humpuss Transportasi Kimia (HTK), Asty Winasty.
Pemberian uang suap sejumlah USD 163.733 atau setara Rp 2,3 Miliar dan Rp 311,2 Juta itu sepengetahuan Direktur PT HTK, Taufik Agustono. Namun, pemberian uang suap itu tanpa sepengetahuan Komisaris PT HTK.
Hal ini terungkap pada saat Komisaris PT HTK, Theo Lekampessy memberikan keterangan sebagai saksi di sidang kasus suap dan gratifikasi yang melibatkan Bowo Sidik.
Sidang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (4/9/2019).
"Tidak ada. Karena itu ranah manajemen," kata Theo, menjawab pertanyaan JPU pada KPK.
Dia mengaku tidak mengetahui soal pemberian fee untuk Bowo Sidik.
Baca: Penyebab Insiden Kecelakaan Maut Tol Cipularang Menurut Keterangan Polisi
"Tidak ada juga. Tidak ada dibicarakan itu," ungkapnya.
Apabila mengetahui adanya pemberian uang kepada Bowo Sidik atas adanya kerjasama pertukaran sewa kapal, maka dia akan melarang hak tersebut.
"Dan kalau tahu itu dilaporkan, pasti kami larang," tambahnya.
Pada Rabu ini, JPU pada KPK menghadirkan lima saksi untuk memberikan keterangan terkait perkara yang menjerat Bowo Sidik.
Lima saksi tersebut, yaitu Yuda Apisal, Legal Staf Humas PT Humpuss, Indung Andriyani, Sudiyarmanto, Komisaris PT Inersia, Rahmat Pribadi direktur utama PT Petrokimia Gresik, dan
Theo Lekampessy, Komisaris PT HTK.
Untuk diketahui, JPU pada KPK mendakwa anggota Komisi VI DPR RI Fraksi Golkar, Bowo Sidik Pangarso menerima hadiah berupa uang sejumlah USD163,733 atau setara Rp 2,3 Miliar dan Rp311,2 juta.
Upaya pemberian uang tersebut diberikan melalui Asty Winasty, Marketing Manager PT Humpuss Transportasi Kimia (HTK) atas sepengetahuan Taufik Agustono, Direktur PT HTK.
"Menerima hadiah berupa uang yaitu sejumlah USD163,733 dan Rp311,2 juta dari Asty Winasty dan Taufik Agustono," ujar Kiki Ahmad Yani, JPU pada KPK saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (14/8/2019).
Baca: Begini Cara Pelaku Pencabulan di Bogor Beraksi, Pura-pura Tanya Alamat, GN Diseret ke Rumah Kosong
Pemberian uang itu diberikan karena Bowo telah membantu PT HTK mendapatkan kerjasama pekerjaan pengangkutan dan/atau sewa kapal dengan PT PILOG. Sebab, kontrak kerjasama antara PT HTK dan PT PILOG telah diputus atau berhenti.
Uang itu diterima secara langsung oleh Bowo atau melalui orang kepercayaannya, M Indung Adriani. Padahal, dalam UU, penyelenggara negara dilarang untuk menerima apapun dari pihak manapun.
"Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya," kata dia.
Selain itu, JPU pada KPK mendakwa anggota Komisi VI DPR RI, Bowo Sidik Pangarso, menerima uang sebesar Rp 300 juta.
Upaya pemberian suap tersebut berkaitan dengan kepentingan PT Ardila Insan Sejahtera (AIS). Uang ratusan juta itu diberikan oleh Lamidi Jimat sebagai Direktur Utama PT AIS.
JPU pada KPK menyebutkan Bowo berperan membantu PT. AIS menagihkan pembayaran utang ke PT Djakarta Lloyd dan agar PT. AIS mendapatkan pekerjaan penyediaan BBM (Bahan Bakar Minyak) jenis MFO (Marine Fuel Oil) kapal-kapal PT Djakarta Lloyd (Persero).
Baca: Ketua DPR Minta Pemerintah Tindak Rumah Sakit yang Akali Klaim BPJS
Upaya pemberian uang itu berawal dari Lamidi Jimat meminta bantuan Bowo terkait adanya permasalahan pembayaran utang yang belum diselesaikan oleh PT Djakarta Lloyd kepada PT AIS dengan nilai Rp 2 Miliar. Atas penyampaian tersebut, terdakwa mengatakan akan mengatur pertemuan dengan Direktur Utama PT Djakarta Lloyd.
Atas arahan terdakwa, Lamidi Jimat menyerahkan data-data tagihan atau invoice PT. AIS dengan PT Djakarta Lloyd dan uang sejumlah Rp 50 juta kepada terdakwa yang diterima terdakwa melalui sopir terdakwa, sebagai uang perkenalan dari Lamidi Jimat untuk terdakwa.
Pada 24 September 2018, terdakwa bertemu dengan Lamidi Jimat untuk menerima uang Rp 50 juta yang kemudian mengatakan akan memberikan lagi jika sudah ada pencairan tagihan/invoice dari PT Djakarta Lloyd. Selanjutnya, terdakwa menggunakan uang pemberian tersebut untuk kepentingan pencalegan terdakwa di dapil Jawa Tengah II.
Bahwa setelah PT AIS mendapatkan beberapa kali pekerjaan penyediaan BBM jenis MFO (Marine Fuel Oil) untuk kapalkapal PT Djakarta Lloyd, maka selanjutnya terdakwa menerima uang secara bertahap.
Selain itu, JPU pada KPK menyebutkan anggota Komisi VI DPR RI fraksi Golkar, Bowo Sidik Pangarso, menerima gratifikasi senilai total 700 ribu dollar Singapura dan Rp 600 juta.
Salah satu bentuk gratifikasi itu diterima pada sekitar 2016. Terdakwa menerima uang tunai sejumlah SGD 50.000, pada saat mengikuti acara Munas Partai Golkar di Denpasar, Bali untuk pemilihan ketua umum Partai Golkar Periode tahun 2016-2019.
Kiki Ahmad Yani, JPU pada KPK mengungkapkan penerimaan gratifikasi berupa uang itu tidak pernah dilaporkan terdakwa kepada KPK selama tenggang waktu 30 hari kerja sejak diterima.
"Sebagaimana dipersyaratkan undang-undang sehingga sudah seharusnya dianggap sebagai pemberian suap karena berhubungan dengan jabatan terdakwa selaku wakil ketua sekaligus anggota Komisi VI DPR-RI dan selaku anggota Badan Anggaran DPR RI," ungkap Kiki, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (14/8/2019).
Berikut rincian gratifikasi yang diterima Bowo Sidik Pangarso:
1. Pada sekitar awal 2016, terdakwa menerima uang sejumlah SGD250,000.00 dalam jabatan terdakwa selaku anggota Badan Anggaran DPR RI yang mengusulkan Kabupaten Kepulauan Meranti mendapatkan DAK fisik APBN 2016.
2. Pada sekitar 2016, terdakwa menerima uang tunai sejumlah SGD 50.000, pada saat terdakwa mengikuti acara Munas Partai Golkar di Denpasar Bali untuk pemilihan ketua umum Partai Golkar Periode tahun 2016-2019.
3. Pada 26 Juli 2017, terdakwa menerima uang tunai sejumlah SGD200,000.00 dalam kedudukannya selaku wakil ketua Komisi VI DPR RI yang sedang membahas Peraturan Menteri Perdagangan tentang Gula Rafinasi (Perdagangan Gula Kristal Rafinasi melalui Pasar Lelang Komoditas).
4. Pada 22 Agustus 2017, terdakwa telah menerima uang sejumlah SGD200,000.00 di Restoran Angus House Plaza Senayan, Lantai 4, Jl. Asia Afrika, Senayan Jakarta, dalam kedudukannya selaku wakil ketua Komisi VI DPR RI yang bermitra dengan PT PLN yang merupakan BUMN.
Baca: Ternyata di Lokasi Tabrakan Beruntun Ada CCTV yang Mengarah ke Spot Kejadian
5. Pada sekitar bulan Februari 2017, terdakwa juga pernah menerima uang sejumlah Rp300 juta bertempat di Plaza Senayan Jakarta dan pada tahun 2018 terdakwa menerima uang Rp300 juta bertempat di salah satu restoran yang terletak di Cilandak Town Square Jakarta, dalam kedudukan terdakwa selaku wakil ketua Komisi VI DPR RI yang sedang membahas program pengembangan pasar dari Kementerian Perdagangan untuk Tahun Anggaran 2017.
Atas perbuatan itu, terdakwa didakwa melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 KUHP.