Revisi UU KPK
Forum Dekan FH dan STIH PT Muhammadiyah Minta Jokowi Tak Terbitkan Surpres Revisi UU KPK
Forum Dekan Fakultas Hukum dan Ketua STIH Perguruan Tinggi Muhammadiyah menyebut 7 poin krusial yang justru melemahkan KPK:
Penulis:
Srihandriatmo Malau
Editor:
Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Forum Dekan Fakultas Hukum dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Perguruan Tinggi Muhammadiyah se-Indonesia meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak mengeluarkan Surat Presiden (Surpres) untuk membahas revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 yang menjadi RUU inisiatif DPR.
Demikian disampaikan Ketua Forum Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Muhammadiyah, Trisno Rahardjo mewakili Forum Dekan Fakultas Hukum dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Perguruan Tinggi Muhammadiyah se-Indonesia, kepada Tribunnews.com, Rabu (11/9/2019).
"Kami Forum Dekan Fakultas Hukum dan Ketua STIH Perguruan Tinggi Muhammadiyah meminta kepada Presiden Jokowi untuk tidak menindaklanjuti RUU inisiatif DPR tentang KPK dengan tidak mengeluarkan Surat Presiden untuk membahas RUU KPK," ujar Triasno.
Selain itu juga meminta kepada seluruh elemen masyarakat, pimpinan lembaga negara, dan perguruan tinggi untuk mendukung penguatan KPK dalam rangka pemberantasan korupsi agar Indonesia dapat menjadi negara yang maju, kuat, sejahtera, adil dan makmur.
Karena setelah mencermati dan mengkaji Revisi UU KPK, terdapat sejumlah poin penting yang justru berpotensi melemahkan kedudukan lembaga antirasuah.
Forum Dekan Fakultas Hukum dan Ketua STIH Perguruan Tinggi Muhammadiyah menyebut 7 poin krusial yang justru melemahkan KPK:
Pertama, kelembagaan KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 3 sebagai lembaga pemerintah pusat yang bersifat independen menjadi tidak bermakna jika disebut sebagai lembaga pemerintah pusat.
"Pengaturan sebaiknya tidak dilakukan perubahan, tetap menjadikan KPK sebagai lembaga negara yang independen," jelasnya.
Baca: Menkumham Yasonna Laoly Belum Berani Bicara Banyak
Kedua, kewenangan KPK dalam melaksanakan tugas penegakan hukum difokuskan hanya kepada tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum atau penyelenggara negara dan orang lain yang ada kaitannya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara dan atau menyangkut kerugian paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) ketentuan ini menghilangkan kewenangan KPK memeriksa perkara Korupsi yang mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat.
Hal ini menjadikan peran serta masyarakat dalam mendukung upaya pemberantasan Korupsi menjadi hilang.
Ketiga kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 30 tahun 2002 dilaksanakan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas.
Dewan Pengawas tersebut ditetapkan oleh Presiden yang anggotanya untuk pertama kali diusulkan oleh DPR dan Presiden.
Dia menilai,keberadaan Dewan Pengawas dalam proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sangatlah tidak tepat.
Sebab yang memiliki kewenangan terkait izin atau pelaporan penyadapan adalah pengadilan, dengan pengaturan yang memungkinkan KPK dapat melakukan penyadapan terlebih dahulu dan melaporkan kepada pengadilan.
Bagi mereka, munculnya Dewan Pengawas berpotensi merusak criminal justice system(Sistem Peradilan Pidana) dan mengebiri kewenangan KPK.
"Adanya Dewan Pengawas sebagai Perubahan struktur KPK masih belum menunjukkan pengaturan yang komprehensif terkait independensi dan kewenangan yang diberikan dan sebaiknya perlu dilakukan kajian ulang terhadap keberadaan Dewan Pengawas," jelasnya.
Keempat, kewenangan KPK dalam melakukan penuntutan dibatasi dengan koordinasi dengan Jaksa Agung, ketentuan ini dapat mempengaruhi independen KPK.
Kelima, adanya kewenangan KPK untuk menerbitkan SP3 (Surat Penghentian Penyidikan dan Penuntutan).
Selama ini KPK tidak pernah memiliki kewenangan untuk menerbitkan SP3.
Hal ini untuk mendorong KPK bersungguh-sungguh ketika menetapkan status seseorang menjadi tersangka tindak pidana korupsi dan memprosesnya hingga dijatuhi hukuman.
Penerbitan SP3 membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kewenangan oleh KPK dan kemungkinan terjadinya negosiasi perkara.
Keenam, pengangkatan penyelidik dan penyidik yang harus berasal dari Polri, Kejaksaan dan PPNS oleh KPK.
Hal ini menutup kesempatan bagi KPK untuk menjadi lembaga mandiri yang kuat sehingga dapat merekrut sendiri penyelidik dan penyidiknya sesuai kebutuhan KPK.
Pengaturan ini bertentangan dengan putusan MK No. 109/PUU-XIII/2015 yang menyatakan bahwa KPK berwenang untuk mengangkat dan memberhentikan penyidiknya sendiri.
Ketentuan inipun menjadikan KPK tergantung dengan Institusi lain sehingga dapat menghambat kerja KPK dan mempengaruhi independensi
Terakhir, ketentuan peralihan dalam RUU KPK tidak menjelaskan Undang-undang mana yang bertentangan dengan Undang-undang KPK sehingga harus dicabut, hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
Seperti diketahui rencana revisi UU KPK sempat mencuat pada 2017 lalu. Namun rencana tersebut ditunda karena mendapat penolakan keras dari kalangan masyarat sipil pegiat antikorupsi.
Mereka menilai poin-poin perubahan dalam UU tersebut akan melemahkan KPK.
Revisi UU KPK kembali mencuat dan disepakati dalam Rapat Paripurna pada Kamis (5/9/2019). Semua fraksi di DPR menyetujui revisi UU KPK.
Sebelumnya diberitakan pula, Jokowi telah membaca draft revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jokowi pun meminta Yasonna untuk mempelajari naskah revisi UU KPK yang diusulkan DPR.
"Saya diberikan draf revisi UU KPK untuk saya pelajari, itu saja dulu. Kami akan pelajari dulu. Kami lihat nanti seperti apa," ujar Yasonna di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (6/9/2019).
Menurut dia, ada beberapa poin dalam revisi UU KPK yang menjadi perhatian Jokowi. Kendati begitu, Yasonna enggan menyebutkan apa hal yang menjadi fokus Jokowi tersebut.
"Kami harus mempelajari dulu. Pokoknya ada concern ini harus dipelajari, hati-hati," kata Yasonna.
Yasonna memastikan Jokowi belum mengirimkan surat presiden (supres) ke DPR. Pemerintah, katanya, akan terlebih dahulu membaca draft revisi UU KPK tersebut, sebelum memberikan tanggapan ke DPR.
"Sampai sekarang belum. Kami harus baca dulu kan, ada beberapa (catatan)," ujar Yasonna.