Rabu, 27 Agustus 2025

Polemik KPK

YLBHI: Jokowi Tak Dengarkan Masukan Publik Soal Capim KPK

Sikap Jokowi tersebut merupakan bentuk melakukan pelemahan pemberantasan korupsi melalui pelemahan KPK dengan menunjuk pansel yang bermasalah

Tribunnews.com/ Fransiskus Adhiyuda
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak mendengarkan masukan publik mengenai calon pimpinan (capim) KPK.

"Presiden tidak mendengarkan masukan publik tentang pansel dan capim yang jelas-jelas arahnya melemahkan pemberantasan korupsi," kata Isnur kepada wartawan, Senin (16/9/2019).

Baca: Semua Pihak Diminta Memahami Substansi UU KPK, Jangan Menggiring Opini Sesat ke Presiden

Menurut dia, sikap Jokowi tersebut merupakan bentuk melakukan pelemahan pemberantasan korupsi melalui pelemahan KPK dengan menunjuk pansel yang bermasalah.

"Juga tidak mengevaluasi kerja pansel setelah terlihat indikasi pansel akan memilih capim yang bermasalah yaitu meloloskan capim-capim yang tidak sesuai kriteria pasal 29 UU 30/2002 dan tidak mendengarkan suara masyarakat yang menjadi mandat UU KPK dan Kepres No 54/P Tahun 2019 tentang Panitia Seleksi Pimpinan KPK," tambahnya.

Sebelumnya, DPR RI menggelar rapat paripurna ke-8, tahun Sidang 2019-2020, Senin (16/9/2019) siang.

Rapat siang ini dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah.

Di meja pimpinan, ia didampingi Ketua DPR RI Bambang Soesatyo.

Satu di antara beberapa agenda paripurna yakni laporan hasil Fit and Proper Test Komisi III DPR RI terhadap calon pimpinan (Capim) KPK RI.

Pimpinan rapat, Fahri mempersilakan Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin untuk melaporkan hasil fit and proper test.

"Berdasarkan hasil uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test Komisi III DPR, maka terpilih lima pimpinan KPK, yakni Alexander Marwata, Firli Bahuri, Lili Pintauli Siregar, Nawawi Pomolango dan Nurul Ghufron, dengan Ketua Firli Bahuri," jelas Aziz.

Selesai Aziz melaporkan hasil fit and proper test, Fahri menanyakan kepada anggota Dewan apakah menerima laporan Komisi III.

"Apakah laporan Ketua Komisi III tentang uji kelayakan dan kepatutan pimpinan KPK masa jabatan 2019-2023 dapat kita setujui?" tanya Fahri.

Baca: Jadi Ketua KPK, Irjen Firli Bahuri Tidak Perlu Mundur Dari Kepolisian

"Setuju," jawab anggota Dewan kompak.

Kemudian, kelima pimpinan baru KPK diperkenalkan kepada seluruh anggota DPR yang hadir.

4 poin dari Jokowi dianggap tak ada gunanya

Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Kepala Staf Kepresiden Moeldoko (kiri) dan Mensesneg Pratikno (kanan) menyampaikan keterangan terkait revisi UU KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/9/2019). Presiden menyatakan mendukung sejumlah poin dalam draf revisi UU KPK diantaranya kewenangan menerbitkan SP3, pembentukan Dewan Pengawas KPK dari unsur akademisi atau aktivis anti korupsi yang akan diangkat langsung oleh presiden, ijin penyadapan dari dewan pengawas internal KPK serta status pegawai KPK sebagai aparatur sipil negara. Warta Kota/henry lopulalan
Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Kepala Staf Kepresiden Moeldoko (kiri) dan Mensesneg Pratikno (kanan) menyampaikan keterangan terkait revisi UU KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/9/2019). Presiden menyatakan mendukung sejumlah poin dalam draf revisi UU KPK diantaranya kewenangan menerbitkan SP3, pembentukan Dewan Pengawas KPK dari unsur akademisi atau aktivis anti korupsi yang akan diangkat langsung oleh presiden, ijin penyadapan dari dewan pengawas internal KPK serta status pegawai KPK sebagai aparatur sipil negara. Warta Kota/henry lopulalan (Warta Kota/henry lopulalan)

Baca: Soal Masa Depan Nasib KPK, Begini Sikap UGM, Abraham Samad, Saut Situmorang hingga Mahfud MD

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menolak empat poin Revisi UU KPK.

Kepala Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur, menilai sikap mantan gubernur DKI Jakarta itu tidak ada artinya.

"Hal yang paling penting telah disetujui yaitu KPK bukan lagi lembaga independen," kata Isnur, kepada wartawan, Senin (16/9/2019).

Dia menjelaskan, revisi mengatur agar pegawai/pekerja di KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN).

Jika, mengacu pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang dimaksud dengan ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah.

"Artinya KPK akan menjadi bagian dari pemerintah. Padahal fungsi penyidikan dan penuntutan KPK salah satunya untuk kasus korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara” sebagaimana diatur pasal 11a UU 30/2002 (UU KPK,-red)" kata dia.

Selain itu, kata dia, ketidaksetujuan penuntutan KPK wajib koordinasi dengan Kejaksaan Agung hanya pemanis belaka karena apabila penyelidikan dan penyidikan sudah dilemahkan tidak akan pernah ada penuntutan.

Sehingga, dia menegaskan, penolakan terhadap penuntutan ini sebenarnya tidak berpengaruh apapun untuk penguatan fungsi pemberantasan korupsi KPK.

Ketidaksetujuan terhadap asal penyelidik dan penyidik tidak hanya dari Polri dan Kejaksaan bukan penguatan melainkan stagnansi. Jika ingin memperkuat seharusnya penyelidik dan penyidik seluruhnya independen dan tak menutup peluang penyidik Polri serta Kejaksaan tetapi mengundurkan diri dari tempat asal.

"Hal ini penting untuk menjaga adanya konflik kepentingan karena yang disidik kemungkinan salah satunya berasal dari Polri dan Kejaksaan. Anggota Polri dan Kejaksaan yang berintegritas dalam pemberantasan korupsi dapat melakukan reformasi dari dalam. Dengan cara ini maka penegak hukum yang bebas korupsi dan profesional terwujud dengan cepat," ujarnya.

Terakhir, mempertahankan pengelolaan LHKPN pada KPK dengan memperlemah fungsi penyidikan bukan suatu penguatan.

"Posisi ini sama dengan posisi sebagian capim KPK hasil Panitia Seleksi yang bermasalah dan dapat dilihat sebagai rencana mengubah fungsi KPK dari penegakan kepada pencegahan," tambahnya.

Sebelumnya, Presiden Jokowi mengungkapkan empat poin yang tidak disetujui dirinya atas beberapa poin substansi dalam draf RUU KPK.

"Saya tidak setuju terhadap beberapa substansi inisiatif DPR ini yang berpotensi mengurangi efektivitas tugas KPK" ujar Jokowi dalam jumpa pers di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/9/2019) ‎yang didampingi oleh Mensesneg Pratikno dan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko.

Pertama, Jokowi menyatakan tak setuju jika KPK harus mendapatkan izin pihak luar saat ingin melakukan penyadapan. Menurutnya, KPK cukup memperoleh izin internal dari Dewan Pengawas untuk menjaga kerahasiaan.

Kedua Jokowi tidak setuju penyelidik dan penyidik KPK hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan. Ia menyatakan penyelidik dan penyidik KPK bisa berasal dari unsur aparatur sipil negara (ASN)

"Yang diangkat dari pegawai KPK maupun instansi pemerintah lainnya. Tentu saja harus melalui prosedur rekurtmen yang benar," imbuhnya.

Ketiga, Jokowi mengatakan tidak setuju KPK wajib berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam melakukan penuntutan.

Menurut dia, sistem penuntutan yang berjalan saat ini sudah baik sehingga tidak perlu diubah lagi.

Keempat, Jokowi menyatakan tidak setuju apabila pengelolaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dikeluarkan dari lembaga antirasuah dan diberikan kepada kementerian atau lembaga lainnya.

"Saya tidak setuju. Saya minta LHKPN tetap diurus oleh KPK sebagaimana yang telah berjalan selama ini," tegasnya.

Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan