Senin, 25 Agustus 2025

Selain RKUHP dan RUU KPK, DPR RI Juga Segera Sahkan RUU Pertanahan, Sejumlah Guru Besar Protes

Di sisi lain, masyarakat adat khawatir RUU Pertanahan akan makin melemahkan kedudukan mereka dalam kepemilikan lahan.

Editor: Hasanudin Aco
Tribunnews/JEPRIMA
Suasana ruang Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (17/9/2019). Pemerintah dan DPR menyepakati pengesahan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dihadiri oleh 80 orang anggota DPR. Tribunnews/Jeprima 

Jabangun menolak klaim tersebut. Ia berkeras, pemerintah harus mengembalikan tanah itu kepada warga adat.

Setelahnya, kata dia, masyarakat Sigapiton akan menunjukkan lokasi proyek yang merusak ladang, mata air, hingga makam leluhur merkea.

"Nanti kami tunjukkan di mana bangunan mereka bisa berdiri. Kalau diminta di atas rumah kami, bagaimana mungkin kami menyerahkannya?" kata Jabangun.

Lingkungan
HANDOUT
Masyarakat lokal dan aparat keamanan sempat berhadap-hadapan dalam konflik agraria di Desa Patiala Bawa, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, Mei 2018.

Konflik agraria seperti yang terjadi di Toba Samosir tadi diperkirakan bakal makin sering terjadi jika RUU Pertanahan tak diubah dan disahkan, pekan depan.

Guru Besar Agraria Institut Pertanian Bogor, Endriatmo Soetarto, menyebut draf beleid itu tak memberi solusi atas konflik agraria yang marak.

Tak ada pula ketentuan yang menjawab ketimpangan struktural, laju konversi lahan pertanian, dan kemiskinan akibat kebijakan pertanahan, kata Endriatmo.

"RUU ini jalan menuju neoliberalisme pasar tanah. Itu sama sekali bertentangan dengan UUPA. Dengan praktek itu, mereka yang lemah pasti tersisih."

"Gini rasio tanah kita hampir 0.6 atau 1% penduduk menguasai 60% tanah di negara ini. Ketika rakyat makin tersisih, itu bisa mencetuskan konflik yang makin tajam," ujar Endriatmo.

Izin pengelolaan

Endriatmo adalah satu dari sejumlah guru besar agraria yang menolak pengesahan RUU Pertanahan. Selain dia, ada pula Maria Sri Wulan Sumardjono (UGM) dan Ida Nurlinda (Unpad).

Puluhan organisasi swadaya nirlaba di sektor agraria, lingkungan, dan pendamping kelompok rentan pun menggarisbawahi beragam pasal yang mereka anggap tidak tepat. 

Salah satu yang dikritisi Endriatmo adalah ketentuan yang memungkinkan pemerintah menerbitkan hak pengelolaan (HPL) tanah berbasis hak menguasai negara.

Menurutnya, pasal itu serupa dengan konsep domein verklaring era pemerintahan kolonial Belanda yang dihapus UU 1/1960 tentang Pokok Agraria (UUPA).

Domein verklaring menegaskan setiap tanah yang tak dapat dibuktikan kepemilikannya merupakan tanah milik negara.

"HPL bukan hak, itu izin pengelolaan. Pasal yang baru seperti kembali ke zaman kolonial ketika pemerintah bisa menetapkan apa saja di atas tanah yang dianggap bukan hak masyarakat," kata Endriatmo.

Halaman
123
Sumber: BBC Indonesia
Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan