Demo Tolak RUU KUHP dan KPK
Margarito Kamis: Aksi Unjuk Rasa Tidak Hanya Karena Penolakan Revisi UU KPK
Aksi unjuk rasa di sejumlah daerah di Indonesia bukan hanya dipicu pengesahan Undang-Undang KPK hasil revisi.
Penulis:
Glery Lazuardi
Editor:
Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aksi unjuk rasa di sejumlah daerah di Indonesia bukan hanya dipicu pengesahan Undang-Undang KPK hasil revisi.
Ahli Hukum Tata Negara, Margarito Kamis, mengatakan aksi penyampaian pendapat dilakukan karena berbagai macam isu mengenai sejumlah rancangan undang-undang (RUU).
Menurut dia, isu-isu yang keluar pada saat aksi unjuk rasa menyuarakan sejumlah hal mengenai RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), RUU Pertanahan, RUU Penghapusan Kekerasan Sosial (PKS), dan sejumlah RUU lainnya.
"Demo ramai kemarin itu sampai mengeluarkan korban itu, isunya tidak tunggal. Jadi kenapa Jokowi, sebagian elite ini mengkristalkannya menjadi UU KPK. Bagaimana dasarnya?" ujar Margarito Kamis, saat dihubungi, Senin (30/9/2019).
DPR RI menggelar rapat paripurna pengesahan revisi UU KPK pada Selasa (17/9/2019).
Pada saat ini, UU KPK itu tinggal ditandatangani presiden untuk kemudian diberlakukan.
Meskipun nantinya, presiden tidak menandatangani revisi UU KPK, aturan tersebut akan tetap berlaku setelah kurun waktu 30 hari sejak disahkan melalui paripurna DPR RI.
Baca: Jatuh ke Laut Saat Duel Dengan Sesama ABK, Fendi Ditemukan Mengambang di Laut
Belakangan, muncul wacana Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu).
Tujuan dikeluarkan Perppu untuk mencabut aturan yang dinilai sebagian masyarakat kontroversial itu.
Margarito menilai, tak cukup nalar apabila Jokowi mengeluarkan Perppu hanya karena desakan segelintir orang.
Selain bisa menjadi preseden buruk, kata dia, mengeluarkan Perppu karena desakan juga bisa melahirkan ketidakadilan dalam sistem demokrasi Indonesia.
Dia mencontohkan, Presiden keenam Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, yang pernah mengeluarkan Perppu No. 1 Tahun 2014.
Baca: Polisi Tembakkan Gas Air Mata ke Massa Pelajar
Perppu No. 1 Tahun 2014 itu dikeluarkan untuk membatalkan UU Pilkada saat mendapat desakan.
Perppu ini terkait mekanisme pelaksanaan pilkada yang sebelumnya telah disahkan DPR melalui UU Pilkada pada 26 September 2014.
"Tidak beralasan untuk mengeluarkan Perppu. Belum lagi karena kandungan revisi UU KPK itu sejalan betul dengan demokrasi," tegasnya.
Dia menegaskan, presiden memang mempunyai hak prerogatif untuk mengeluarkan Perppu. Namun, dia menilai, desakan kepada Jokowi mengeluarkan Perppu untuk membatalkan UU KPK hanya disuarakan segelintir orang.
Baca: Merangsek Masuk Tol Dalam Kota, Massa Pelajar Lempari Mobil Polisi Pakai Botol
Dia menambahkan, upaya penerbitan Perppu hanya akan menimbulkan preseden buruk bagi sistem hukum Indonesia ke depan.
"Apabila keputusan diambil berdasarkan desakan, kapan saja begitu orang tidak setuju satu gagasan, betapapun gagasan itu masuk akal secara demokrasi, tetapi karena ada jumlah, ada banyak orang di jalanan lalu demi eksistensi kekuasaan itu diakomodasi, itu sama saja menggunakan jumlah untuk menghasilkan otoritarianisme," tambahnya.
UU KPK Hasil revisi akan tetap berlaku
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengatakan Uundang-Undang KPK hasil revisi bakal tetap berlaku, 30 hari setelah ditetapkan DPR.
Meskipun Presiden Joko Widodo tidak menanda tanganinya, UU KPK hasil revisi tetap akan berlaku.
Menurut Mahfud MD, UU KPK hasil revisi saat ini sudah selesai dalam konteks yuridis.
"Dalam pengertian sudah disahkan, tinggal membuat tanda tangan. Kalau presiden misalnya tidak mau tanda tangan 30 hari sesudah disahkan itu berlaku sendiri," ungkap Mahfud MD di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (26/9/2019).
Baca: Tiga Hal Mencurigakan yang Mengarah Adanya Rekayasa Terpilihnya Messi Jadi Pemain Terbaik FIFA 2019
Kata Mahfud, Jokowi pun tidak bisa mencabut sebuah RUU yang sudah disahkan.
Hal itu sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Pasal 20 ayat 5 UUD 1945.
"Jadi misalkan Presiden 'saya mau cabut', nggak bisa, sudah disahkan, sudah diketok palu. Sehingga bagaimanapun Presiden harus menandatangani atau tetap masuk lembaran negara," jelas dia.
Seperti diketahui, pemerintah dan DPR menyepakati poin-poin revisi RUU KPK pada tanggal 16 September 2019.
Kemudian dibawa ke rapat paripurna untuk pengesahan pada 17 September 2019.
Maka, Mahfud menyebut RUU KPK akan berlaku setidaknya pada Rabu, 17 Oktober 2019.
"Sudah berlaku meskipun presiden menolak tanda tangan," katanya.
Dari sisa waktu yang ada sebelum resmi berlaku, Mahfud mengusulkan beberapa solusi sebagai jalan tengahnya.
Diantaranya lewat legislatif review, Judicial Review, dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu).
Jalan tengah yang paling ringan dan prosedural yakni upaya perubahan lewat mekanisme legislatif review.
Yakni, membiarkan RUU KPK disahkan menjadi Undang-Undang, lalu tak lama kemudian struktur keanggotaan DPR yang baru menyusun agenda dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) untuk dibahas kembali.
Kalau perlu, bisa dijadikan prioritas.
"Bisa. Itu nggak akan menimbulkan keributan, itu proses legislasi biasa dan bisa diprioritaskan pada awal pemerintahan," ujar Mahfud.
Baca: Mabes TNI Akan Dibangun di Kutai Kertanegara Jika Ibu Kota Pindah ke Kaltim, Ini Pertimbangannya
Kalau masyarakat terlanjur kecewa dengan sikap DPR terdahulu dan tidak percaya proses legislatif review, maka publik dapat mengajukan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi.
Jalur permintaan pembatalan UU KPK lewat JR pun terbagi dua, yaitu uji formal dan uji materi.
Uji formal bisa dilakukan, jika publik merasa ada prosedur yang terlewat dalam penyusunan RUU KPK.
Seperti contoh, saat rapat paripurna pengesahan RUU KPK disebut hanya dihadiri 80 anggota dari total 560 orang anggota DPR.
"Misalnya ya kalau itu benar. Dari 560 anggota dewan, yang hadir 80 orang kan sidang tidak sah. kalau itu benar, saya tidak tahu. Atau, ada tahapan yang diloncati. Itu uji formal, prosedurnya salah itu bisa dibatalkan," tutur Mahfud.
Sekalipun prosedur pengesahan RUU KPK disebut telah sesuai, publik bisa mengajukan JR soal uji materi.
JR uji materi berisikan pasal-pasal spesifik yang diminta untuk diganti atau dibatalkan.
Misalnya terkait keberadaan Dewan Pengawas KPK, kewenangan SP3, hingga status ASN bagi pegawai KPK.
"Itu bisa diminta ke Judicial Review. Tapi JR mungkin tidak mulus karena MK tidak boleh membatalkan satu undang-undang yang tidak disukai orang, tapi tidak melanggar konstitusi," katanya.
Opsi terakhir, adalah tuntutan meminta penerbitan Perppu oleh Presiden.
Perppu jadi pilihan terakhir jika pandangan subjektif Presiden menganggap situasi hari ini sangat genting, sehingga ia terpaksa mengeluarkan Perppu.
"Ketiga, yang banyak dituntut sekarang ini, opsi yang mungkin kalau sangat-sangat terpaksa memang bisa saja presiden mengeluarkan Perppu," ungkap dia.
Pertimbangkan terbitkan Perppu
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mempertimbangkan terbitkan Peraturan Pemerintah Pengngganti Undang-Undang (Perppu) tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Langkah tersebut diambil setelah Jokowi menerima banyak masukan dari sejumlah tokoh mengenai UU KPK hasil revisi.
"Tadi banyak masukan dari para tokoh pentingnya menerbitkan Perppu," ujar Jokowi dalam jumpa pers bersama para tokoh di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (26/9/2019).
Jokowi akan mengkaji dan mempertimbangkan masukan dari para tokoh tersebut.
"Tentu saja ini akan kita hitung kalkulasi, akan kita pertimbangkan, terutama dari sisi politiknya," jelas Jokowi.
Baca: Profil & Jejak Karier Roy Kiyoshi, Sosok yang Mengaku Punya Kemampuan Melihat Masa Depan & Masa Lalu
Baca: 5 Fakta Tewasnya Mahasiswa UHO Kendari saat Demo, Bantahan Polisi hingga Tanggapan Istana
Baca: KPK Jadwalkan Periksa Imam Nahrawi Sebagai Tersangka Besok
Jokowi berjanji akan segera mengkaji dan memutuskan akan menerbitkan Perppu atau langkah lain.
"Tadi sudah saya sampaikan kepada beliau-beliau ini secepat-cepatnya dalam waktu sesingkat-singkatnya," ujar Jokowi.
"Nanti setelah kita putuskan akan kita sampaikan kepada para senior, dan para guru-guru saya," tambah Jokowi.