Omnibus Law Cipta Kerja
PKB Ingatkan Omnibus Law Jangan Abaikan Aspek Lingkungan
Sekjen PKB Hasanuddin Wahid mengatakan jangan karena alasan mendorong investasi, kemudiam aspek lingkungan hidup diabaikan.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) meminta agar pembahasan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) yang saat ini sudah di meja DPR agar memperhatikan kepentingan lingkungan hidup.
Sekjen PKB Hasanuddin Wahid mengatakan jangan karena alasan mendorong investasi, kemudiam aspek lingkungan hidup diabaikan.
"PKB adalah green party atau partai berwawasan lingkungan maka kita wanti-wanti agar aspek lingkungan harus diperhatikan dalam Omnibus Law ini," ujar Hasanuddin Wahid dalam diskus bertajuk "Omnibus Law Cipta Kerja: Mengancam Lingkungan Hidup dan Agraria?" di Kantor DPP PKB, Jalan Raden Saleh, Jakarta, Rabu (26/2/2020).
Hasan mengatakan, PKB siap mendukung dan berada di garda depan dalam mengamankan Omnibus Law namun harus benar-benar berkomitmen pada penciptaan lapangan kerja.
"Karena itu, kami di PKB akan beri masukan sebesar-besaran lewat DPR dan pemerintah," katanya.
Baca: Optimisme Omnibus Law Harus Didukung Seluruh Stakeholders
Dalam pembahasan RUU ini, kata Hasan, pihak-pihak terkait harus memiliki pikiran yang cerdas, bijaksana, dan ramah lingkungan.
"Bahkan sejak dipikiran, sejak di draf RUU, sejak di pembahasan ini harus diperhatikan agarsampai nantinya peraturan pelaksananya pun benar," tuturnya.
Karena itu, semua pasal dan ayat dalam RUU ini yang mengancam kelestarian lingkungan hidup dan agraria, sertakemakmuran masa depan generasi anak bangsa, PKB akan all out menentangnya.
"Bagi PKB, pelestarian lingkungan hidup tidak bisa ditawar," tegasnya.
Senada dengan Hasan, Anggota Komisi IV dari Fraksi PKB DPR RI Luluk Nur Hamidah mengatakan, Ombinus Law RUU Ciptaker layaknya sapu jagat karena ada 1.244 pasal dari 79 undang-undang yang dijadikan satu UU saja.
Omnibus Law Ciptaker ini dinilai sangat krusial karena terkait dengan perizinan dan dampak lingkungan.
Selama ini, aspek lingkungan menjadi pertimbangan penting dalam memberikan perizinan. Misalnya untuk kegiatan pertambangan, industri dan lainnya.
"Secara umum ini akan berbahaya karena partisipasi masyarakat itu sangat kecil, terutama yang terkait dengan kontrol kebijakan," ujar Luluk.
Selain itu, soal azas desentralisasi, dalam Omnibus Law Ciptaker ini kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten terkait perizinan lingkungan terancam hilang.
"Misalnya pertambangan, pemerintah daerah sudah enggak punya kewenangan, semuanya kan pemerintah pusat. Kemudian soal penguasaan lahan hutan juga kayak gitu. Pertanyaannya, apakah pemerintah pusat ini punya kemampuan untuk penguasaan? Luas wilayah dan geografis kita sedemikian besar dan beragam, sementara semua harus diawasi sampai hal yang sifatnya sangat detail dan operasional," tuturnya.