Undang-undang Kepailitan dan PKPU Harus Dukung Proses Restrukturisasi di Era Pandemi
Dalam situasi pandemi saat ini semua pihak harus saling mendukung proses restrukturisasi untuk menjaga kelangsungan usaha.
Editor:
Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Organisasi Restructuring and Insolvency Chamber Indonesia (RICI) menyelenggarakan webinar dengan topik relevansi undang-undang kepailitan dan PKPU di era pandemi dengan melibatkan narasumber dari pelaku usaha, perbankan, dan praktisi hukum.
Webinar yang melibatkan kurang lebih 400 peserta tersebut, membahas tentang kondisi yang dihadapi oleh beberapa sektor usaha di masa pandemi covid 19 dan bagaimana pihak-pihak menjaga likuiditas kegiatan usahanya.
Alfin Sulaiman selaku Ketua Umum RICI menyampaikan, bahwa dalam situasi pandemi saat ini semua pihak harus saling mendukung proses restrukturisasi untuk menjaga kelangsungan usaha dan likuiditas pelaku usaha guna menunjang keberlangsungan ekonomi negara.
Baca juga: Praktisi Hukum: Maraknya Kasus Pailit Bikin Rugi Pengembang Properti dan Konsumen
"Dalam kondisi pandemi Covid 19 saat ini, penerapan konsep PKPU yang tertuang dalam UU Nomer 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU harus diutamakan untuk melakukan restrukturisasi daripada proses kepailitan", ungkap Alfin dalam keterangan persnya di Jakarta, Minggu (18/10/2020).
"Dalam arti positif, PKPU ini menjadi ruang restrukturisasi bagi debitur dengan para kreditornya terhadap utang-utang yang memang tidak atau sulit dibayar saat jatuh tempo di masa pandemi Covid 19 saat ini. Karena itu semua pihak harus saling mendukung proses restrukturisasi guna menunjang keberlangsungan ekonomi negara," tambah Alfin yang juga merupakan Ketua Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Jakarta Selatan itu.
Baca juga: Bisnis Penerbangan Lesu, Maskapai Nasional Diminta Antisipasi Risiko Pailit Lessor Luar Negeri
Hal ini juga ditegaskan oleh Sekretaris Jenderal RICI Harvardy M. Iqbal, bahwa organisasi RICI hadir sebagai forum komunikasi dan wadah dari seluruh pelaku kegiatan restrukturisasi, baik pelaku usaha, perbankan, profesi penunjang seperti akuntan, financial advisor, tax consultant, praktisi hukum dan keuangan, kurator, maupun pemerintah dan badan peradilan.
Di sisi lain, Dedy Teguh Krisnawan selaku Senior VP SAM Bank Mandiri sebagai salah satu narasumber dalam webinar ini, menyampaikan bahwa perbankan cenderung memberikan kesempatan kepada debitor untuk melakukan langkah restrukturisasi di luar pengadilan dibandingkan mengambil langkah hukum litigasi di era pandemi.
"Hingga periode bulan Agustus 2020, Bank Mandiri telah melakukan restrukturisasi kredit debitor terdampak covid 19 dengan jumlah 119,3 Triliun yang berasal dari 545.692 debitor," ungkap Dedy.
Narasumber dari pihak pengusaha, Reza Octavian yang mewakili Hipmi Jaya juga menyampaikan bahwa pengusaha masih optimis bahwa Pandemi Covid 19 segera berakhir dan melakukan upaya maksimal untuk mencegah tindakan pemutusan hubungan kerja dengan karyawan.
Namun Pengusaha juga meminta Pemerintah mempertimbangkan pemberian keringanan beban pajak yang wajib di tanggung pengusaha khususnya terhadap sektor-sektor yang sangat terdampak.
"HIPMI Jaya prihatin dengan banyaknya permohonan pailit maupun PKPU yang menanjak jumlahnya di era pandemi dan mendorong pemerintah dan DPR untuk melakukan revisi Undang-undang Kepailitan dan PKPU khususnya terhadap syarat insolvency test untuk mengajukan permohonan pailit dan PKPU," tutur Reza.
Selain itu, Praktisi hukum GP Aji Wijaya selaku narasumber juga menyampaikan bahwa Undang-undang Kepailitan dan PKPU masih terdapat beberapa kelemahan terutama terkait dengan dapat atau tidaknya debitor yang sudah masuk dalam PKPU dan membuat proposal restrukturisasi kemudian karena kondisi pandemi melakukan revisi perubahan kembali terkait proyeksi proposal restrukturisasi nya.
"Kemudian pihak-pihak terkait khusus nya perbankan belum ada penyeragaman sikap terkait status kolektabilitas debitor yang sudah masuk dalam restrukturisasi melalui penundaan kewajiban pembayaran utang," imbuhnya.
Oleh karena itu, Aji juga mendorong agar Mahkamah Agung membuat suatu peraturan yang sifatnya temporer guna mengantisipasi melonjaknya permohonan kepailitan dan PKPU. "Sehingga dapat mendorong penyelesaian restrukturisasi melalui PKPU secara maksimal untuk mencegah banyaknya perusahaan atau individu yang masuk ke dalam jurang kepailitan," tandasnya.
Berita ini tayang di Kontan dengan judul: UU Kepailitan dan PKPU harus mendukung proses restrukturisasi di masa pandemi