Kamis, 28 Agustus 2025

Jawaban Polisi Soal Temuan Amnesty Internasional: Sampai Detik Ini Tidak Ada Laporan Kekerasan

Polri angkat bicara terkait temuan Amnesty Internasional yang menemukan 43 insiden kekerasan oleh polisi saat unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja.

Penulis: Igman Ibrahim
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Aparat Kepolisian bersitegang dengan pendemo di kawasan Harmoni, Jakarta, Kamis (8/10/2020). Demonstrasi menolak UU Cipta Kerja berlangsung ricuh. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Igman Ibrahim

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polri angkat bicara terkait temuan Amnesty Internasional yang menemukan 43 insiden kekerasan oleh polisi saat unjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) di berbagai daerah di Indonesia.

Karo Penmas Humas Polri Brigjen Awi Setyono membantah temuan yang diungkapkan oleh Amnesty Internasional. Menurutnya, tidak ada satu pun laporan insiden kekerasan yang dilakukan oleh Polri.

"Saya sudah cross check ke Polda Metro Jaya, ke Polda Jajaran dan Propam Polri. Sampai detik ini tidak ada laporan kekerasan yang dilakukan oleh Polri," kata Brigjen Awi di Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis (3/12/2020).

Baca juga: Pemerintah Diminta Lakukan Penyelidikan Temuan Amnesty International Soal Tindakan Kekerasan Polisi

Baca juga: AS Cabut Larangan Masuk bagi Prabowo Subianto, Kata Amnesty Internasional: Ini Bencana HAM

Menurut Awi, aparat kepolisian RI diklaim telah proporsional dan professional saat pengamanan unjuk rasa Omnibus Law yang lalu. Dia juga membeberkan pedoman hukum yang diterapkan oleh setiap petugas pengamanan.

Di antaranya, Peraturan Kapolri nomor 16 tahun 2006 tentang pedoman pengendalian massa, peraturan Kapolri nomor 1 tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian dan Protap Kapolri nomor 1 tahun 2010 tentang penanggulangan anarki.

"Selama ini polri sudah proporsional dan profesional dalam pengamanan unjuk rasa beberapa waktu yang lalu terkait omnibus law," cetus Awi.

Dalam beleid pasal-pasal itu, ada tahapan yang dilakukan pasukan pengamanan terkait aksi unjuk rasa. Dimulai tahapan pencegahan, perintah lisan, kendali tangan kosong hingga kendali tangan keras.

Massa buruh yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) saat menggelar aksi demonstrasi menolak Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja pada Selasa (17/11/2020). pada aksi tersebut mereka mengajukan empat tuntutan yakni mencabut UU Cipta Kerja, membatalkan SK Menaker soal ketiadaan kenaikan upah minimum 2021, setop represivitas aparat dan bebaskan massa aksi yang dikriminalisasi, serta gratiskan biaya pendidikan selama pandemi. Tribunnew/Jeprima
Massa buruh yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) saat menggelar aksi demonstrasi menolak Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja pada Selasa (17/11/2020). pada aksi tersebut mereka mengajukan empat tuntutan yakni mencabut UU Cipta Kerja, membatalkan SK Menaker soal ketiadaan kenaikan upah minimum 2021, setop represivitas aparat dan bebaskan massa aksi yang dikriminalisasi, serta gratiskan biaya pendidikan selama pandemi. Tribunnew/Jeprima (Tribunnews/JEPRIMA)

Untuk pencegahan, Polri menyiapkan berbagai kendaraan taktis seperti mobil sirine, mobil watercanon, dan berbagai kendaraan lainnya. Sementara tahapan perintah lisan berupa imbauan kepada massa untuk tetap tenang.

Selanjutnya, kata Awi, tahapan kendali tangan kosong merupakan peredaman massa dengan tanpa menggunakan alat. Sementara tahapan terakhir, kendali tangan keras menggunakan peralatan lengkap untuk mendorong massa.

"Kendali dengan tangan keras, kalau sudah pendemo mulai teriak dan mulai ada lemparan, itu akan ada lintas ganti. Nanti disitu mulailah yang dinamakan kendali tangan keras ini pasukan sudah mulai pegang tameng dengan tongkat," jelasnya.

Selain itu, Polri juga menyiapkan tahapan kendali senjata tumpul jika tahapan kendali tangan keras tidak berhasil meredam massa. Tindakan ini berupa penembakan gas air mata, semprotan cabai hingga watercanon.

"Kalau massa mulai meringsek melakukan lemparan, melakukan pembakaran. Kita menggunakan water canon, menggunakan tongkat, menghalau massa, memecah belah, menceraiberaikan massa. Karena psikologi massa demikian. Mereka itu berani kalau berkumpul, tapi kalau sudah sendiri bubar, kocar-kacir mereka sudah berlarian," jelasnya.

Awi memaparkan tahapan penanganan unjuk rasa yang terakhir adalah kendali senjata api atau lain untuk menghentikan perilaku kejahatan atau tersangka yang menyebabkan luka atau kematian anggota Polri.

Namun, tahapan itu tidak pernah dipakai oleh Polri. Sebaliknya, tahapan unjuk rasa hanya sampai dengan kendali senjata tumpul saja.

Awi menyampaikan penggunaan tongkat untuk melumpuhkan aksi unjuk rasa tidak masalah. Khususnya untuk aksi unjuk rasa yang telah berjalan anarkis.

"Gunanya tongkat ya untuk melumpuhkan, kalau mereka memang anarkis gak mungkin kita elus-elus lagi kayak demo damai. Selama ini demo damai tidak ada masalah apa-apa kan. Di Amerika, polisi didorong saja sudah luar biasa. Sudah melawan penegak hukum, senjata pun bisa dia gunakan, ditembakkan," tandasnya.

Diberitakan sebelumnya, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan pihaknya telah memverifikasi 51 video yang menggambarkan 43 insiden kekerasan oleh polisi saat unjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) di berbagai daerah di Indonesia.

Usman mengatakan dalam proses tersebut pihaknya bekerja sama dengan Crisis Evidance Lab dan Digital Verificatioan Corps Amnesty International.

Insiden kekerasan dalam video tersebut terjadi dalam kurun 6 Oktober hingga 10 November 2020.

Sejumlah video juga diunggah bersama peta sebaran insiden kekerasan di Indonesia di laman resmi Amnesty International Indonesia.

Usman mengatakan hasil verifikasi tersebut menunjukkan polisi di berbagai Indonesia telah melakukan pelanggaran HAM yang sangat mengkhawatirkan.

Untuk itu ia meminta pihak berwenang di Indonesia segera menyelidiki kasus penggunaan kekerasan yang tidak sah oleh polisi yang terjadi saat aksi menolak Omnibus Law Cipta Kerja secara mandiri, netral dan efektif.

Ketika para pengunjuk rasa berdemo menuntut pembatalan undang-undang di berbagai kota, Usman menyayangkan sebagian dari mereka justru direspon dengan kekerasan termasuk pemukulan, penyiksaan, dan perlakuan lain yang menunjukkan pelecehan terhadap kebebasan untuk mereka berkumpul dan menyatakan pendapat.

Hal tersebut disampaikan Usman dalam Peluncuran Laporan Bukti Kekerasan Polisi Selama Aksi Tolak Omnibus Law di kanal Youtube Amnesty International Indonesia pada Rabu (2/12/2020).

"Ada banyak sekali video yang kami terima dan juga menunjukkan kesaksian terhadap kekerasan polisi yang saat itu terjadi dalam demonstrasi menentang undang-Undang Omnibus. Ini Insiden yang mengingatkan kita pada brutalitas aparat keamanan kepada mahasiswa di tahun 98 sampai 99 di masa-masa akhir presiden otoriter Soeharto," kata Usman.

Berdasarkan video-video dan keterangan uang dihimlun tersebut Usman mengatakan setidaknya ada empat pola kekerasan yang dilakukan polisi.

Pertama adalah penggunaan alat yang tidaj tepat di antaranya bambu, kayu, dan lainnya.

Kedua adalah penggunaan gas air mata dan water canon yang tidak tepat dalam pembubaran aksi terkait perintah pembubaran dan waktu yang diberikan kepada pengunjuk rasa untuk bubar.

Ketiga adalah penahanan incommunicado atau menutup akses komunikasi dari dunia luar.

Keempat adalah bentuk penyiksaan yang dinilai tidak manusiawi dan merendahkan martabat di antaranya ditelanjangi dan dipaksa berbaring di bawah matahari.

Padahal, kata Usman, Indonesia adalah negara yang mendukung Konvensi PBB yang Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (UNCAT) dan larangan penyiksaan diatur dalam Konstitusi negara ini.

Selain itu, kata dia, ada juga larangan mutlak atas penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat menurut hukum kebiasaan internasional.

"Insiden-insiden seperti ini menunjukkan kegagalan dalam melindungi masyarakat dan juga menjaga standard internasional dalam tugas-tugas kepolisian. Kami percaya bahwa kekerasan tidak boleh digunakan untuk menghukum mereka yang dituduh atau diduga tidak patuh terhadap kebijakan pemerintah atau hanya mengekspresikan kebebasan berkumpul," kata Usman.

Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan