Minggu, 17 Agustus 2025

Eks Ketua KPK: Hukuman bagi Koruptor Bukan Mati, tapi Eksistensi Sosial Dimatikan

Mantan Ketua KPK Agus Rahardjo, menilai Indonesia dapat meniru Singapura dimana hukuman koruptor bukan mati, eksistensi sosialnya dimatikan.

Penulis: Shella Latifa A
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Mantan Ketua KPK Agus Rahardjo (kanan) bersama Ahli Hukum Pidana Universitas Parahyangan Agustinus Pohan (kiri) menjadi pembicara dalam diskusi terbuka di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (19/12/2019). Agus Rahardjo menilai Indonesia dapat meniru Singapura dimana hukuman koruptor bukan mati, eksistensi sosialnya dimatikan. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menyebut Indonesia dapat mencontoh negara Singapura dalam menghukum para pejabat koruptor.

Menurutnya, hukuman yang paling tepat bagi koruptor ialah mematikan eksistensi sosial mereka.

"Kalau saya, tepat apa yang dilakukan Singapura. Hukuman koruptor itu bukan mati, tapi eksistensi sosialnya dimatikan," kata Agus, dikutip dari diskusi virtual YouTube Medcom.id, Minggu (21/2/2021).

Eksistensi yang dimaksud, koruptor tak dapat menikmati fasilitas apapun setelah tertangkap, seperti dilarang memiliki rekening dan mendirikan usaha.

Lalu, harta kekayaan yang dimiliki koruptor juga dapat disita negara sampai habis.

Baca juga: Terlibat Narkoba, Enam Mantan Petugas Lapas di Riau Jalani Hukuman di Nusakambangan

Baca juga: Dugaan Korupsi Stadion Mandala Krida Yogyakarta, KPK Geledah Kantor PT Eka Madra Sentosa

"Jadi, dimiskinkan dulu. Harta yang dinikmati kemudian dirampas semua." 

"Setelah dikembalikan kerugian negara, eksistensi berikutnya seperti bukan manusia lagi."

"Sampai punya rekening enggak boleh, punya usaha enggak boleh," terang mantan Ketua KPK itu.

Pernyatan Agus itu dikeluarkan dalam menanggapi statement Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej beberapa waktu lalu.

Dimana, Eddy mengatakan hukuman mati layak bagi koruptor, khususnya pada kasus dugaan suap Eks Menteri KKP Edhy Parbowo dan Eks Mensos Juliari P. Batubara.

Ketua KPK periode 2015-2019 Agus Rahardjo berjabat tangan dengan Ketua KPK Firli Bahuri usai upacara pelantikan Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12/2019). Presiden Joko Widodo melantik lima pimpinan KPK periode 2019-2023 yakni Firli Bahuri, Alexander Marwata, Lili Pintauli Siregar, Nawawi Pomolango dan Nurul Ghufron. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Ketua KPK periode 2015-2019 Agus Rahardjo berjabat tangan dengan Ketua KPK Firli Bahuri usai upacara pelantikan Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12/2019). TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Baca juga: Wamenkumham Nilai Pidana Mati Layak Bagi 2 Eks Menteri yang Korupsi, Ini Tanggapan Refly Harun

Baca juga: Setujui Edhy dan Juliari Dihukum Mati, Mantan Ketua KPK: Bisa Buat Orang Takut Korupsi

Selain itu, Agus menekankan, pemerintah perlu memperbaiki sistem yang ada untuk menutup celah korupsi.

Bukan hanya memikirkan persoalan hukuman apa yang setimpal.

"Perlu didukung terus untuk perbaikan sistem kita. Jadi banyak yang nyebut, sistem pendidikan."

"Sistem reformasi pegawai negeri, itu yang penting," pungkas Agus.

Wamenkumham: Edhy Prabowo dan Juliari Batubara Layak Dituntut Pidana Mati

Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej menilai, dua mantan menteri di Kabinet Indonesia Maju, yakni eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara layak untuk dituntut dengan ancaman hukuman mati.

Hal ini disampaikan Eddy Hiariej, sapaan Edward Omar Hiariej, saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional: Telaah Kritis terhadap Arah Pembentukan dan Penegakkan Hukum di Masa Pandemi yang ditayangkan secara daring di akun YouTube Kanal Pengetahuan FH UGM, Selasa (16/2/2021).

"Kedua mantan menteri ini (Edhy Prabowo dan Juliari Batubara) melakukan perbuatan korupsi yang kemudian terkena OTT KPK.

Mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara menjalani pemeriksaan lanjutan kasus dugaan suap pengadaan bantuan sosial (bansos) Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020.
Mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara menjalani pemeriksaan lanjutan kasus dugaan suap pengadaan bantuan sosial (bansos) Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020. (TRIBUNNEWS/ILHAM RIAN PRATAMA)

Bagi saya mereka layak dituntut Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang mana pemberatannya sampai pidana mati," ucap Omar dalam acara tersebut, diberitakan Tribunnews sebelumnya.

Baca juga: Jaksa KPK Limpahkan Berkas Penyuap Eks Mensos Juliari ke Pengadilan Tipikor Jakarta

Baca juga: Jam Tangan Jokowi Pemberian Raja Salman Seharga Rp 4,7 Miliar, Ini Bentuk dan Kemewahannya

Diketahui, Edhy Prabowo merupakan tersangka penerima suap kasus dugaan suap izin ekspor benih bening lobster.

Edhy ditetapkan tersangka bersama enam orang lainnya setelah ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang dilancarkan KPK pada 25 November 2020.

Sekitar 10 hari kemudian atau tepatnya pada Minggu (6/12/2020), KPK menjerat Juliari Batubara selaku Menteri Sosial dan empat orang lainnya sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait bantuan sosial (bansos) untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020.

Menurut Eddy Hiariej, kedua mantan Menteri itu layak dituntut hukuman mati karena melakukan praktik korupsi di tengah pandemi Covid-19.

Selain itu, korupsi tersebut dilakukan dengan memanfaatkan jabatan yang mereka emban sebagai menteri.

Tersangka mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Edhy Prabowo meninggalkan Gedung KPK usai menjalani pemeriksaan, di Jakarta Selatan, Senin (18/1/2021). Edhy Prabowo diperiksa terkait kasus dugaan suap ekspor benih lobster. Tribunnews/Irwan Rismawan
Tersangka mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Edhy Prabowo meninggalkan Gedung KPK usai menjalani pemeriksaan, di Jakarta Selatan, Senin (18/1/2021). Edhy Prabowo diperiksa terkait kasus dugaan suap ekspor benih lobster. Tribunnews/Irwan Rismawan (Tribunnews/Irwan Rismawan)

"Jadi dua yang memberatkan itu dan itu sudah lebih dari cukup dengan Pasal 2 Ayat 2 UU Tipikor," tegasnya.

Ancaman hukuman mati tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor.

Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 menyatakan, "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."

Sementara Pasal 2 ayat (2) menyebutkan, "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan."

Sedangkan penjelasan Pasal 2 Ayat (2) menyatakan, "Yang dimaksud dengan 'keadaan tertentu' dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi."

(Tribunnews.com/Shella/Ilham Rian)

Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan