Virus Corona
Apa Itu Panic Buying? Fenomena Warga Borong Barang saat Pandemi, Ini Penjelasan Ahli
Berikut penjelasan sosiolog soal fenomena panic buying, dimana warga borong barang saat pandemi Covid-19.
Penulis:
Shella Latifa A
Editor:
Arif Fajar Nasucha
TRIBUNNEWS.COM - Selama masa pandemi Covid-19 di Indonesia, muncul sejumlah fenomena panic buying dari masyarakat.
Panic buying ini identik dengan tindakan masyarakat memborong barang dalam jangka waktu pendek.
Biasanya, fenomena ini akan menyebabkan suatu barang akan langka di pasaran.
Awal pandemi, panic buying sempat terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.
Di mana, masyarakat berbondong-bondong memborong masker dan hand sanitizer dalam jumlah banyak.
Baca juga: LaporCovid-19: Pemerintah Tak Dengar Masukan Para Ahli Soal Potensi Lonjakan Covid-19
Baca juga: Daftar Harga Eceran Tertinggi 11 Obat Terapi Covid-19, Ahli: Gunakan Sesuai Kondisi
Kedua barang itu pun menjadi langka dan membuat harga melonjak tinggi dari sebelumnya.
Lantas apa yang dimaksud dengan fenomena panic buying?
Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Drajat Tri Kartono menyebut panic buying muncul karena adanya demonstration effect.
Di mana, seseorang akan meniru perilaku yang banyak dilakukan oleh orang lain.
"Melakukan sesuatu karena melihat orang lain melakukan dalam jumlah banyak."
"(Ibarat) saya tidak punya alasan yang sangat penting terhadap kebutuhan barang itu."
"Tapi karena orang lain melakukannya, jadi saya merasa juga harus ikut membeli," kara Drajat dalam keterangannya kepada Tribunnews, Senin (5/7/2021).

Lanjutnya, panic buying juga muncul karena adanya kepanikan.
"Suatu kecemasan atau kepanikan bahwa barang yang saya butuhkan itu akan hilang dalam waktu cepat di pasar."
"Kalau saya tidak respon cepat, saya akan kehilangan barang itu," ucapnya.
Baca juga: Daun Salam Bisa Dimanfaatkan untuk Atasi Diabetes, Ahli Jelaskan Hal-hal yang Perlu Diperhatikan
Dikatakannya, panic buying biasanya akan berhubungan dengan kebutuhan ekonomi.
Ia mencontohkan, momen reformasi 1998, di mana nilai tukar rupiah tidak stabil.
Lalu, banyak masyarakat memborong kebutuhan pokok, sebelum harganya melonjak tinggi.
Sistem yang Tidak Berjalan Normal
Panic buying juga bisa dipicu karena adanya sistem tatanan kehidupan yang tidak berjalan normal, seperti di masa pandemi ini,
Baik, itu ekonomi, kesehatan, atau pun sosial.
Seperti, fenomena warga memborong susu beruang hingga obat Covid-19.
"Susu atau produk lain, seperti obat cacing, itu terjadi karena sistem pendukung kesehatan sudah tidak mampu berjalan lagi dengan normal (gagal)."
"Masyarakat melihat RS penuh, RS hanya akan menerima ketika seseorang sudah sakit parah."
"Untuk mengatasi kegagalan sistem itu, seseorang harus membuat jaring pengaman saya sendiri," katanya.

Informasi Negatif
Sisi lain, kata Drajat, panic buying bisa timbul karena beredar informasi negatif di tengah masyarakat.
Di mana, tindakan memborong dalam waktu pendek itu akan menyebabkan barang menjadi langka.
Sehingga, antara permintaan dengan pasokan tidak seimbang.
"Informasi negatif dalam arti bukan kejelekan, tapi yang memprovokasi ini muncul."
"Dengan (informasi) susu, obat cacing, vitamin maka kemudian (membuat) orang bergegas membeli itu," terangnya.
Baca juga: Ahli Jelaskan Rutin Mengonsumsi Minyak Zaitun Bisa Mencegah Penyakit Kanker
Ia mengatakan, Informasi negatif itu nanti akan memunculkan konsumsi seseorang secara simbolik saja.
Artinya, seseorang membeli bukan karena produknya, tetapi karena simbol keyakinan.
Apalagi, menurut Drajat, barang yang identik dengan pandemi, akan selalu diburu.
"Orang membeli bukan karena barangnya, tetapi karena simbolnya."
"Apakah itu obat yang paling manjur atau cepat diakses," tutur Drajat.
Kata Drajat, panic buying adalah fenomena wajar yang dilakukan masyararakat ketika berhadapan dengan krisis.
Maka dari itu, pemerintah punya peran penting untuk memberikan kepastian dengan informasi.
(Tribunnews.com/Shella Latifa)