Jumat, 22 Agustus 2025

Pakar Hukum: Tak Ada Alasan Jokowi Abaikan Silang-Sengkarut Tes Wawasan Kebangsaan di KPK

Jokowi tak boleh menutup mata terhadap kontroversi tes wawasan kebangsaaan (TWK) di KPK karena Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara.

Penulis: Reza Deni
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Massa aksi yang tergabung dalam serikat buruh dan masyarakat sipil melakukan aksi teatrikal di depan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (28/6/2021). Aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk protes dari upaya pelemahan KPK mulai dari revisi UU KPK hingga pemecatan 75 pegawai KPK yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya Dhia Al Uyun mengatakan, tidak ada alasan bagi Presiden Joko Widodo untuk tidak terlibat soal kewenangan dalam proses Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) di KPK yang kini menuai berbagai macam reaksi keras dari publik.

Hal tersebut, dikatakan Dhia, mengacu pada Pasal 4 Ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam sebuah negara.

"Tidak ada alasan bagi Presiden untuk tidak melakukan evaluasi terhadap proses kewenangan tentang TWK ini," kata Dhia dalam diskusi virtual bertajuk 'Pertanggungjawaban Presiden dalam Kasus Pegawai KPK' yang diadakan oleh Constitutional and Adiministrative Law Society (CALS) di kanal Youtube PUSaKO FHUA, Minggu (19/9/2021).

Bahkan, dikatakan Dhia, Presiden Jokowi wajib untuk melakukan hal tersebut, karena dua lembaga negara yakni Komnas HAM dan Ombudsman RI sudah menyampaikan rekomendasinya soal sengkarut yang terjadi terkait TWK di KPK.

Baca juga: Ombudsman: Presiden Tidak Bisa Abaikan Rekomendasi Terkait TWK Pegawai KPK

"Memang terdapat i dikasi dugaan pelanggaran. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di negara, maka Presiden harus mengambil andil karena terdapat pelanggaran sistem merit dalam proses pengalihan status ini juga jadi sorotan bagi proses dari pendelegasian kewenangan," ujar Dhia.

Baca juga: Pakar Nilai TWK Hanya Jadi Alibi Penguasa Singkirkan Pegawai KPK

Maka, ketika Jokowi mengatakan bahwa dirinya tak ingin ambil kewenangan dalam polemik di KPK, Dhia menyebut hal itu salah besar.

"Dalam kerangka ketatanegaraan kita, Presiden itu kekuasaan tertinggi di sistem presidensil, dan sampai sekarang sistem kita masih presidensil," kata Dhia.

Baca juga: Jokowi Ogah Campuri Kasus TWK, Akademisi: Saat Diminta Jadi Saksi Nikah Influencer Langsung Bergegas

"Artinya apa? Artinya, Presiden punya kewenangan utama untuk bertanggung jawab dalam proses-proses penyelenggaraan," tandasnya.

Sebelumnya, dalam pertemuan dengan pimpinan media massa, Kamis (16/9/2021) lalu, Presiden Jokowo tak mau berkomentar soal TWK sebelum putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi keluar.

Jokowi mengingatkan agar segala persoalan jangan kemudian selalu dilimpahkan atau ditarik ke presiden.

"Jangan apa-apa ditarik ke Presiden. Ini adalah sopan-santun ketatanegaraan. Saya harus hormati proses hukum yang sedang berjalan," ucap Jokowi

Diketahui, sebanyak 56 pegawai nonaktif KPK tidak akan lagi bekerja di lembaga antirasuah per 1 Oktober 2021.

Itu karena Firli Bahuri Cs resmi memecat 56 dari total 75 pegawai gagal menjadi aparatur sipil negara (ASN) karena tersandung tes wawasan kebangsaan (TWK) pada 30 September 2021 mendatang.

Ketua KPK Firli Bahuri pun telah mengeluarkan SK Pimpinan KPK tentang Pemberhentian Dengan Hormat Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi.

SK bernomor 1354 tahun 2021 itu ditetapkan di Jakarta pada 13 September 2021. Surat ditandatangani oleh Firli Bahuri.

Baca juga: ICW Desak Jokowi Temui Ombudsman dan Komnas HAM Bahas Polemik TWK Pegawai KPK

Salinan SK disampaikan kepada Dewan Pengawas KPK, Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Jakarta VI, serta pegawai itu sendiri.

Dalam diktum poin kesatu, pimpinan KPK memberhentikan dengan hormat pegawai KPK per tanggal 30 September 2021.

"Memberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi mulai tanggal 30 September," tulis SK yang didapat Tribunnews.com dari sumber, Sabtu (18/9/2021).

Masih dalam diktum poin kesatu, tercantum pula nama si pegawai, NPP (Nomor Pendaftaran Perusahaan), serta jabatan. Tak luput tersemat kalimat ucapan terima kasih atas jasa-jasa si pegawai karena telah bekerja di KPK.

Diktum poin kedua, disebutkan bahwa pegawai yang dipecat akan diberikan tunjangan hari tua dan manfaat Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.

"Pegawai sebagaimana dimaksud pada diktum KESATU diberikan Tunjangan Hari Tua dan manfaat BPJS Ketenagakerjaan sesuai peraturan perundang-undangan,” bunyi SK tersebut.

Diktum poin ketiga berbunyi, "Apabila di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam Keputusan ini, akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya."

Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan