Senin, 8 September 2025

Komnas HAM Kecam Tindakan Polisi Banting Pengunjuk Rasa di Tangerang

Beka Ulung Hapsara mengatakan pihaknya mengecam tindakan kekerasan yang beredar luas di media sosial tersebut.

Tribunnews.com/Rizki Sandi Saputra
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Beka Ulung Hapsara 

Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komnas HAM turut angkat suara atas tindakan seorang anggota Polri yang membubarkan massa aksi di depan Kantor Bupati Tangerang, dengan cara kekerasan.

Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara mengatakan pihaknya mengecam tindakan kekerasan yang beredar luas di media sosial tersebut.

"Komnas HAM mengecam perlakuan aparat kepada kawan-kawan mahasiswa yang sedang melakukan aksi damai," kata Beka saat dikonfirmasi wartawan, Rabu (13/10/2021).

Baca juga: Kondisi Terkini Mahasiswa yang Dibanting Polisi Saat Demo di Kantor Bupati Tangerang

Atas insiden ini, Komnas HAM kata Beka mendesak Polri untuk dapat mengusut tindakan tersebut hingga tuntas.

Bahkan, kata Beka, Polri juga harus memberikan sanksi kepada oknum polisi yang melakukan kekerasan dalam insiden yang viral di media sosial itu.

"Polisi harus mengusut tuntas peristiwa ini, memberikan sanksi tegas kepada pelaku dan menjamin perlakuan yang sama tidak terulang kembali," tukasnya.

Tak hanya Komnas HAM, sebelumnya Lembaga swadaya masyarakat sekaligus wadah penelitian SETARA Institute angkat suara terkait perlakuan anggota kepolisian dalam membubarkan massa aksi di depan kantor Bupati Tangerang, Banten, Rabu (13/10/2021).

Di mana aksi tersebut terekam dalam video yang telah beredar luas media sosial.

Dalam video berdurasi 48 detik itu terlihat seorang aparat kepolisian membanting seorang massa aksi dengan posisi badan belakang menghantam trotoar.

Ironisnya, akibat dari bantingan yang dilakukan pihak kepolisian tersebut, korban mengalami kejang-kejang dan kehilangan kesadaran.

Padahal kata Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute Ikhsan Yosarie, massa aksi seharusnya dilindungi hak-hak dalam menyampaikan pendapat bukan malah sebaliknya.

"Massa demonstrasi yang seharusnya dilindungi hak-hak konstitusionalnya dalam menyampaikan pendapat dan berekspresi, justru disambut bantingan dan tindakan kekerasan lainnya oleh aparat di lapangan," kata Ikhsan dalam keterangan tertulisnya, Rabu (13/10/2021).

Atas insiden ini, SETARA Institute kata Ikhsan menyatakan beberapa pandangannya, serta menilai tindakan yang dilakukan pihak kepolisian dengan menggunakan kekerasan adalah sesuatu yang tidak bisa ditoleransi.

Bahkan kata dia, Polri telah gagal memahami bahwa sebagai aparatur pemerintah, Polri berkewajiban untuk melindungi hak asasi manusia dan menyelenggarakan pengamanan.

Aturan itu tertuang sebagaimana amanat Pasal 7 UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.

"Keduanya merupakan tanggungjawab yang harus dipenuhi secara bersamaan, bukan secara alternatif dengan dalil menyelenggarakan pengamanan namun abai akan perlindungan HAM," bebernya.

Lebih lanjut kata Ikhsan, pihaknya juga menyatakan kalau tindakan anggota kepolisian tersebut tidak berpegang teguh pada implementasi konsep Presisi yang dicanangkan Polri.

Konsep pendekatan dan perlakuan humanis kepada masyarakat juga tidak tercermin dalam perlakuan anggota kepolisian tersebut.

Atas hal itu, pihaknya meminta Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo untuk melakukan evaluasi terkait visi-misi Presisi.

"Kapolri semestinya melakukan evaluasi terkait visi Polri Presisi terhadap pelbagai jajarannya di daerah. Termasuk merancang indikator-indikator terukur yang wajib dipedomani oleh setiap anggota Polri," ucapnya.

Selanjutnya, Ikhsan mengatakan, pihaknya berpandangan penting untuk mengingatkan kepada Polri untuk kembali menilik Pasal 18 ayat (1) UU a quo.

Di mana dalam aturan tersebut Polri dapat dikenai pidana penjara akibat cara kekerasannya dalam menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum.

Lebih jauh kata kata Ikhsan, tindakan kekerasan aparat yang terlihat jelas dalam video yang telah beredar jangan sampai direduksi hanya dengan video-video yang memperlihatkan kondisi korban yang telah atau masih baik-baik saja.

Selain rentan di rekayasa dan penuh tekanan kata dia, model penyelesaian demikian juga melahirkan impunitas aparat dan menihilkan pertanggungjawaban.

"Cara-cara konvensional menutupi praktik kekerasan seperti ini hanya menimbulkan kecaman lanjutan dari publik dan sama sekali tidak menyelesaikan masalah," tukas Ikhsan.

Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan