Soal Kisruh SBM ITB, Anggota DPR: Mendikbudristek Berperan Besar dalam Penyelesaian
Menurut Komisi X, Mendikbudristek memiliki peran dalam penyelesaian kisruh di SBM ITB jika belum ada penyeleesaian masalah oleh pihak SBM ITB sendiri.
Penulis:
Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor:
Inza Maliana
TRIBUNNEWS.COM - Forum Dosen Sekolah Bisnis dan Manajemen (FD SBM) Institut Teknologi Bandung (ITB) memutuskan untuk tidak beroperasi seperti biasanya mulai Selasa (8/3/2022) lalu.
Akibatnya, proses belajar pun tidak dilaksanakan secara luring ataupun daring tetapi mahasiswa diminta untuk belajar sendiri.
Dikutip dari Kompas.com, keputusan penyetopan pengoperasian ini berawal dari pencabutan hak swakelola SBM ITB tahun 2003 oleh Rektor ITB, Prof Reini Wirahadikusumah tanpa adanya pemberitahuan dan kesepakatan pihak-pihak yang berkepentingan.
Itu karena kebijakan Rektor ITB saat ini tidak memungkinkan SBM ITB untuk beroperasi melayani mahasiswa sesuai standar internasional yang selama ini diterapkan," kata perwakilan FD SBM ITB, Jann Hidayat pada Rabu (9/3/2022).
Konflik di internal SBM ITB pun disoroti oleh Anggota Komisi X DPR RI, Himmatul Aliyah.
Baca juga: Konflik Dosen SBM-Rektor, Ini Penjelasan ITB
Baca juga: Mengenang Arifin Panigoro: Pengusaha Migas Alumni ITB yang Penggagas Liga Primer Indonesia
Dikutip dari dpr.go.id, Himmatul meminta Menteri Pendidikan, Kebudayaan, RIset, dan Teknologi (Mendikbudristek) agar segera mengambil tindakan, agar konflik internal tersebut tidak berkepanjangan.
“Mendikbudristek berperan besar dalam penyelesaian masalah ini, karena sebagaimana disebut dalam statuta tersebut, jika keputusan akhir penyelesaian masalah-masalah dalam ITB tidak tercapai, penyelesaian diserahkan kepada Mendikbudristek,” kata Himmatul pada Jumat (11/3/2022).
Selain itu, dirinya juga meminta agar pihak-pihak yang berkonflik segera mengakhirinya sehingga mahasiswa mendapat pelayanan pendidikan sebagaimana mestinya.
Ia juga menilai imbas konflik seperti tidak dipenuhinya pelayanan pendidikan kepada mahasiswa telah bertentangan dengan statuta ITB sendiri.
Yaitu pasal 41 ayat 1 Statuta ITB yang berbunyi:
“Setiap mahasiswa mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan pendidikan serta fasilitas pendukung untuk menjamin kelancaran proses pembelajaran,” demikian bunyi pasal tersebut.
Himmatul juga menambahkan, sebagai komunitas yang memiliki tradisi ilmiah dengan mengembangkan budaya akademik, sudah seharusnya konflik yang terjadi segera diatasi.
Menurutnya, cara yang paling tepat untuk menyelesaikan konflik ini yaitu mengedepankan nilai, norma, dan tindakan yang selaras dengan asas-asas pendidikan tinggi antara lain penalaran, kejujuran, keadilan, kebajikan, dan tanggung jawab.
“Sehingga upaya ITB dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memajukan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, ilmu sosial, dan ilmu humaniora dapat terus berjalan,” kata Himmatul.
Telah Ada Upaya Penyelesaian Konflik
Sebelumnya, upaya penyelesaian konflik terkait pencabutan hak swakelola SBM ITB telah dilakukan dengan mempertemukan FD SBM ITB dengan rektor dan wakil-wakil rektor pada 4 Maret 2022 lalu.
Hanya saja, pertemuan belum membuahkan hasil.
Namun, adapaun kesimpulan hasil pertemuan tersebut menurut Jann Hidayat adalah:
1. Rektor tidak lagi mengakui dasar-dasar atau fondasi pendirian SBM ITB yang tertuang dalam SK Rektor ITB Nomor 203/2003.
Dalam SK tersebut, SBM ITB diberikan wewenang dan tanggung jawab swadana dan swakelola pada SBM ITB sebagai bagian dari ITB, yang selama 18 tahun telah berjalan dan berhasil membawa SBM ITB pada tingkat dunia denan diperolehnya akreditasi AACSB.
Namun, pencabutan swakelola otomatis telah mematikan roh dan sekaligus meruntuhkan “bangunan” SBM ITB, raison d’etre, alasan kehidupan atau dasar eksistensi SBM ITB sebagai sebuah sekolah yang inovatif dan “gesit atau lincah”.
2. Rektor sedangn membuat sistem terintegrasi yang seragam walaupun faktanya masing-masing fakultas/sekolah memiliki karakteristik dan potensi yang berbeda.
Sistem yang dibangun Rektor ITB belum selesai, tetapi peraturan lama sudah ditutup.
Peraturan baru ini menguatkan posisi rektor sebagai penguasa tunggal dengan siste yang sentralistis dan hierarkikal dan membuat ITB menjadi tidak gesit dan lincah.
Selain itu, FD SBM ITB, kata Jann, juga mengkritik kepemimpinan Rektor ITB yang membuat peraturan tanpa dialog dan sosialisasi, tanpa memperhatikan dampak terhadap pihak-pihak terkait, serta tidak mengikuti prinsip-prinsip yang diatur dalam Statuta ITB, yaitu akuntabilitas, transparansi, nirlabam penjaminan, mutu, efektivitas, dan efisiensi.
Lanjut Jann, adapula pelanggaran atas prinsip-prinsip ini telah mengakibatkan kerugian baik material, moral, serta psikis bagi dosen dan tendik SBM ITB.
Ditambah, FD SBM ITB juga menyatakan standar kualitas pelayanan terbaik di SBM ITB tidak lagi dapat dipertahankan meskipun hasil upaya swadan yang dilaksanakan oleh SBM ITB cukup untuk mendanai kualitas pelayanan terbaik.
“Artinya, pencabutan asas swakelola ini adalah bentuk ketidakadilan terutama bagi mahasiswa dan orangtua mahasiswa yang telah membayar untuk mendapat standar pelayanan kelas dunia, tetapi tidak terlaksanan karena dicabutnya azas swakelola,” tegas Jann.
Sehingga, FD SBM ITB pun menuntut dan berikut isi dari tuntutan tersebut:
- Dikembalikannya asas swakelola.
- Dilakukan kaji ulang atas peraturan-peraturan baru yang dikeluarkan oleh Rektor, dengan melibatkan perwakilan Majelis WalI Amanat (MWA) Senat Akademik (SA) ITB serta unit terdampak khususnya SBM ITB, sampai ada kesepakatan bersama agar menjamin semua Fakultas/Sekolah di ITB memiliki kemauan dan kemampuan untuk tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan.
Tuntutan ini pun diperkuat dengan keputusan untuk melakukan rasionalisasi pelayanan akademik sampai dengan adanya kesepakatan baru dengan Rektor ITB terhitung 8 Maret 2022.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)(Kompas.com/Dian Ihsan)