Minggu, 23 November 2025

Polisi Tembak Polisi

Romo Magnis di Persidangan Bharada E: Di Polri Suka Sekali Pakai Istilah Laksanakan Saat Diperintah

Pertimbangan di tubuh Polri berbeda karena memiliki kapasitas untuk melakukan kekerasan sesuai dengan Undang-Undang.

Capture Kompas.TV
Ahli Filsafat Moral Romo Frans Magnis-Suseno (kanan) saat dihadirkan sebagai ahli meringankan di persidangan atas terdakwa Richard Eliezer Pudihang alias Bharada E, di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (26/12/2022). 

Awalnya, Romo berbicara soal kualitas moral seseorang ketika mendapat perintah untuk menembak seseorang.

Menurutnya, kualitas moral seseorang di dalam situasi tersebut sejatinya tergantung pada kesadaran orang itu sendiri pada saat itu.

"Misalnya tergantung dari suara hati, suara hati mengatakan apa pada saat itu, bisa saja dia bingung karena berhadapan dengan dua norma yang satu mengatakan menembak mati orang yang sudah tidak berdaya tidak bisa dibenarkan titik," kata Romo dalam sidang.

"Yang kedua dia diberi perintah oleh orang yang berhak memberi perintah yang wajib ditaati supaya melakukannya, lalu dia harus mengikuti yang mana," sambungnya.

Romo menilai ketika berada di dua pilihan tersebut, dalam etika normatif seseorang yang menerima perintah seperti itu harus tetap menolaknya.

Namun, kata Romo, kerap kali orang dihadapkan dengan rasa bingung atas perintah yang sebenarnya salah tersebut.

"Dalam rangka kepolisian atau Brimob kalau mau di dalam situasi itu melaksanakan perintah adalah budaya yang ditanamkan di dalam orang-orangnya. Kita di Indonesia tahu sering pakai istilah laksanakan atau istilah siap," ucap Romo.

Untuk itu, dalam kasus Bharada E, Romo berucap sangat sulit untuk melawan perintah yang notabene pangkatnya jauh di atas Bharada E.

"Tetapi sekarang juga lakukan itu tipe perintah yang amat sulit secara psikologis dilawan, karena siapa dia, mungkin dia orang kecil, jauh dibawah yang memberi perintah sudah biasa laksanakan meskipun dia ragu-ragu, dia bingung itu tidak berarti sama sekali tidak ada kesalahan, tetapi itu jelas menurut etika sangat mengurangi kebersalahan," ungkapnya.

Diketahui, Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir Yoshua menjadi korban pembunuhan berencana yang diotaki Ferdy Sambo pada 8 Juli 2022 lalu.

Brigadir Yoshua tewas setelah dieksekusi di rumah dinas Ferdy Sambo, Duren Tiga, Jakarta Selatan. Pembunuhan itu terjadi diyakini setelah Putri Candrawathi bercerita kepada Ferdy Sambo karena terjadi pelecehan seksual di Magelang.

Ferdy Sambo saat itu merasa marah dan menyusun strategi untuk menghabisi nyawa dari Yoshua.

Dalam perkara ini Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Bripka Ricky Rizal alias Bripka RR, Kuwat Maruf dan Bharada Richard Eliezer alias Bharada didakwa melakukan pembunuhan berencana.

Kelima terdakwa didakwa melanggar pasal 340 subsidair Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati.

Tak hanya dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J, khusus untuk Ferdy Sambo juga turut dijerat dalam kasus perintangan penyidikan atau obstruction of justice bersama Hendra Kurniawan, Agus Nurpatria, Chuck Putranto, Irfan Widianto, Arif Rahman Arifin, dan Baiquni Wibowo.

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved