Ekspor Pasir Laut
Jokowi Didesak Batalkan Izin Ekspor Pasir Laut, Keuntungan Tak Setimpal dengan Kerusakan Lingkungan
Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi mendesak Presiden Joko Widodo untuk membantalkan izin ekspor pasir laut.
Penulis:
Endra Kurniawan
Editor:
Whiesa Daniswara

TRIBUNNEWS.COM - Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membantalkan izin ekspor pasir laut.
Menurut Fahmy, pemberian izin ekspor pasir laut merupakan sebuah ironi.
"Jokowi terus maju tak gentar melawan putusan WTO yang menentang kebijakan larangan ekspor bijih nikel."
"Ironisnya, di tengah larangan ekspor bijih nikel, Jokowi justru mengeluarkan izin ekspor pasir laut melalui Peraturan Pemerintah (PP) 26/2023," katanya kepada Tribunnews.com dalam keterangan tertulis, Kamis (1/6/2023).
Fahmy menyebut, izin ekspor pasir laut sebelumnya sudah dilarang selama 20 tahun.
Larangan tersebut ditaken di era pemerintahan Presiden Megawati melalui Surat Keputusan (SK) Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.
Baca juga: Pemerintah Bakal Buat Harga Acuan Ekspor Pasir Laut
Namun setelah dua dekade, izin ekspor pasir laut kembali dibuka oleh Presiden Jokowi jelang akhir kepemimpinannya.
Fahmy mengingatkan perihal bahaya ekspor pasir laut yang tidak merugikan untuk Indonesia.
"Izin ekspor pasir laut dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dan ekologi yang lebih luas dan membahayakan bagi rakyat pesisir laut, bahkan pengerukan pasir laut secara ugal-ugalan akan menenggelamkan pulau-pulau di sekitarnya."
"Padahal, keuntungan ekonomi yang diterima Indonesia atas ekspor pasir laut itu, tidak setimpal dengan kerusakan lingkungan dan ekologi yang akan terjadi," tegasnya.
Fahmy dalam keterangannya juga mengomentari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa pengerukan pasir laut tidak merusak lingkungan.
Luhut beralasan pemerintah akan melakukan pengawasan ketat yang menggunakan global positioning system.
Fahmy meragukan pernyataan di atas dan mempertanyakan siapa yang bisa menjamin bahwa pengerukan pasir laut sesuai dengan aturan PP ditetapkan.
Baca juga: Ternyata Pengusaha Sudah Ekspor Pasir Laut Sebelum Ada Aturan Jokowi

"Pengusaha yang diberikan izin ekspor tentunya akan mengejar cuan sebesar-besarnya dengan melakukan pengerukan pasir laut secara ugal-ugalan. Apalagi permintaan pasir laut dari Singapura untuk reklamasi selalu meningkat."
"Sungguh sangat ironis, pada saatnya area daratan Singapura meningkat pesat, sementara daratan Indonesia semakin mengerut karena banyak pulau yang tenggelam sebagai dampak pengerukan pasir laut yang berkelanjutan," beber Fahmy.
Terakhir, Fahmy meminta Jokowi untuk melanjutkan legasi kebijakan Presiden Megawati yang sudah melarang ekspor pasir laut sejak 20 tahun lalu.
"Presiden Jokowi sebaiknya membatalkan izin ekspor pasir laut karena berpotensi merusak lingkungan dan ekologi, menyengsarakan rakyat pesisir laut, dan menenggelamkan pulau-pulau, yang mengerutkan wilayah daratan Indonesia," tutupnya.
Penjelasan Menteri Kelautan dan Perikanan
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menegaskan, bahwa kebijakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut diterbitkan untuk menertibkan bahan yang digunakan untuk reklamasi.
Selama ini, pihak-pihak yang hendak melakukan reklamasi kerap menyedot beberapa pulau di Indonesia karena belum ada peraturan yang menyebutkan kalau yang diambil harus pasir laut dan/atau material sedimen lain berupa lumpur.
Baca juga: Soal Ekspor Pasir Laut, Menteri Trenggono: Rezim Ini Berbeda dengan 20 Tahun yang Lalu
Trenggono mengatakan, rezim ini berbeda dengan rezim 20 tahun yang lalu, di mana saat ini pemerintah akan mulai mengatur bahwa yang diambil haruslah material sedimen.
"Rezim ini berbeda dengan 20 tahun yang lalu. Karena pada waktu itu belum ada peraturan kalau yang diambil itu sedimentasi. Yang diambil itu pulau-pulau. Sekarang ini itu terjadi. Kita setop," katanya dalam konferensi pers di kantor KKP, Jakarta Pusat, Rabu (31/5/2023).
Trenggono kemudian mengatakan bahwa pihaknya pernah melakukan beberapa upaya penghentian akan penyedotan pulau.
"Kita pernah menghentikan penyedotan pulau Rupat di Riau. Itu kita setop. Terus kemudian ada reklamasi tanpa izin di daerah Kendari sana, kita setop. Ada yang datang juga, 'Pak menteri saya kan ini gini,' aduh mohon maaf, ini ngelawan lingkungan. Negara kita juga yang rugi," ujar Trenggono.
Trenggono kembali menegaskan bahwa saat ini bukan rezim pertambangan. Bagi perusahaan yang ingin mengambil material sedimen, harus melalui izin sejumlah kementerian.

"Jadi, PP ini bukan rezim penambangan. Kalau dia (perusahaan) mau eksekusi, harus dapat izin dari kita. Kalau kita lihat itu enggak bisa, ya enggak boleh. Ini tidak seperti masa lalu. Ini betul-betul yang diambil yang boleh digunakan. Itu yang diatur," katanya.
Selain itu, mengenai ekspor pasir laut, disebutkan dalam Dalam Pasal 9 PP Nomor 26 Tahun 2023 bahwa pasir laut dan/atau material sedimen lain berupa lumpur merupakan hasil sedimentasi di laut yang dapat dimanfaatkan.
Salah satu pemanfaatannya, pasir laut dapat diekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, bunyi ayat (2).
Baca juga: Kadin DKI Jakarta: Selama Ini Ada Pengusaha yang Ekspor Pasir Laut Meski Dilarang
Trenggono mengatakan, PP ini akan memiliki turunan, yaitu peraturan menteri, di mana di dalamnya merupakan hasil rumusan tim kajian yang berisikan Kementerian KLHK, Kementerian ESDM, Kementerian Kelautan dan Perikanan, BRIN, perguruan tinggi, organisasi nirlaba seperti Greenpeace, serta elemen lainnya.
Rumusan tersebut yang kelak akan memunculkan sejumlah persyaratan apakah material sedimentasi tersebut boleh diekspor atau tidak.
"Bahwasanya kemudian ada sisa-sisa, ada yang pengen misalnya membawa keluar, silakan saja kalo tim kajian sedimentasi ini membolehkan. Penentunya bukan dari PP ini. Penentunya adalah hasil dari tim kajian," katanya.
(Tribunnews.com/Endra Kurniawan/Endrapta Ibrahim Pramudhiaz)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.