UU MD3
UU MD3 Digugat agar Rakyat Bisa Pecat Anggota DPR, Bahlil: Biarkan Saja Diproses MK
Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, menanggapi gugatan judicial review (JR) UU MD3 di Mahkamah Konstitusi (MK).
Ringkasan Berita:
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, menanggapi gugatan judicial review (JR) UU MD3 yang didaftarkan sejumlah mahasiswa di Mahkamah Konstitusi (MK).
Salah satu tujuannya memungkinkan rakyat memberhentikan anggota DPR yang dianggap tidak menjalankan tugas.
Bahlil menilai gugatan tersebut merupakan bagian dari dinamika demokrasi.
“Negara kita kan negara demokrasi, setiap warga negara harus menjamin menyampaikan aspirasinya. Tapi sudah barang tentu harus sesuai mekanisme dan tata kerja yang baik,” ujar Bahlil di Istana Negara, Jakarta, Kamis (20/11/2025).
Mengenai substansi gugatan, Bahlil menegaskan pemerintah menghormati proses hukum yang berjalan di MK.
“Yang mengajukan kan masyarakat, judicial review di MK. Biarkan saja diproses di MK,” katanya.
Saat disinggung soal apakah gugatan tersebut dinilai beralasan atau tidak, Bahlil kembali menegaskan bahwa semuanya telah memiliki jalur konstitusional.
“Aturannya kan ada, kita tunggu aja,” pungkasnya.
Untuk diketahui, dalam perkara nomor 199/PUU-XXIII/2025, lima mahasiswa, yakni Ikhsan Fatkhul Azis, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, Muhammad Adnan, dan Tsalis Khoirul Fatna, menggugat Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3.
Mereka mempersoalkan mekanisme pemberhentian anggota DPR yang sepenuhnya melalui Majelis Kehormatan Dewan (MKD) dan partai politik. Para pemohon menilai tidak adanya mekanisme pemberhentian oleh konstituen membuat kontrol publik terhadap wakilnya menjadi buntu.
“Permohonan a quo… tidaklah berangkat dari kebencian terhadap DPR dan partai politik, melainkan sebagai bentuk kepedulian untuk berbenah,” ujar Ikhsan dalam sidang pendahuluan.
Menurut para pemohon, selama ini partai politik justru kerap memberhentikan kader tanpa alasan jelas, namun mengabaikan desakan publik ketika seorang anggota DPR seharusnya diberhentikan.
Mereka mencontohkan kasus nonaktifnya Ahmad Sahroni, Nafa Indria Urbach, Surya Utama (Uya Kuya), Eko Patrio, dan Adies Kadir yang dipicu tekanan publik tetapi tidak diproses sesuai mekanisme pemberhentian dalam UU MD3.
Menurut mereka, kondisi itu membuat suara rakyat hanya sebatas formalitas dalam pemilu.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.