Sabtu, 23 Agustus 2025

Skripsi Tidak Wajib Lagi

Mahasiswa S1 Tak Wajib Skripsi, Pengamat Harap Kampus Bijak Menyikapi Aturan Baru Ini

Pengamat merespons kebijaan baru tentang standar kelulusan perguruan tinggi yang dikeluarkan Kemdikbud, mahasiswa S1 boleh tak buat skripsi

TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim mengikuti Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi X DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/1/2023). Nadiem membuat kebijakan baru terkait standar kelulusan perguruan tinggi, menurut pengamat perguruan tinggi harus bijak. 

TRIBUNNEWS.COM - Kebijakan baru terkait standar kelulusan perguruan tinggi yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbud Ristek), direpons banyak pihak.

Diketahui, Kemdikbud kini tidak mewajibkan mahasiswa tingkat S1 atau Sarjana Terapan untuk membuat skripsi.

Sementara itu, bagi mahasiswa program Magister dan Doktoral, S2 dan S3, masih diwajibkan membuat tugas akhir tapi sudah tidak lagi diwajibkan diterbitkan di jurnal.

Adapun seluruh kebijakan terkait standar kelulusan sudah diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing prodi dan masing-masing kampus.

Merespons hal tersebut, Pengamat Kebijakan Pendidikan UPI, Cecep Darmawan, menilai kampus harus bijak dalam merespons peraturan baru ini.

Baca juga: Mendikbudristek Tak Wajibkan Skripsi, Wakil Rektor UIN Jakarta Minta Pemerintah Buat Pedoman Teknis

Menurut Cecep, sebenarnya skripsi itu tidak terlalu menjadi beban bagi mahasiswa, apalagi sudah ada mata kuliah terkait sistematika penulisan dan metodologi penelitian.

"Saya kira betul skripsi itu tidak terlalu menjadi beban, menurut saya kalau dilihat itu mungkin hanya 10-20 persen yang mengalami kesulitan, selebihnya menurut saya sudah biasa karena sudah ada keterampilan berpikir ada metodologi penelitian dan segala macam."

"Tetapi kan pemerintah ingin itu ada keleluasaan ya atau kemerdekaan bahwa pilihan skripsi bukan salah apa kewajiban, tapi bisa dalam bentuk lain, ini harus ditindaklanjuti oleh perguruan tinggi masing-masing dengan bijak," kata Cecep dikutip dari Kompas Tv.

Kampus harus bisa mencari kesepakatan bersama, baik itu senat akademiknya, pihak rektorat dan juga mahasiswanya.

"Tapi prinsipnya pemerintah sudah tepat menurut saya membeli opsi itu, kalau Sarjana Terapan atau D4 atau S2 dan S3 terapan barangkali ya memang prototype mungkin jauh lebih tepat dilakukan daripada karya tulis deskripsi, tesis, disertasi," lanjut Cecep.

Baca juga: Nadiem Makarim Tak Wajibkan Skripsi, Rektor Universitas Teknik Sumbawa: Beri Keleluasaan Kampus

Lantas kapan harus ditindaklanjuti?

Jika merujuk pada regulasi saat ini, maka sudah bisa diterapkan sekarang.

"Walaupun ada waktu untuk penyesuaian 2 tahun, jadi setelah 2 tahun nanti harus sudah merujuk pada regulasi ini."

"Tapi kalau tetap bertahan pada skripsi nggak salah juga, barangkali kampus atau pembimbing Akademik sudah menentukan bahwa itulah (skripsi) pilihan yang cocok untuk (kemapuan mahasiwanya) itu," ujar Cecep.

"Sebenarnya, tugas akhir tanpa skripsi sudah banyak praktiknya."

"Misalnya  kemarin-kemarin sudah banyak praktik-praktiknya, salah satu saja misalnya di Universitas Terbuka gitu ya skripsi ada bentuk lain."

"Ada beberapa perguruan tinggi juga sudah menjalankan ini, jadi bukan kebijakan baru bahkan setahu saya tahun 80-an gitu juga beberapa perguruan tinggi ya memberi opsi kepada mahasiswanya," sambung Cecep.

Terkait dugaan kebijakan ini akan berefek terhadap kualitas SDM mahasiswanya, menurut Cecep, ini akan sangat terasa ketika mahasiswa S1 ingin melanjutkan ke jenjang S2.

Kalau mahasiswa S1 dan ingin melanjutkan S2, Cecep menyarankan tetap memilih skripsi.

Terutama bagi yang berminta menjadi calon dosen atau tenaga pendidik.

Baca juga: Inilah Aturan Baru Syarat Kelulusan Mahasiswa, Tak Wajib Skripsi

"Karena dengan skripsi mereka setidak-tidaknya dilatih bagaimana riset, membuat pendahuluan, latar belakang, rumusan masalah, teori-teori apa yang digunakan, grand teorinya ya metodenya, sampai ke pembahasan dan kesimpulan, itu penting selain memang sudah ada di mata kuliah."

"Namun kalau punya apa best practice atau pengalaman membuat skripsi kemudian dia mau S2 atau mungkin S3 itu mungkin lebih bagus, jadi untuk peneliti untuk calon dosen mungkin ngambil jalur skripsi jauh lebih bagus," ungkap Cecep.

Kecuali misalnya mahasiswa itu ingin menjadi praktisi yang pekerjaannya tidak terkait riset.

Hal ini pun bisa didukung dengan adanya penilaian dosen terhadap mahasiswanya lebih cocok skripsi atau karya lainnya.

"Idealnya universitas memberikan opsional, tetap dicantumkan misalnya pilihan skripsi atau tugas-tugas lain ya sebagai tugas akhir di peraturan rektornya, kemudian nanti prodi mengajak diskusi juga kepada mahasiswa cocok mengerjakan pilihan yang mana, selain memang juga harus dilihat bagaimana kemampuan yang bersangkutan," lanjut Cecep.

Baca juga: Nadiem Makarim Tegaskan Tanpa Tesis dan Disertasi Tak Turunkan Kualitas, Mahasiswa Wajib Lakukan Ini

Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim, menyebut bahwa saat ini sudah zamannya lari cepat dan kemerdekaan kampus dijamin.

"(Untuk itu pemerintah) menghilangkan kewajiban (tugas akhir Skripsi) pada program studi Sarjana Terapan S1 atau D4, tapi mendorong perguruan tinggi menjalankan kampus merdeka dan berbagai inovasi."

"Mahasiswa untuk magister S2 dan S3 ini masih wajib diberikan tugas akhir, jadi buat mereka masih wajib tugas akhir, tapi tidak lagi wajib diterbitkan di jurnal," kata Nadiem Makarim dalam pidatonya di acara Merdeka Belajar eps 26: Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi yang tayang di YouTube KEMENDIKBUD RI, Selasa (29/8/2023).

Jadi, sekarang perguruan tinggi sendiri yang merumuskan kompetensi sikap dan keterampilan secara terintegrasi.

"Tugas akhir bisa berbentuk macam-macam, bisa berbentuk prototype, bisa berbentuk proyek, bisa berbentuk lainnya, keputusan ini ada di masing-masing perguruan tinggi," ungkap Nadiem.

Adapun caranya, pihak kampus atau program studi memberikan penjelasan ke Badan Akreditasi bahwa mahasiwanya sudah melalui berbagai macam tes kompetensi di dalam pendidikannya selama menempuh pendidikan di tempat itu.

Baca juga: Nadiem Makarim Tak Wajibkan Skripsi, Rektor Universitas Teknik Sumbawa: Beri Keleluasaan Kampus

Mendikbudristek, Nadiem Makarim saat memberikan pemaparan di acara bertajuk Merdeka Belajar Episode 26: Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi pada Selasa (29/8/2023).
Mendikbudristek, Nadiem Makarim saat memberikan pemaparan di acara bertajuk Merdeka Belajar Episode 26: Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi pada Selasa (29/8/2023). (YouTube Kemendikbud RI)

"(Pihak kampus menjelaskan ke Badan Akreditasi) bahwa 'saya merasa saya tidak membutuhkan tugas akhir untuk bisa membuktikannya karena saya sudah membuktikan selama bertahun-tahun ini', jadi untuk beberapa kampus atau Prodi yang merasa proses mereka sudah selesai dengan (melakukan uji) Project B sudah ada pembuktian hasil kompetensi, maka tugas akhir tidak wajib lagi," tegas Nadiem.

Ini adalah transformasi yang cukup besar dilakukan Kemendikbud karena ingin memberikan kepercayaan kembali kepada setiap kepala prodi, kepada dekan-dekan dan kepala departemen untuk menentukan uji apa yang cocok untuk mahasiwanya.

"Ada cara-cara lain untuk membuktikan hasil lulusan mahasiwanya," sambung Nadiem.

Jadi dampaknya, kampus atau prodinya  semakin bebas untuk mendorong anaknya melakukan pendidikan di luar kampus, seperti project best learning, proyek di lapangan dan proyek riset lainnya.

Menurut Nadiem, kewajiban pukul rata terhadap standar nasional kelulusan kampus sudah tidak relevan lagi digunakan di Indonesia.

(Tribunnews.com/Galuh Widya Wardani)

Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan