Gugatan Denny Indrayana di MK Diperbaiki, Dorong MK Gunakan Pendekatan Hukum Progresif
Permohonan Perkara 145/PUU-XXI/2023 yang diajukan Guru Besar Hukum Tata Negara Denny Indrayana di Mahkamah Konstitusi (MK) mengalami perbaikan.
1. Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya.
2. Menyatakan pembentukan Pasal 169 huruf q UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Lembaran Negara RI Tahun 2017 Nomor 182 tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 6109 sebagaimana dibuat oleh MK melalui Putusan 90/PUU-XXI/2023 tidak memenuhi syarat formil berdasarkan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan bertentangan dengan UU Negara Republik Indonesia 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
3. Memerintahkan kepada penyelenggara Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden RI Tahun 2024 untuk:
a. Mencoret peserta Pemilu yang mengajukan pendaftaran pada Pasal 169 huruf q UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Lembaran Negara RI Tahun 2017 Nomor 182 tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 6109 sebagaimana dibuat oleh MK melalui Putusan 90/PUU-XXI/2023 akibat telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
b. Menetapkan agenda tambahan khusus bagi peserta pemilu yang terdampak untuk mengajukan calon pengganti dalam rangka melaksanakan putusan ini dengan tidak menunda pelaksanaan pemilu 2024.
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita negara RI sebagaimana mestinya atau apabila Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya.
Menanggapi hal tersebut, Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah kemudian menanyakan soal penggunaan diksi 'dibuat' dalam frasa 'Pasal 169 huruf q UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Lembaran Negara RI Tahun 2017 Nomor 182 tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 6109 sebagaimana dibuat oleh MK melalui Putusan 90/PUU-XXI/2023'.
Padahal, kata Guntur, penyebutan untuk ketentuan tersebut biasanya menggunakan diksi 'dimaknai'.
Menjelaskan hal tersebut kepada Hakim Guntur Hamzah, Denny Indrayana yang hadir secara daring mengatakan, pihaknya telah mendiskusikan perbaikan ini dengan Pemohon II Zainal Arifin Mochtar dan dari draf awal menggunakan kata 'dimaknai'.
"Kami memutuskan untuk mengubahnya menjadi 'dibuat'," kata Denny, dalam persidangan.
Denny menjelaskan, hal itu dilakukan untuk memberi titik tekan, bahwa memang ada positif legislator yang hadir (MK) dan memberi titik tekan pada penggunaan pendekatan hukum progresif dan judicial activism.
"Jadi memang secara sadar pilihan kata 'dimaknai' kami ubah menjadi kata 'dibuat'," tuturnya.
"Kedua, kami ingin memberi titik tekan, tadi kalau dalam petitum itu dibacakan 'tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat' sebenarnya lebih tegasnya ini adalah 'batal demi hukum', jadi tidak berlaku sejak putusan itu dibacakan," sambung Denny.
Ia menyampaikan, salah satu tujuan dari permohonan ini untuk mengembalikan moralitas konstitusional yang dalam pandangannya problematik dengan tetap hadirnya calon presiden dan wakil presiden yang sejatinya tidak memenuhi syarat, namun tetap hadir karena Putusan 90.
"Dan itu koreksinya dalam pandangan kami hanya bisa dilakukan jika putusannya memang bukan berlaku ke depan atau perspektif sebagaimana pada umumnya putusan MK, tapi berlaku sejak pembatalannya sejak putusan itu tidak ada, belum dibacakan."
Sebelumnya, Hakim Konstitusi Arief Hidayat memberikan saran kepada kuasa hukum Pemohon permohonan uji formil syarat batas usia capres-cawapres yang telah dimaknai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 90/PUU-XXI/2023.
| 5 Catatan Denny Indrayana Soal MK Hapuskan Presidential Treshold hingga Antisipasi Dinasti Politik |
|
|---|
| 5 Catatan Denny Indrayana Soal MK Hapus Presidential Threshold, Potensi Munculnya Politik Dinasti |
|
|---|
| Denny Indrayana dkk Ajukan Gugatan Pilkada Banjarbaru ke Mahkamah Konstitusi |
|
|---|
| Pakar Desak Korupsi Payment Gateway Diusut Kembali Demi Kepastian Hukum |
|
|---|
| Denny Indrayana Bicara soal RUU Lembaga Kepresidenan |
|
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.