Sabtu, 8 November 2025

Gugatan Denny Indrayana di MK Diperbaiki, Dorong MK Gunakan Pendekatan Hukum Progresif

Permohonan Perkara 145/PUU-XXI/2023 yang diajukan Guru Besar Hukum Tata Negara Denny Indrayana di Mahkamah Konstitusi (MK) mengalami  perbaikan.

Tribunnews.com/Ibriza Fasti Ifhami
Sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta pada Senin (11/12/2023). 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ibriza Fasti Ifhami

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Permohonan Perkara 145/PUU-XXI/2023 yang diajukan Guru Besar Hukum Tata Negara Denny Indrayana di Mahkamah Konstitusi (MK) mengalami  perbaikan pada Senin (11/12/2023).

Denny selaku Pemohon I bersama Pemohon II yakni Pakar Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar mengajukan uji formil Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana telah dimaknai Putusan MK 90/PUU-XXI/2023.

Dalam sidang perbaikan permohonan itu, Kuasa Hukum Para Pemohon Raziv Barokah mengatakan saat ini di masyarakat sedang terjadi distrust (kurang kepercayaan) dalam pelaksanaan penegakkan hukum konstitusi.

Ia melanjutkan, dengan adanya Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 yang diujikan formil, masyarakat terkonstruksi bahwa penegakkan hukum itu tidak akan memunculkan keadilan subtantif.

"Hakimnya diberikan sanksi tapi putusannya tetap dijalankan dan dinikmati," kata Raziv dalam persidangan, Senin (11/12/2023).

Baca juga: Kuasa Hukum Anwar Usman Keberatan Denny Indrayana Ikut Jadi Tergugat Intervensi

Oleh karena itu, Raziv mendorong Mahkamah untuk memutus uji formil yang diajukan pihaknya menggunakan pendekatan hukum progresif.

"Konstruksi pemikiran masyarakat seperti ini yang perlu diperbaiki dengan menggunakan hukum sebagai alat rekayasa sosial dan MK kami dorong untuk melakukan pengambilan keputusan menggunakan pendekatan hukum progresif. Gerakan judicial activism dan juga menggunakan hukum sebagai alat rekayasa sosial untuk melawan rekayasa konstitusi yang dilakukan beberapa oknum untuk mempertahankan kekuasaan," ucapnya kepada majelis hakim panel.

Perbaikan petitum dalam provisi:

1. Mengabulkan permohonan provisi para pemohon untuk seluruhnya.

2. Menyatakan menunda berlakunya ketentuan Pasal 169 huruf q UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Lembaran Negara RI Tahun 2017 Nomor 182 tambahan Lembaran Negara Indonesia sebagaimana dibuat oleh MK melalui Putusan 90/PUU-XXI/2023.

3. Menyatakan menangguhkan tindakan atau kebijakan yang berkaitan dengan Pasal 169 huruf q UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Lembaran Negara RI Tahun 2017 Nomor 182 tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 6109 sebagaimana dibuat oleh MK melalui Putusan 90/PUU-XXI/2023.

4. Menyatakan memeriksa permohonan Para Pemohon secara cepat dengan tidak meminta keterangan kepada MPR, DPR, Presiden, DPD atau pihak terkait lainnya.

5. Menyatakan memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan Para Pemohon dengan mengecualikan Yang Mulia Prof. Dr. Anwar Usman, S.H., M.H

Sementara itu, perbaikan ptitum dalam pokok permohonan:

1. Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya.

2. Menyatakan pembentukan Pasal 169 huruf q UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Lembaran Negara RI Tahun 2017 Nomor 182 tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 6109 sebagaimana dibuat oleh MK melalui Putusan 90/PUU-XXI/2023 tidak memenuhi syarat formil berdasarkan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan bertentangan dengan UU Negara Republik Indonesia 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

3. Memerintahkan kepada penyelenggara Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden RI Tahun 2024 untuk:
a. Mencoret peserta Pemilu yang mengajukan pendaftaran pada Pasal 169 huruf q UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Lembaran Negara RI Tahun 2017 Nomor 182 tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 6109 sebagaimana dibuat oleh MK melalui Putusan 90/PUU-XXI/2023 akibat telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

b. Menetapkan agenda tambahan khusus bagi peserta pemilu yang terdampak untuk mengajukan calon pengganti dalam rangka melaksanakan putusan ini dengan tidak menunda pelaksanaan pemilu 2024.

4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita negara RI sebagaimana mestinya atau apabila Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya.

Menanggapi hal tersebut, Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah kemudian menanyakan soal penggunaan diksi 'dibuat' dalam frasa 'Pasal 169 huruf q UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Lembaran Negara RI Tahun 2017 Nomor 182 tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 6109 sebagaimana dibuat oleh MK melalui Putusan 90/PUU-XXI/2023'.

Padahal, kata Guntur, penyebutan untuk ketentuan tersebut biasanya menggunakan diksi 'dimaknai'.

Menjelaskan hal tersebut kepada Hakim Guntur Hamzah, Denny Indrayana yang hadir secara daring mengatakan, pihaknya telah mendiskusikan perbaikan ini dengan Pemohon II Zainal Arifin Mochtar dan dari draf awal menggunakan kata 'dimaknai'.

"Kami memutuskan untuk mengubahnya menjadi 'dibuat'," kata Denny, dalam persidangan.

Denny menjelaskan, hal itu dilakukan untuk memberi titik tekan, bahwa memang ada positif legislator yang hadir (MK) dan memberi titik tekan pada penggunaan pendekatan hukum progresif dan judicial activism.

"Jadi memang secara sadar pilihan kata 'dimaknai' kami ubah menjadi kata 'dibuat'," tuturnya.

"Kedua, kami ingin memberi titik tekan, tadi kalau dalam petitum itu dibacakan 'tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat' sebenarnya lebih tegasnya ini adalah 'batal demi hukum', jadi tidak berlaku sejak putusan itu dibacakan," sambung Denny.

Ia menyampaikan, salah satu tujuan dari permohonan ini untuk mengembalikan moralitas konstitusional yang dalam pandangannya problematik dengan tetap hadirnya calon presiden dan wakil presiden yang sejatinya tidak memenuhi syarat, namun tetap hadir karena Putusan 90.

"Dan itu koreksinya dalam pandangan kami hanya bisa dilakukan jika putusannya memang bukan berlaku ke depan atau perspektif sebagaimana pada umumnya putusan MK, tapi berlaku sejak pembatalannya sejak putusan itu tidak ada, belum dibacakan."

Sebelumnya, Hakim Konstitusi Arief Hidayat memberikan saran kepada kuasa hukum Pemohon permohonan uji formil syarat batas usia capres-cawapres yang telah dimaknai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 90/PUU-XXI/2023.

Arief mulanya mengaku berterima kasih kepada Para Pemohon dan kuasa hukumnya karena permohonan yang diajukan mereka mengajak bersama-sama untuk berpikir menggunakan paradigma hukum progresif, bukan normatif.

"Karena kita kalau menggunakan pendekatan normatif formalistik saya kira Para Pemohon principal dan para kuasa hukumnya tahu persis perkara ini muaranya akan di mana. Ya kan," kata Arief Hidayat, dalam sidang pendahuluan di gedung MK, pada Selasa (28/11/2023).

"Oleh karena itu, saya meminta supaya kita bersama-sama bisa menggunakan pendekatan yang lain supaya kita bisa keluar dari kondisi yang terjadi akhir-akhir ini, yang menimpa MK, yang menimpa putusan MK, dan menimpa proses bernegara hukum secara demokratis di Indonesia," sambungnya.

Hal itu disampaikan Arief, karena menurutnya, permohonan uji formil yang diajukan Denny dan Zainal ini merupakan sesuatu yang beda, karena menguji formil terhadap Putusan MK.

"Ini pengujian formil, pengujian formil itu terhadap UU yang dibentuk oleh badan legislatif. Tapi ini menguji formil terhadap putusan Mahkamah. Itu kan sangat lain," jelasnya.

Meski demikian, Arief mengatakan, permohonan yang diajukan ini masih banyak kelemahannya. Majelis Panel memberikan batas waktu perbaikan permohonan hingga 6 Desember 2023 mendatang.

Lebih lanjut, Arief kemudian menjelaskan soal pendekatan hukum progresif. Ia menyampaikan pendapat dari ahli hukum Satjipto Rahardjo, bahwa hukum tidak semata-mata untuk hukum itu sendiri, manusia bukan untuk hukum tapi hukum untuk manusia.

"Supaya bagaimana perikehidupan yang demokratis, perikehidupan negara hukum itu bisa mencapai keadilan yang sangat substantif," katanya.

Oleh karena itu, ia meminta seluruh pihak terkait untuk mengkaji perkara ini menggunakan pendekatan yang bersifat progresif atau out of the box.

"Kita harus keluar menggunakan pendekatan yang sifatnya out of the box. Kalau kita menggunakan pendekatan yang linear bukan pendekatan eksponensial, ini selesai udah selesai (permohonannya), ini enggak ada masalah, ini pasti arahnya ke mana sudah Anda ketahui," ucap Arief.

"Tapi mencoba saudara dengan permohonan ini mau keluar dari situ. Nah keluarnya itu kuncinya menurut saya pendekatan yang sifatnya out of the box, pendekatan eksponensial tidak linear," sambungnya.

Selanjutnya, ia meminta kuasa hukum Para Pemohon untuk mengkaji lebih lanjut pengalaman-pengalaman di negara lain terkait pengujian formil terhadap putusan Mahkamah.

"Sehingga mari kita tunjukkan kepada bangsa Indonesia kita bisa sebetulnya untuk belajar bersama menggunakan pendekatan progresif. Hakim MK diajak untuk keluar dari itu untuk mengutamakan rasa keadilan yang substansional," kata Arief.

"Karena pertama kali adanya syarat pengujian UU yang dilakukan hakim John Marshall itu kan sebetulnya bersifat out of the box, waktu itu belum ada, tapi hakim Mahkamah Agung Amerika John Marshall memulai itu," sambungnya.

"Nah inilah tonggak apakah bisa Mahkamah Konstiusi RI keluar dari itu. Hakim Konstitusi berani untuk keluar seperti John Marshall itu."

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved