Jamdatun Jelaskan Risiko Pidana pada Keputusan Direksi yang Menyangkut Keuangan Negara
Jamdatun Feri Wibisono menjelaskan terkait risiko pidana pada keputusan pimpinan perusahaan atau direksi yang menyangkut keuangan negara.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Feri Wibisono menjelaskan terkait risiko pidana pada keputusan pimpinan perusahaan atau direksi yang menyangkut keuangan negara.
Feri awalnya menjelaskan tentang doktrin business judgment rule (BJR) yang kerap digunakan untuk melindungi kewenangan direksi atau pimpinan perusahaan dalam pengambilan keputusan dari risiko-risiko khususnya di bidang hukum.
BJR, kata dia, memiliki sejumlah paramater, di antaranya apabila keputusan yang dibuat berada dalam kewenangan direksi tersebut, dilakukan secara pruden, tanpa ada benturan kepentingan, dan sungguh-sungguh untuk kepentingan terbaik bagi perseroan.
Dengan demikian, kata dia, apabila akibat keputusan tersebut perusahaan merugi namun keputusan itu diambil dalam lingkup parameter BJR maka kerugian tersebut tidak memiliki risiko hukum bagi yang bersangkutan.
Hal tersebut disampaikannya dalam diskusi publik Katadata Forum bertema “Bahaya Kriminalisasi Putusan Bisnis” di Jakarta pada Rabu (22/5/2024).
Baca juga: Eks Direktur Utama Pertamina Bongkar Soal Titipan Pengadaan di BUMN
"Jadi kalau kerugian itu timbul dan memenuhi BJR, itu adalah kerugian bisnis. Tidak memiliki risiko hukum bagi yang bersangkutan," kata Feri.
Apabila dikaitkan dengan keuangan negara, kata dia, ada dikotomi penjelasan yakni yang diatur dalam Undang-Undang keuangan negara dan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Hal tersebut, kata dia, termasuk hak dan kewajiban serta segala bagian dari kekayaan yang termasuknya dipisahkan di BUMN dan lain-lain.
"Jadi terkait dengan kasus korupsi, yurisprudensi tetap MA bahwa yang dianut adalah pengertian keuangan negara dalam UU Tipikor," kata dia.
Berkaitan dengan keuangan negara, kata dia, berlaku rezim atau ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat khusus.
Hal tersebut, kata dia, karena keuangan negara harus dikelola secara hati-hati (pruden).
"Maka berlaku kalau di BUMN, kalau dulu ada peraturan-peraturan BUMN yang terakhir adalah Per 03/2023. Di situ untuk pengadaan barangnya harus pruden, mengurus pencarian mitranya harus pruden, untuk menghindari agar tidak dilanggar larangan benturan kepentingan, larangan harus dengan itikad baik, kemudian kewajiban untuk pruden," kata dia.
Feri mengatakan sepanjang kariernya menjadi jaksa, ia telah menangani ratusan perkara korupsi di korporasi.
Hampir semua pledoi dan eksepsi yang diajukan terkait perkara korupsi di BUMN dan anak perusahaan dan cucu perusahaan, kata dia, selalu menyantumkan argumen bahwa tindakan mereka termasuk ke dalam BJR dan bukan kasus pidana.
Namun, kata Feri, setelah perkara tersebut diperiksa hakim, hanya sedikit hakim yang mengabulkan dalil BJR tersebut.
"Dan yang dikabulkan oleh hakim argumen dalil BJR itu, itu di bawah 5 persen," kata dia.
Untuk itu, ia khawatir apabila pemaknaan mengenai ketentuan mengenai BJR tersebut diperluas justru akan membahayakan mereka sendiri.
Hal tersebut, kata dia, karena hukum yang hidup tidak memaknai BJR sebagaimana yang dimaknai dalam pledoi atau eksepsi dalam perkara-perkara tersebut.
"Sehingga advises (anjuran) kepada direksi dengan meluas-luaskan BJR ini, saya khawatir akan membahayakan bagi mereka sendiri karena hukum yang hidup tidak seperti itu. Hukum yang hidup, peraturan yang berlaku, dan sumber hukum dari yurisprudensi adalah seperti itu," kata dia.
Menurutnya, hal yang menjadi masalah adalah seringkali banyak pejabat korporasi menganggap dan merasa bahwa dalam jabatan itu mereka memiliki diskresi.
Padahal diskresi yang dipahami mereka tidak sesuai dengan pengertian diskresi menurut hukum.
Diskresi dalam hal ini, kata dia, diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
"Diskresi hanya ada untuk menyelesaikan keadaan kegentingan yang memaksa, special cases saat peraturannya belum ada, peraturannya belum lengkap, peraturannya memberikan kewenangan untuk itu," kata dia.
"Diskresi harus sesuai dengan kebutuhan problemnya. Jadi problemnya A, nggak bisa diskresi kemudian digunakan untuk A+B+C. Ini hukum lho ya. Hukum yang hidup. Kemudian harus sesuai dengan kewenangannya. Diskresi tidak membolehkan kewenangan orang lain anda anggap itu diskresi anda," sambung dia.
7 Hari Sebelum Tewas, Kacab Bank BUMN Tunjukkan Tanda Tak Nyaman di Tangsel |
![]() |
---|
Efek Danantara, Baleg DPR: Kemungkinan Kementerian BUMN Dihapus |
![]() |
---|
Jabatan Menteri BUMN Kosong, Nama Rosan Roeslani Muncul, Pengamat Nilai Posisi Prabowo Dilematis |
![]() |
---|
Petani Disarankan Pilih Benih Padi Bersertifikat Agar Hasil Panen Melimpah |
![]() |
---|
Motif Ekonomi Diduga Menjadi Penyebab Dua Oknum Kopassus Terjerat Kasus Pembunuhan Kacab Bank BUMN |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.