Senin, 25 Agustus 2025

Presidential Threshold

Menteri Yusril Prediksi Presidential Threshold akan Batal Lagi Jika Ada Gugatan ke MK

Yusril Ihza Mahendra mengatakan pemerintah masih melakukan konsolidasi internal terkait putusan MK yang menghapus presidential threshold.

Penulis: Taufik Ismail
Editor: Hasanudin Aco
Tribunnews.com/ Taufik Ismail
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Senin, (16/12/2024). 

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Koordinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan pemerintah masih melakukan konsolidasi internal terkait putusan MK yang menghapus presidential threshold dalam persyaratan pengajuan pencalonan pemilihan presiden dan wakil presiden.

Pemerintah, kata Yusril, akan mendengarkan masukan dari semua pihak dalam melakukan perubahan terhadap Pasal 222 UU Nomor  17 Tahun 2017 tentang presidential threshold yang telah dibatalkan MK itu.

"Saya berkeyakinan tentu akan ada perubahan terhadap  Pasal 222 UU Pemilu  dan ini bisa muncul sebagai  inisiatif dari pemerintah, bisa juga muncul dari Dewan Perwakilan Rakyat," kata Yusril dalam siaran persnya, Selasa (7/1/2025).

Yusril melanjutkan, baik pemerintah dan DPR tentu akan mendengar semua masukan dan pertimbangan yang disampaikan semua pihak dan pemangku kepentingan yang ada.

Termasuk dari partai politik peserta pemilu dan partai politik non peserta pemilu, para akademisi, hingga tokoh-tokoh masyarakat.

"Bagaimana sebaiknya kita merumuskan satu norma baru pengganti pasal 222 UU Pemilu dengan rumusan-rumusan yang sesuai dengan perkembangan zaman ke depan dan pula sesuai dengan lima rekayasa konstitusional atau"constitutionalengineering" dalam pertimbangan hukum putusan MK," katanya.

Yusril berpandangan setiap keinginan untuk kembali menghidupkan presidential threshold setelah adanya putusan MK, bisa-bisa saja disahkan oleh DPR.

Namun, Yusril meyakini jika pembatasan itu kembali muncul, maka MK akan membatalkannya.

"Kalau ada pihak yang kembali mengajukan pengujian kepada MK, saya dapat membayangkan atau meramalkan bahwa kemungkinan besar MK akan membatalkan kembali norma UU yang mengandung presidential threshold itu," katanya.

Sementara itu Yusril menilai dari sudut pandang akademik apabila menggunakan tafsir tematik dan sistematik dengan cara menghubungkan pasal-pasal pemilu dalam Pasal 22E UUD 45 dan pasal pengaturan tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam Pasal 6A, yang menyatakan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu "sebelum dilaksanakannya pemilihan umum" (anggota DPR dan DPRD) sebagaimana diatur dalam Pasal 22E UUD 45, maka presidential threshold sejatinya memang tidak ada dan tidak mungkin akan ada. 

Tetapi, menurut dia, disitulah ada rekayasa konstitusional yang dilakukan pembentuk undang-undang untuk membatasi capres-cawapres sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu. Rekayasa sebelumnya itu sebelumnya dibenarkan MK dengan alasan untuk "memperkuat sistem presidensial". 

Namun Putusan MK No 62/PUU-XII/2024 tanggal 2 Januari 2025 yang lalu justru mengubah pendirian MK selama ini. "Setelah 32 kali diuji, baru pada pengujian yang ke 33 MK mengabulkannya".

Jadi ada "qaul qadim" atau pendapat lama dan "qaul jadid" atau pendapat baru di MK, kata Menko Yusril mengutip istilah yang digunakan dalam hukum fikih Islam.

Menko Yusril menyatakan pemerintah menghormati putusan MK yang menyatakan syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden bertentangan dengan UUD 1945. 

Halaman
12
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan