Pakar Hukum Dorong Pembaruan Regulasi Terkait Merek Non-Use
Peran pemerintah dalam pendaftaran merek tidak hanya sebatas jumlah permohonan yang diterima, tetapi juga pada dampak ekonomi yang dihasilkan.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Merek, Dr Arimansyah menyoroti pentingnya pengawasan terhadap merek terdaftar yang tidak digunakan dalam perdagangan barang dan atau jasa di pasaran atau merek non-use.
Pengawasan ini harus dilakukan secara ketat untuk mencegah penyalahgunaan sistem pendaftaran merek.
Untuk itu perlu pembaruan Undang-Undang Merek agar pemerintah memiliki kewenangan penuh dalam menghapus merek yang tidak digunakan selama tiga tahun berturut-turut tanpa alasan yang sah.
Baca juga: Pasar Otomotif 2025 Diprediksi Masih Lesu, Merek-merek Mapan Hadapi Pesaing Baru dari China
"Saat ini, penghapusan merek hanya bisa dilakukan melalui gugatan oleh pihak yang berkepentingan. Perubahan regulasi diperlukan agar pemerintah dapat bertindak langsung dalam menghapus merek yang tidak aktif," ujar Arimansyah dalam keterangannya, Senin (24/2/2025).
Arimansyah menjelaskan bahwa peran pemerintah dalam pendaftaran merek tidak hanya sebatas jumlah permohonan yang diterima, tetapi juga pada dampak ekonomi yang dihasilkan.
Kehadiran merek yang aktif berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi, peningkatan investasi, serta penciptaan lapangan kerja.
"Selain itu, perlindungan merek yang efektif juga dapat meningkatkan pendapatan negara melalui pajak, bea masuk, dan kegiatan ekspor," tambahnya.
Ancaman Trademark Squatting
Arimansyah, yang juga penulis buku Hukum Pelindungan Merek Terkenal Pada Barang/Jasa Yang Tidak Digunakan (Non-Use) juga menyoroti praktik trademark squatting, yaitu pendaftaran merek hanya untuk tujuan memperjualbelikannya kepada pemilik asli.
Praktik ini berpotensi menurunkan kepercayaan perusahaan asing terhadap sistem perlindungan merek di Indonesia, yang pada akhirnya berdampak pada investasi asing.
Untuk mencegah hal ini, pemeriksa merek di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM harus memastikan bahwa setiap permohonan pendaftaran tidak melanggar hak merek yang telah didaftarkan sebelumnya di luar negeri untuk barang atau jasa yang serupa.
"Pemeriksa harus meneliti apakah merek tersebut telah beredar luas dan dipromosikan secara besar-besaran di negara lain sebelum disetujui di Indonesia," jelasnya.
Selain itu, jika pemohon pendaftaran merek adalah perseroan terbatas, maka perlu dilakukan verifikasi apakah jenis barang atau jasa yang didaftarkan sesuai dengan bidang usaha yang tercantum dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) perusahaan tersebut.
Regulasi Internasional dan Perlindungan Merek
Arimansyah juga mengingatkan bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi Paris dan TRIPS Agreement, yang menjamin perlindungan bagi merek-merek terkenal yang terdaftar di luar negeri tetapi belum didaftarkan di Indonesia.
"Berdasarkan Pasal 21 ayat 3 Undang-Undang Merek, DJKI memiliki dasar hukum yang kuat untuk menolak pendaftaran merek yang hanya bertujuan untuk diperjualbelikan kepada pemilik aslinya," tegasnya.
Dengan pengawasan ketat dan regulasi yang lebih tegas, diharapkan sistem perlindungan merek di Indonesia dapat semakin dipercaya oleh pelaku usaha, baik nasional maupun internasional, serta mendorong iklim investasi yang lebih sehat.
Erling Haaland Cetak Hattrick, Harapan Israel Tembus ke Piala Dunia 2026 Tertunda |
![]() |
---|
Survei KPK 2024: Penyelewengan Anggaran Jadi Titik Rawan Korupsi Tertinggi |
![]() |
---|
Alvin dan Avila Bahar Jalani Uji Ketahanan di Sepang, Siap Hadapi Balapan 1.000 KM |
![]() |
---|
Lahir Anak Sapi Kepala Dua Milik Peternak di Bondowoso Jatim, Dokter Hewan Prediksi Umurnya Tak Lama |
![]() |
---|
PON Bela Diri Kudus 2025 Dibuka Meriah, Yayan Ruhian dan Cecep Arif Rahman Tampil Memukau |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.