Hari Perempuan Internasional
Hari Perempuan Internasional, Menag Ingatkan Masih Banyak Penafsiran Agama yang Bias Gender
Menag Nasaruddin Umar, sebagai pemberi pidato kunci dalam webinar memeringato Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day).
Editor:
Anita K Wardhani
“Pendidikan Kader Ulama ada peserta regular, dan secara spesifik kami membuka kelas khusus peserta perempuan agar perempuan mendapatkan pendidikan keulamaan. Ide ini gaungnya cepat membahana sampai Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, juga mengikuti strategi kita,” katanya.
Direktur HAM dan Kemanusiaan Direktorat Jenderal Kerja Sama Multilateral, Kementerian Luar Negeri RI, Indah Nuria Savitri, mengatakan perdamaian akan lebih berkelanjutan ketika perempuan berpartisipasi secara aktif dalam proses pencapaiannya. Perserikatan Bangsa-bangsa memiliki dua instrumen dalam menjamin kesetaraan gender dan mendorong perempuan sebagai agen-agen perdamaian, yaitu Beijing Declaration and Platform for Action (1995) dan UN Security Council Resolution (UNSCR) 1325 on Women, Peace, and Security (2000).
“Dari data, 35 persen kesepakatan perdamaian dapat bertahan setidaknya selama 15 tahun jika perempuan aktif terlibat. Ini menunjukkan kehadiran perempuan dalam suatu proses perdamaian, dalam diplomasi, bukan hanya simbolis, tapi menjadi suatu kebutuhan,” kata Indah.
Anggota DPR RI, Mercy Chriesty Barends, menyatakan ketidakadilan secara sosial dan struktural seringkali membuat hak-hak perempuan menjadi tersingkirkan. Itu sebabnya dibutuhkan kebijakan-kebijakan yang kuat perspektif gender untuk membangun kualitas perempuan.
Guru Besar HAM dan Gender UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Siti Ruhaini Dzuhayatin, menambahkan literasi keagamaan lintas budaya menjadi jawaban untuk mengajarkan perdamaian secara pedagogik di sekolah. Sikap toleransi dan moderat yang selama ini hanya pada tataran konsep bisa diturunkan secara konkret melalui program LKLB.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.