Polemik Hak Cipta, PKB: Direct License Tak Diatur dalam UU Hak Cipta
Ketua DPP PKB Syaiful Huda meminta perdebatan tersebut dikembalikan ke aturan hukum yang saat ini berlaku.
Penulis:
Hasanudin Aco
Editor:
Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Perdebatan tentang hak cipta antara musisi tanah air memicu keprihatinan banyak kalangan.
Ketua DPP PKB Syaiful Huda meminta perdebatan tersebut dikembalikan ke aturan hukum yang saat ini berlaku.
“Kami menilai terlepas dari berbagai kekurangan yang ada baiknya perdebatan ini dikembalikan ke aturan hukum yang berlaku yakni UU Nomor 28/2014 tentang Hak Cipta. Dengan demikian perdebatan bisa lebih konstruktif dan tidak terjebak pada argumen ad hominem yang menyerang personal sehingga mengaburkan subtansi masalah,” ujar Syaiful Huda, Senin (24/3/2025).
Ketua Komisi X DPR RI periode 2019-2024 ini menilai pengaturan hak cipta sebenarnya sudah diatur dalam UU 28/2014 tentang Hak Cipta.
Selain itu ada Peraturan Pemerintah (PP) 56/2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan atau Musik.
“Bahkan dalam PP 56/2021 diatur secara detail kewajiban bagi semua pihak yang menggunakan lagu dan musik sebagai layanan publik bersifat komersial untuk membayarkan royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta atau pemilik hak terkait,” katanya.
Dalam PP 56/2021, lanjut Huda juga diatur jenis layanan komersial yang harus membayar royalti kepada pemegang hak cipta lagu dan atau musik.
Termasuk ditegaskan di PP tersebut jika pembayaran royalti tersebut harus melalui Lembaga Manajamen Kolektif Nasional (LMKN).
“Pasal 3 ayat (1) PP 56/2021 menjelaskan bahwa royalti dibayarkan oleh individu kepada pencipta atau pemegang hak cipta lagu dan/atau musik melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN),” ujarnya.
Huda mengungkapkan selama ini memang ada keluhan terkait dengan kinerja LMKN.
Bahkan pembentukan LMKN bentukan pemerintah ini sempat memicu polemik karena kinerjanya bisa tumpang tindih dengan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang didirikan oleh artis/musisi secara independen.
“Selain itu LMK juga dikritik terkait dengan minimnya transparansi, ketidakjelasan basis data penggunaan lagu atau musik secara komersil, hingga prosentase 20 persen yang harus dibayarkan pemegang hak cipta ke LMK,” katanya.
Kendati kinerja LMK belum efektif, kata Huda bukan berarti para pihak membuat aturan baru seperti direct license yang saat ini lagi hangat dibicarakan.
Menurutnya munculnya direct licensing ini berpotensi menciptakan hubungan tidak setara antara pemegang hak cipta dengan artis penyanyi.
“Harusnya perdebatan dikembalikan pada bagaimana mengoptimalkan LMKN atau LMK agar benar-benar memberikan royalti kepada pencipta atau pemegang hak cipta bukan kemudian membikin aturan baru di luar ketentuan yang sudah berlaku seperti direct licensing dalam performing rights,” katanya.
WAMI Siap Diaudit, Adi Adrian: Keuangan WAMI Selalu Mendapat Opini Wajar Tanpa Pengecualian |
![]() |
---|
Ini Cara Yovie Widianto Menyikapi Royalti Musik |
![]() |
---|
Agnez Mo Menang Kasasi di MA, Gugatan Royalti Rp1,5 Miliar Gugur |
![]() |
---|
Soal Kisruh Royalti Musik, Istana Dorong Dialog Win-Win untuk Seniman dan Pelaku Usaha |
![]() |
---|
Tolak Royalti Musik 2 Persen di Pesta Pernikahan, Backstagers: Nikah Bukan Konser Musik Komersial |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.