Rabu, 1 Oktober 2025

Kasus Suap Ekspor CPO

PDIP Buka Suara Hakim Djuyamto Tersangka Suap Vonis Kasus CPO, Singgung Penolakan Praperadilan Hasto

PDIP menilai penolakan terhadap gugatan praperadilan Hasto karena ada intervensi dari hakim MA berinisial Y sehingga Djuyamto mengabulkannya.

TRIBUNNEWS/AKBAR PERMANA
Juru Bicara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Guntur Romli saat diwawancarai khusus oleh Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra di studio Tribun Network, Jalan Palmerah Selatan, Jakarta, Selasa (14/01/2025). Guntur menilai penolakan terhadap gugatan praperadilan Hasto karena ada intervensi dari hakim MA berinisial Y sehingga Djuyamto mengabulkannya. TRIBUNNEWS/AKBAR PERMANA 

TRIBUNNEWS.COM - Politis PDIP, Guntur Romli buka suara terkait penetapan tersangka terhadap hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Djuyamto yang ditetapkan menjadi tersangka dugaan suap vonis lepas ekspor crude palm oil (CPO) di tiga perusahaan yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.

Guntur menilai penetapan tersangka terhadap Djuyamto menjadi wujud betapa sulitnya memperoleh keadilan ketika hakim yang mempimpin suatu persidangan tidak memiliki integritas.

"Kasus Djuyamto ini menjadi bukti sangat sulit memperoleh keadilan melalui proses pengadilan karena majelis hakimnya tidak memiliki integritas dan putusannya sudah diatur, bahkan sebelum proses persidangan dimulai," katanya dalam keterangan tertulis, Senin (14/4/2025).

Guntur lalu menyinggung soal gugatan praperadilan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, yang ditolak oleh Djuyamto selaku hakim tunggal dalam kasus dugaan suap Harun Masiku.

Dia menganggap ada kejanggalan terkait penolakan tersebut lantaran tidak berkecocokan dengan fakta-fakta hukum dan keterangan saksi serta ahli saat proses sidang praperadilan berlangsung.

"Putusan Djuyamto terhadap permohonan (praperadilan) Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto jelas merugikan dan janggal karena berdasarkan fakta-fakta hukum dan keterangan saksi dan ahli, harusnya permohonan Hasto Kristiyanto diterima," ujarnya.

Guntur mengungkapkan pihaknya memperoleh informasi bahwa ada dugaan intervensi dari salah satu hakim Mahkamah Agung (MA) agar Djuyamto mengubah putusan praperadilan Hasto menjadi tidak diterima.

Hal itu, imbuhnya, sempat diungkapnya ketika menjadi narasumber di acara salah satu stasiun televisi swasta nasional beberapa waktu lalu.

"Kami memperoleh informasi ada dugaan intervensi seorang hakim Mahkamah Agung (MA) berinisial Y sehingga Djuyamto mengubah putusan menjadi tidak diterima."

"Informasi dugaan ini pernah saya sampaikan secara terbuka 18 Maret 2025 di sebuah acara televisi dan melalui akun X saya @GunRomli jauh sebelum Djuyamto ditangkap bersama Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta," jelasnya.

Baca juga: Vonis Lepas Kasus Korupsi CPO Diwarnai Suap, MA Siap Tinjau Ulang Putusan

Bahkan, Guntur mengeklaim memperoleh informasi bahwa Djuyamto, Muhammad Arif Nuryanta, dan hakim MA berinisial Y memiliki jaringan pengurusan perkara di pengadilan.

Dengan penetapan tersangka terhadap Djuyamto, dia pun cemas dengan proses peradilan yang tengah dihadapi Hasto terkait dugaan suap Harun Masiku yang menjeratnya.

Guntur menganggap Hasto adalah tahanan politik dan kini tengah dikriminalisasi.

"Kasus ini bentuk nyata dari kriminalisasi dan politisasi kasus yang sudah direkayasa sebagai balas dendam politik melalui "tangan-tangan tersembunyi" di lembaga peradilan dengan bukti kasus Djuyamto," tegasnya.

Guntur juga semakin khawatir ketika hakim MA berinisial Y masih berkeliaran dan diduga bakal melakukan intervensi kembali terkait proses peradilan terhadap Hasto.

"Ibarat mencari jarum di tumpukan jerami, mencari keadilan di tengah terjangan kasus dan suap yang mencinderai marwah hakim dan lembaga peradilan saat ini," tuturnya.

Djuyamto dan 2 Hakim Terima Suap Vonis Lepas CPO, Total Nilainya Rp22,5 M

SUAP VONIS LEPAS - Hakim Djuyamto setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap untuk vonis onslag atau lepas perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO) di Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (14/4/2025) dini hari. Djuyamto diketahui menjadi Ketua Majelis Hakim yang memvonis lepas tersangka korporasi di kasus tersebut.
SUAP VONIS LEPAS - Hakim Djuyamto setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap untuk vonis onslag atau lepas perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO) di Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (14/4/2025) dini hari. Djuyamto diketahui menjadi Ketua Majelis Hakim yang memvonis lepas tersangka korporasi di kasus tersebut. (Tribunnews.com/Abdi Ryanda Shakti)

Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tiga hakim sebagai tersangka usai memberi vonis lepas terhadap terdakwa kasus korupsi CPO.

Ketiga hakim tersebut yaiut Agam Syarif Baharudin, hakim Ali Muhtaro, dan hakim Djuyamto.

Dirdik Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar mengungkapkan ketiga hakim itu bersekongkol dengan Ketua PN Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta; dua pengacara yaitu Marcella Santoso dan Ariyanto; serta panitera muda pada PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan.

Qohar menuturkan kasus ini berawal saat pengacara terdakwa CPO bernama Ariyanto Bakri menghubungi Wahyu sebagai panitera muda agar mau mengurus perkara kliennya.

Lantas, Wahyu menyampaikan permintaan Ariyanto itu ke Nuryanta yang ketika itu masih menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat.

Adapun permintaan Ariyanto adalah agar terdakwa diputus onslag atau lepas.

Qohar mengatakan permintaan itu pun lantas disanggupi Nuryanta tetapi dengan syarat imbalan mencapai Rp60 miliar.

Uang tersebut digunakan untuk membayar tiga majelis hakim yang bakal mengadili perkara CPO tersebut.

"Muhammad Arif Nuryanta menyetujui permintaan tersebut untuk diputus onslag, namun dengan meminta uang Rp20 miliar tersebut dikalikan tiga (hakim), sehingga totalnya Rp60 miliar," jelasnya dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Senin (14/4/2025) dini hari.

Baca juga: MA Berhentikan Sementara Hakim-Panitera Tersangka Suap Vonis Kasus Ekspor CPO, Hormati Proses Hukum

Qohar mengatakan permintaan Nuryanta itu pun disetujui Nuryanta. Lantas, Nuryanta pun menunjuk tiga orang hakim untuk memimpin persidangan kasus tersebut.

Yakni, Djuyamto sebagai ketua majelis hakim dan Agam Syarif Baharudin dan Ali Muhtaro sebagai hakim anggota.

Kemudian, kata Qohar, ada penyerahan uang oleh Nuryanto dan lalu diberikan ke Djuyamto dan Agam Syarif Baharudin senilai Rp4,5 miliar dalam bentuk pecahan dollar AS.

Qohar mengatakan, uang terrsebut diberikan seabgai upah pembacaan perkara.

"Setelah terbit penetapan sidang, Muhammad Arif Nuryanta memanggi DJU selaku ketua majelis, dan ASB selaku hakim anggota.Lalu, Muhammad Arif Nuryanta memberikan uang dollar yang bila dikurskan ke dalam rupiah senilai Rp4,5 miliar."

"Di mana uang itu diberikan sebagai uang membaca berkas perkara, dan Muhammad Arif Nuryanta menyampaikan kepada dua orang tersebut agar perkara diatensi," jelas Qohar.

Setelah itu, ada lagi penyerahan uang tahap dua senilai Rp18 miliar dan diberikan ke Djuyamto agar diberikan ke dua hakim lainnya.

Adapun porsi pembagian uang tersebut yaitu Djuyamto senilai Rp6 miliar, Agam Syarif menerima Rp4,5 miliar, dan Ali Muhtaro menerima senilai Rp5 miliar.

Usai segala suap selesai dilakukan, Qohar menuturkan putusan onslag atau lepas pun terwujud.

Alhasil, seluruh terdakwa kasus CPO dijatuhi vonis lepas pada 19 Maret 2025 lalu.

Akibat perbuatannya, ketiga hakim dijerat Pasal 12 Huruf C Juncto Pasal 12 Huruf B Juncto Pasal 6 Ayat 2 Juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021 Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)

 

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved