Kamis, 7 Agustus 2025

Korupsi di PT Timah

Sidang Korupsi Timah, Ahli Sorot Kekeliruan Perhitungan Kerugian Negara Tak Bisa Dianggap Ilegal

Saksi ahli, yakni Tri Hayati, dosen Hukum Pertambangan dan Administrasi Negara dari Universitas Indonesia, serta Gatot Supiartono

|
Editor: Wahyu Aji
istimewa
SIDANG KORUPSI TIMAH - Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi tata niaga timah dengan terdakwa mantan Direktur Operasi Produksi PT Timah Tbk periode 2017–2020, Alwin Akbar, kembali digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (14/4/2025).  

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi tata niaga timah dengan terdakwa mantan Direktur Operasi Produksi PT Timah Tbk periode 2017–2020, Alwin Akbar, kembali digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (14/4/2025).

Agenda sidang kali ini menghadirkan saksi ahli, yakni Tri Hayati, dosen Hukum Pertambangan dan Administrasi Negara dari Universitas Indonesia, serta Gatot Supiartono, ahli bidang Audit Keuangan Negara yang juga dosen di Institut Bisnis dan Informatika Kesatuan.

Dalam keterangannya, Gatot Supiartono menyampaikan pandangan dari sisi audit.

 

Ia mengkritisi perhitungan kerugian negara yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam perkara ini.

Menurutnya, terdapat kekeliruan dalam metode penghitungan, terutama terkait dengan penyewaan smelter dan pembelian bijih timah.

Karena pihak Kejagung hanya menghitung berdasarkan harga pokok penjualan (HPP) saja.

“Tidak bisa hanya berdasarkan HPP karena ada komponen lain yang harus dihitung. Untuk kategori kerugian lingkungan, harus nyata dan pasti. Kerusakan lingkungan memang terjadi, tapi belum tentu itu langsung dikategorikan sebagai kerugian keuangan negara. Negara punya mekanisme pemanfaatan dana jamrek untuk pemulihan. Kalau belum digunakan, belum bisa disimpulkan sebagai kerugian,” ujar Gatot di hadapan majelis hakim.

Mantan auditor BPKP ini juga menyoroti BPKP yang terlalu cepat menyimpulkan bahwa seluruh transaksi dianggap ilegal sehingga diklaim sebagai kerugian total loss.

“Kalau diambil dari pemilik IUP yang sah atau berdasarkan SPK PT Timah, maka seharusnya tidak bisa disebut ilegal. Harus ada klasifikasi yang jelas sebelum menyimpulkan kerugian,” katanya.

Sedangkan ahli lainnya, Tri Hayati menegaskan bahwa dalam hukum pertambangan, tanggung jawab penuh atas kegiatan penambangan berada pada pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Ia menjelaskan, PT Timah sebagai BUMN justru menjalankan peran negara dalam menertibkan tambang ilegal melalui program kemitraan.

“PT Timah tidak bisa dianggap mencuri di tanah sendiri. Mereka justru diminta negara untuk menertibkan tambang ilegal. Karena penambang rakyat tidak mampu memenuhi syarat berbadan hukum, PT Timah kemudian menggandeng perusahaan untuk menyalurkan aktivitas tersebut dalam program kemitraan,” kata Tri Hayati.

Ia menambahkan bahwa kegiatan penambangan yang dilakukan melalui kerja sama dalam bentuk Surat Perintah Kerja (SPK) seharusnya dianggap legal.

Tri juga menekankan bahwa istilah sewa-menyewa smelter dalam industri pertambangan bukanlah praktik ilegal.

Halaman
12
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan