Kasus Suap Ekspor CPO
Suap Kasus CPO Rp 60 Miliar: Pukat UGM Soroti Lemahnya Pengawasan Hakim, Hukum Masih Bisa Dibeli
Kasus suap vonis ekspor CPO Rp 60 miliar, Pukat UGM soroti lemahnya pengawasan hakim, hukum masih bisa dibeli
Penulis:
Mario Christian Sumampow
Editor:
Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hukum dalam dunia peradilan Indonesia masih bisa dibeli.
Hal itu diungkapkan oleh Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada atau Pukat UGM, Zaenur Rohman, saat diminta pandangannya terhadap kasus suap hakim senilai Rp 60 miliar dalam perkara ekspor crude palm oil (CPO).
Kasus tersebut, ia katakan sebagai bukti yang menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap hakim menjadi akar dari masih maraknya praktik suap dan jual-beli perkara.
Zaenur menegaskan sistem peradilan Indonesia masih membuka celah besar bagi intervensi, terutama dari sisi materi.
“Bahwa hukum itu masih bisa dibeli di Indonesia. Hukum itu masih jauh dari kata adil, pasti dan memberi manfaat. Hukum ternyata masih sangat mudah untuk bisa diintervensi,” katanya saat dihubungi, Selasa (15/4/2025).
Lebih lanjut, Zaenur menyebut intervensi kekuasaan bukan lagi satu-satunya masalah, melainkan intervensi dalam bentuk suap yang kini justru lebih mengkhawatirkan.
“Bukan dalam bentuk intervensi kekuasaan semata, tetapi justru intervensi sekarang yang paling mengancam justru adalah dalam bentuk intervensi materi. Para pengadil kita, para hakim, masih mudah untuk dibeli," tuturnya.
Baca juga: Suap Vonis Lepas CPO: 21 Motor, 7 Sepeda dan 7 Mobil Mewah Disita dari Rumah Pengacara Ariyanto
Tidak efektifnya pengawasan internal dan eksternal pun jadi sorotan.
Menurutnya, Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas) memiliki keterbatasan, sementara di sisi eksternal, Komisi Yudisial hanya bisa menilai etik, bukan substansi putusan hakim.
“Pengawasan eksternal itu sangat lemah. Karena pengawasan eksternal praktis hanya dilakukan oleh Komisi Yudisial, sedangkan Komisi Yudisial itu berfokus kepada etik dari hakim,” pungkas Zaenur.
Untuk diketahui, kasus suap hakim Rp 60 miliar bermula dari vonis lepas atau onslag terhadap korporasi dalam perkara korupsi ekspor CPO atau bahan baku minyak goreng.
Ketua PN Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, ditetapkan sebagai tersangka dan diduga menerima suap Rp 60 miliar.
Selain Arif, tiga hakim lain—Agam Syarif Baharudin, Ali Muhtaro, dan Djuyamto—juga diduga menerima Rp 22,5 miliar. Mereka diduga bersekongkol bersama dua pengacara dan seorang panitera muda PN Jakarta Utara.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.