Rabu, 1 Oktober 2025

RUU KUHAP

Habiburokhman Ungkap Pembahasan RUU KUHAP Pernah Dilakukan Tahun 2012: Berakhir Deadlock

Pembahasan Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) pernah dilakukan pada tahun 2012 tetapi terjadi deadlock. 

Tribunnews.com/Rizki Sandi Saputra
RUU KUHAP - Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman. Ia mengungkapkan, sebenarnya pembahasan Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) pernah dilakukan pada tahun 2012 tetapi terjadi deadlock.  

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman mengungkapkan, sebenarnya pembahasan Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) pernah dilakukan pada tahun 2012 tetapi terjadi deadlock. 

Habiburokhman mengatakan, saat itu RUU KUHAP disebut oleh ICW sebagai pembunuh KPK karena dihilangkannya penyelidikan dan adanya pengaturan soal Hakim Pemeriksaan Pendahuluan (HPP) yang memegang kekuasaan menentukan bisa atau tidaknya dilakukan penahanan  dan upaya paksa lainnya.

"Banyak pihak terutama KPK sendiri yang meminta agar pembahasan RUU KUHAP dihentikan," ujar Habiburokhman dalam keterangan persnya, Kamis (17/4/2025).

Bahkan, kata dia, pada tahun 2014 pemerintah dan DPR sepakat akan menunda pembahasan RUU KUHAP sembari memprioritaskan pembahasan RUU KUHP.

Pada akhirnya draft RUU KUHAP tersebut tidak bisa untuk dibahas kembali karena DPR telah berganti periode sampai tiga kali dan RUU KUHAP dengan draft tahun 2012 tersebut tidak termasuk RUU yang masuk dalam status carry over sebagaimana diatur Pasal 71A UU Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Politisi Gerindra ini menyatakan, dalam rapat internal Komisi III DPR Masa Keanggotaan 2024-2029 tanggal 23 Oktober 2024, Komisi III melakukan penyusunan RUU Hukum Acara Pidana.

Komisi III selanjutnya menugaskan Badan Keahlian DPR untuk menyiapkan Naskah Akademik (NA) dan RUU Hukum Acara Pidana.

Dalam proses menyiapkan NA dan RUU Hukum Acara Pidana, Badan Keahlian telah melakukan serangkaian kegiatan penyerapan aspirasi masyarakat berupa diskusi dengan aparat penegak hukum.

Mereka yang yang hadir diantaranya Jampidum Asep Nana Mulyana, Staf Ahli Sosek Polri Iwan Kurniawan hingga Wamenkum Edward Omar Syarief Hiariej juga dengan sejumlah LSM antara lain ICJR, LeIP, IJRS.

"Pada tanggal 23 Januari 2025 BK DPR RI mengadakan Webinar dengan narasumber Edward Omar Syarief Hiariej, Jampidum Asep Nana Mulyana, Staf Ahli Kapolri Iwan Kurniawan, Guru Besar FH UNAIR Nur Basuki Wirana, Akademisi Univ Trisakti Albert Aries, Advokat Magdir Ismail, Advokat Teuku Nasrullah, Ketua YLBHI Muhamad Isnur.," katanya.

"Webinar ini diikuti oleh lebih dari 1.000 peserta melalui zoom dan lebih dari 7.300 peserta melalui Youtube DPR RI. Peserta webinar ini berasal dari kalangan perguruan tinggi, kementerian/lembaga, organisasi kemasyarakatan, organisasi advokat, dan aparat penegak hukum," lanjutnya.

Penyerapan aspirasi masyarakat terus berlanjut di Komisi III yang melakukan setidaknya 8 kegiatan penyerapan aspirasi masyarakat.

Yaitu Rapat Kerja dengan Ketua Komisi Yudisial tanggal 10 Februari 2025,  Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung RI dan Ketua Kamar Militer Mahkamah Agung RI tanggal 12 Februari 2025.

Kemudian rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Advokat yaitu Maqdir Ismail, Luhut M.P. Pangaribuan dan Petrus Bala Pattyona, pada tanggal 5 Maret 2025, Publikasi NA dan RUU tentang Hukum Acara Pidana melalui laman www.dpr.go.id pada tanggal Tanggal 20 Maret 2025.

"Kami juga mengadakan konferensi Pers terkait launching RUU tentang Hukum Acara Pidana  tanggal 20 Maret 2025 , RDPU dengan Advokat dan Akademisi yaitu Juniver Girsang, Julius Ibrani dan Romli Atmasmita pada tanggal 24 Maret 2025."

"Juga konferensi Pers terkait Pasal Penghinaan Presiden dalam RUU Hukum Acara Pidana bisa diselesaikan dengan Restorative Justice  tanggal 24 Maret 2025  dan Penyerapan Aspirasi dengan PBHI, YLBHI, Amnesty International, LEIP, IJRS, ICJR, LBH Jakarta, AJI, dan ILRC tanggal 8 April 2025," tuturnya.

Ketua Fraksi Gerinda di MPR ini menyatakan beberapa hal penting didapat saat penyerapan aspirasi masyarakat tersebut.

Pertama, menurutnya, ternyata MA justru menolak keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP). Kedua, advokat menginginkan adanya pasal khusus yang mengatur imunitas advokat.

Kemudian yang ketiga, seluruh Fraksi setuju agar pasal penghinaan Presiden di KUHP harus diselesaikan terlebih dahulu dengan RJ dan keempat pasal keharusan adanya izin peliputan media dihapus atas permintaan Aliansi Jurnalis Indepeden," katanya.

Pada tanggal 16 Februari 2025 Komisi III menyampaikan NA dan RUU Hukum Acara Pidana kepada Pimpinan DPR RI melalui Surat Pimpinan Komisi III DPR RI Nomor B/447-DW/KOM.III/MP.II/02/2025. Selanjutnya rapat paripurna tanggal 18 Februari 2025 menyepakati RUU Hukum Acara Pidana menjadi RUU usul DPR RI.

"Menindaklanjuti surat Komisi III tersebut,  Ketua DPR menyampaikan NA dan RUU Hukum Acara Pidana kepada Presiden melalui Surat Nomor B/2651/LG.01.01/02/2025 baru kemudian Presiden mengirimkan Surat Presiden RI kepada Ketua DPR RI Nomor R-19/Pres/03/2025 tanggal 19 Maret 2025 perihal Penunjukan Wakil Pemerintah untuk membahas RUU Hukum Acara Pidana," jelasnya.

Proses selanjutnya adalah Pembahasan RUU KUHAP di Komisi III DPR RI secara resmi sebagaimana diatur Pasal 142 ayat (1) Tata Tertib DPR yang diawali dengan Rapat Kerja Komisi III dengan wakil pemerintah. 

"Sebelum dan setelah rapat Panja, Komisi III akan terus menyerap aspirasi masyarakat. Kami pastikan semua rapat pembahasan KUHAP akan dilaksanakan di Gedung DPR  secara terbuka dan disiarkan secara langsung oleh TV Parlemen sehingga bisa diikuti oleh masyarakat di manapun berada," tutup politisi senior ini.

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved