Sabtu, 13 September 2025

2 Juni Hari Apa? 128 Tahun Lalu Bapak Republik Indonesia Lahir, Kisah Tan Malaka

2 Juni merupakan tanggal untuk memperingati hari lahir seorang pahlawan Indonesia, Tan Malaka, seorang Bapak Republik Indonesia

Surya
BAPAK REPUBLIK - Tan Malaka semasa muda. Potret Tan Malaka di samping sebuah cermin 

TRIBUNNEWS.COM - 2 Juni merupakan tanggal untuk memperingati hari lahir seorang pahlawan Indonesia, Tan Malaka.

Hari ini Senin (2/6/2025) tepat 128 hari yang lalu seorang pahlawan revolusioner dilahirkan di tanah ibu pertiwi.

Tan Malaka lahir pada 2 Juni 1897 di daerah Suliki, Sumatera Barat, dengan nama asli Sutan Ibrahim.

Nama lengkapnya kemudian menjadi Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka, mengikuti gelar adat yang diperoleh dari garis keturunan ibunya, Sinah Simabur.

Sang ibu berasal dari keluarga terpandang di kampungnya, sedangkan ayahnya, Rasad Caniago, bekerja sebagai pegawai di bidang pertanian.

Tan Malaka tumbuh dalam lingkungan keluarga yang kental dengan ajaran agama. Bahkan sejak usia dini, ia sudah mampu menghafal banyak ayat Al-Quran.

Selama hidupnya, Tan Malaka tidak pernah menikah. Meski sempat jatuh cinta beberapa kali, kisah cintanya tak pernah berakhir di pelaminan.

Julukan Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka dikenal sebagai seorang revolusioner dan pemikir besar yang disegani oleh para tokoh perintis kemerdekaan Indonesia.

Ia aktif dalam berbagai pergerakan perjuangan, bahkan saat harus hidup dalam pengasingan di luar negeri.

Kecerdasannya tercermin dari banyak karya tulis yang ia hasilkan, yang berpengaruh besar terhadap arah perjuangan bangsa.

Gelar "Bapak Republik Indonesia" disematkan padanya oleh Muhammad Yamin, karena ia merupakan tokoh pertama yang secara tertulis mengusulkan bentuk negara Republik Indonesia dalam bukunya Naar de Republiek Indonesia.

Baca juga: Sosok Anis Hidayah, Ketua Komnas HAM Pertanyakan Wacana Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto

Ide-ide tentang bentuk dan cita-cita kemerdekaan sebagai sebuah republik dituangkan dalam buku tersebut, gagasan yang belum muncul dari tokoh-tokoh lain pada zamannya. 

Kecerdasannya sudah terlihat sejak kecil hingga akhirnya guru-gurunya mendorongnya untuk menempuh pendidikan lebih lanjut di Belanda pada 1914.

Jejak Pendidikan

Pendidikan formal Tan Malaka dimulai dari Kweekschool, sekolah guru di Sumatera Barat, pada usia 11 tahun.

Setelah lulus, ia melanjutkan studi ke Rijkskweekschool, sebuah lembaga pendidikan guru di Belanda.

Ia meninggalkan tanah kelahirannya pada 1913 dan menyelesaikan pendidikannya enam tahun kemudian, pada 1919.

Di negeri Belanda inilah ia mulai bersentuhan dengan literatur tentang sosialisme, komunisme, hingga kapitalisme dan demokrasi.

Wawasan Tan Malaka semakin berkembang setelah ia membaca buku De Fransche Revolutie, yang memperkenalkannya pada semangat revolusi.

Situasi geopolitik dunia saat itu juga memperkuat ketertarikannya pada pemikiran kiri, terlebih dengan terjadinya Revolusi Bolshevik di Rusia.

Tan Malaka kemudian mendalami karya-karya tokoh besar seperti Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin—yang kelak sangat memengaruhi arah perjuangan dan pemikirannya.

Awal Karier dan Aktivisme

Sekembalinya ke Indonesia pada 1919, Tan Malaka mengajar di sebuah perkebunan di Deli sebagai guru Bahasa Melayu.

Di sana, ia menyaksikan langsung ketimpangan antara buruh dan pemilik kebun, yang memicu semangat perjuangannya.

Ia mulai menulis tentang penderitaan buruh di surat kabar Sumatera Pos dan tetap menjalin komunikasi dengan teman-temannya di Belanda.

Salah satu tulisannya yang berbahasa Belanda berjudul Het Vrije Woord diterbitkan di Semarang.

Selain itu, ia juga menerbitkan brosur berjudul Sovyet atau Parlemen, yang mengupas perbandingan antara dua sistem pemerintahan.

Tan Malaka
Tan Malaka (Grid.ID)

Brosur tersebut dimuat dalam majalah Soeara Rakjat.

Pada 1920, Tan Malaka terpilih sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat) dari kelompok kiri.

Namun ia hanya bertahan setahun, kemudian memilih mengundurkan diri dan membuka sekolah rakyat di Semarang.

Di sana ia bertemu dengan tokoh pergerakan seperti Cokroaminoto, Semaun, dan K.H. Agus Salim, serta mulai serius menekuni politik.

Dalam Kongres PKI pada Desember 1921, ia terpilih menjadi pimpinan partai.

Namun, pada 1922, ia ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda karena dianggap terlibat dalam pemogokan buruh, dan akhirnya diasingkan ke Belanda.

Tak lama kemudian, ia berpindah ke Moskwa.

Karya-Karya dan Pengaruh Pemikiran

Selama masa pengasingan, Tan Malaka menulis sejumlah buku penting. Salah satu karya monumental adalah Naar de Republiek Indonesia, yang ia selesaikan pada 1925 saat berada di Tiongkok.

Buku ini menjadi tonggak penting dalam pemikiran kemerdekaan Indonesia.

Melalui tulisannya, ia mendorong kaum intelektual Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan secara penuh dan memperhatikan nasib rakyat kecil.

Ia juga menawarkan program perjuangan yang mencakup aspek politik, ekonomi, sosial, dan bahkan militer.

Antara 1942 hingga 1943, ia menulis Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika), buku yang dianggap sangat penting dalam sejarah pemikiran Indonesia.

Buku ini mengajak masyarakat untuk meninggalkan cara berpikir mistis dan takhayul, serta menggunakan logika dalam menghadapi kenyataan.

Sikap dialektisnya terlihat dari perbedaan tajam yang ia tunjukkan terhadap kelompok tua seperti Soekarno-Hatta, yang ia nilai terlalu kompromistis, dibandingkan dengan kaum muda yang ia anggap sebagai harapan bangsa.

Peran Pasca Kemerdekaan dan Akhir Hayat

Setelah Indonesia merdeka, Tan Malaka sempat ditawari oleh Sutan Syahrir untuk memimpin Partai Sosialis, namun ia menolak.

Menurutnya, Syahrir bukanlah seorang revolusioner sejati dan partai sosial demokrat tidak sejalan dengan prinsip komunismenya.

Ia pun menolak jabatan formal dan memilih berdiri di luar sistem partai, mendirikan Persatuan Perjuangan—koalisi 141 organisasi politik—yang menuntut kemerdekaan penuh dan menolak kompromi diplomatik seperti dilakukan kabinet Syahrir.

Karena keterlibatannya dalam peristiwa kudeta 3 Juli 1946, Tan Malaka ditahan selama dua setengah tahun tanpa proses pengadilan. Ia dibebaskan setelah pemberontakan PKI Madiun tahun 1948.

Tak lama kemudian, Tan Malaka mendirikan Partai Murba pada 7 November 1948 di Yogyakarta. Meskipun menjadi pendiri, ia menyerahkan kursi kepemimpinan kepada Sukarni yang lebih muda.

Pada Februari 1949, Tan Malaka ditangkap dan dieksekusi oleh tentara Indonesia di daerah Kediri, Jawa Timur. Lokasi makamnya lama tidak diketahui hingga akhirnya pada 2007, peneliti asal Belanda, Harry Poeze, mengungkapkan bahwa jenazahnya dimakamkan di Desa Selopanggung, Kediri.

Kemudian, pada 16 Februari 2017, atas permintaan keluarga, jenazahnya dipindahkan ke kampung halamannya di Nagari Pandam Gadang, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat.

Tan Malaka secara resmi dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 53 tahun 1963 yang ditandatangani pada 28 Maret 1963.

Tan Malaka Massa Kecil
Tan Malaka Massa Kecil (TribunnewsBogor.com)

Buku

Parlemen atau Soviet (1920)

SI Semarang dan Onderwijs (1921)

Dasar Pendidikan (1921)

Tunduk Pada Kekuasaan Tapi Tidak Tunduk Pada Kebenaran (1922)

Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) (1924)

Semangat Muda (1925)

Massa Actie (1926)

Local Actie dan National Actie (1926)

Pari dan Nasionalisten (1927)

Pari dan PKI (1927)

Pari International (1927)

Manifesto Bangkok (1927)

Aslia Bergabung (1943)

Muslihat (1945)

Rencana Ekonomi Berjuang (1945)

Politik (1945)

Manifesto Jakarta (1945)

Thesis (1946)

Pidato Purwokerto (1946)

Pidato Solo (1946)

Madilog (1948)

Islam dalam Tinjauan Madilog (1948)

Gerpolek (1948)

Pidato Kediri (1948)

Pandangan Hidup (1948)

Kuhandel di Kaliurang (1948)

Proklamasi 17-8-45 Isi dan Pelaksanaanya (1948)

Dari Pendjara ke Pendjara (1970)

(Tribunnews.com,TribunnewsWIKI)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan