Rabu, 3 September 2025

Tambang Nikel di Raja Ampat

Tak Cukup Cabut Izin Tambang, DPR Juga Minta Pemerintah Pulihkan Lingkungan Raja Ampat yang Rusak

Anggota Komisi XII DPR minta Pemerintah juga memulihkan lingkungan Raja Ampat yang mengalami kerusakan akibat aktivitas tambang.

dok.
TAMBANG NIKEL MERUSAK ALAM - Aktivitas tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, merusak alam dan mengancam status Raja Ampat sebagai kawasan wisata strategis nasional. Anggota Komisi XII DPR minta Pemerintah juga memulihkan lingkungan Raja Ampat yang mengalami kerusakan akibat aktivitas tambang. 

TRIBUNNEWS.COM - Pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) empat perusahaan tambang di Raja Ampat, Papua Barat Daya, dinilai belum cukup.

Pemerintah juga diminta untuk memulihkan lingkungan Raja Ampat yang mengalami kerusakan akibat aktivitas tambang.

Hal tersebut disampaikan oleh Anggota Komisi XII DPR, Jalal Abdul Nasir.

"Cabut izin saja belum cukup. Pulihkan lingkungan yang rusak dan pastikan tak ada pihak yang lalai dibiarkan lolos begitu saja," ujar Jalal dalam keterangannya, Selasa (10/6/2025).

Meski demikian, Jalal tetap mengapresiasi Presiden Prabowo Subianto yang langsung bergerak cepat mencabut IUP empat perusahaan tambang di Raja Ampat tersebut.

Jalal pun menekankan bahwa keputusan ini harus ditindaklanjuti dengan regulasi yang kuat dan pengawasan yang ketat.

Menurutnya, pencabutan ini juga harus dijadikan momentum untuk memperkuat tata kelola pertambangan di kawasan pulau kecil. 

"Jangan sampai isu tanah dan laut kita diniatkan untuk profit semata," ujar Jalal.

"Pemerintah dan DPR diharapkan terus menjaga kesinambungan kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan," ujar Jalal.

Untuk diketahui, empat IUP perusahaan yang dicabut itu dinilai melanggar aturan, terutama terkait aturan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Selain itu juga, pemerintah telah melakukan peninjauan di lapangan, dan menemukan beberapa kawasan yang menjadi area tambang nikel harus dilindungi.

Baca juga: PT GAG Nikel Diberi Izin Menambang di Raja Ampat hingga 2047, Pemerintah Diminta Tetap Awasi Ketat

Keempat perusahaan itu adalah PT Kawei Sejahtera Mining yang berlokasi di Pulau Kawe, PT Mulia Raymond Perkasa yang berlokasi di Pulau Batang Pele dan Pulau Manyaifun, PT Anugerah Surya Pertama yang berlokasi di Pulau Manuran, dan PT Nurham yang berlokasi di Pulau Yesner Waigeo Timur.

Namun, ada satu perusahaan yang tidak dicabut IUP-nya di Raja Ampat, yakni PT GAG Nikel.

Alasan pemerintah tak mencabut izin tambang PT GAG di Raja Ampat karena itu merupakan bagian dari aset negara.

Selain itu, operasional pertambangan yang dilakukan anak usaha PT Aneka Tambang Tbk (ANTAM) itu, dinilai sudah sesuai prosedur.

Bahkan, operasi perusahaannya juga disebut telah memenuhi syarat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, hasil evaluasi Kementerian ESDM terkait PT GAG Nikel sangat baik.

"Untuk PT GAG karena itu adalah dia melakukan sebuah penambangan yang menurut dari hasil evaluasi tim kami itu baik sekali," ungkap Bahlil, di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa.

"Dan tadi kan sudah lihat foto-fotonya waktu saya meninjau itu, alhamdulillah sesuai dengan AMDAL, sehingga karena itu juga adalah bagian dari aset negara," kata Bahlil, 

DPR Minta Pemerintah Evaluasi Sistem Penerbitan IUP 

Sementara itu, Anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam, meminta pemerintah mengevaluasi sistem penerbitan IUP.

Supaya, aktivitas tambang tidak melanggar aturan seperti yang terjadi di Raja Ampat tersebut.

Menurut dia, kejadian di Raja Ampat bisa menjadi pembelajaran bagi Pemerintah agar tidak ugal-ugalan menerbitkan izin tambang.

"Jangan sampai Pemerintah menjadi makelar tambang,” kata Mufti kepada wartawan, Selasa.

Mufti lantas menjelaskan bahwa Raja Ampat memiliki keanekaragaman yang merupakan habitat bagi ratusan jenis flora dan fauna yang unik, langka, dan terancam punah.

Sehingga, aktivitas tambang sangat merugikan ekosistem lingkungan hidup dan kemakmuran masyarakat setempat.

"Yang digali bukan cuma tambang, tapi harga diri kita sebagai bangsa! Raja Ampat bukan untuk ditambang tapi untuk dijaga."

"Pemerintah yang membiarkan tambang masuk ke sana, sama saja dengan menghancurkan masa depan anak cucu kita,” kata dia.

Mufti pun mengingatkan, penambangan di pulau-pulau kecil di Raja Ampat tak hanya merusak lingkungan tapi juga bertentangan dengan UU Nomor 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil jo UU No 27 tahun 2007 yang melarang aktivitas pertambangan di pulau yang luasnya kurang dari 2.000 km2.

Oleh karena itu, Mufti menyoroti bagaimana bisa izin tambang terbit di Raja Ampat yang mayoritas merupakan wilayah konservasi.

Apalagi, sebagian tambang berdekatan dengan Pulau Piaynemo, yang dikenal sebagai destinasi wisata utama di Raja Ampat.

“Bahkan bisa-bisanya Peraturan Daerah Kabupaten Raja Ampat Nomor 3 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) justru menetapkan beberapa pulau kecil sebagai kawasan pertambangan yang sangat bertentangan dengan UU,” ujar Mufti.

“Belum lagi adanya respons sejumlah pejabat yang terkesan membela aktivitas tambang lalu muncul narasi-narasi yang bertentangan dengan suara masyarakat asli Papua,” imbuhnya.

Dikatakan Mufti, Raja Ampat merupakan kawasan konservasi dan pariwisata kelas dunia, bukan zona industri ekstraktif.

Jadi, menurutnya, tidak masuk akal jika muncul izin-izin pertambangan di kawasan Raja Ampat.

“Sudah cukup hutan habis, laut rusak, masyarakat adat digusur. Kita tidak boleh menggadaikan alam yang akan menjadi modal kehidupan masa depan,” kata Mufti.

Berdasarkan analisis Greenpeace, disebutkan bahwa lebih dari 500 hektare hutan telah rusak akibat penambangan nikel dan sedimentasi di Raja Ampat yang mengancam terumbu karang serta kehidupan bawah laut. 

Bahkan, dalam video yang dirilis Greenpeace, terlihat adanya pembukaan lahan di tengah pulau yang diduga sebagai lokasi tambang aktif.

Atas hal yang terjadi itu, Mufti menyebut ketegasan dari Pemerintah dengan menutup izin tambang bermasalah memang dibutuhkan.

Lantaran, perkara ini terkait dengan komitmen perlindungan terhadap lingkungan, dan integritas dalam menjalankan hukum. 

“Kalau negara ini masih waras, memang sudah seharusnya aktivitas tambang bermasalah di Raja Ampat dihentikan. Karena Raja Ampat harus dilindungi, bukan dirusak! Dengarkan suara rakyat, bukan hanya suara pemilik modal,” kata cia

“Jangan jual surga dunia yang ada di Indonesia ke pengeruk keuntungan yang menyebabkan lingkungan rusak dan rakyat menderita,” sambung Mufti.

"Ini bukan persoalan baru. Aturan tentang larangan tambang di pulau-pulau kecil sudah jelas, tapi tetap saja izin pertambangan dikeluarkan. Pemerintah jangan menunggu viral dulu baru bergerak,” ungkapnya.

Di samping perkara viral, Mufti menilai yang perlu menjadi pertanyaan adalah bagaimana izin-izin tambang di kawasan Raja Ampat bisa muncul.

“Padahal jelas kriteria di pulau-pulau kecil secara hukum sudah dilarang untuk ditambang? Perlu juga dikroscek latar belakang dari perusahaan yang memiliki konsesi tambang. Bukan hanya tambang nikel, tapi juga termasuk emas dan batu bara,” kata Mufti.

Mufti pun mendesak Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup (LH) membuka data lengkap mengenai seluruh izin tambang di kawasan Raja Ampat, termasuk status hukum dan lokasi detailnya. 

"Publik berhak tahu sejauh mana negara melindungi wilayah-wilayah konservasi. Jangan ada kesan bahwa hukum bisa dinegosiasikan demi investasi,” ungkapnya.

Mufti juga menggarisbawahi mengenai persoalan izin tambang di pulau-pulau kecil. 

“Perlu menjadi catatan bahwa larangan tambang di pulau-pulau kecil bukan hanya di Raja Ampat saja. Jadi harus ditelusuri pula apakah aktivitas serupa juga terjadi di pulau-pulau kecil wilayah lain,” ucap Mufti.

Dia kemudian menuturkan, pemerintah harus betul-betul mempertimbangkan kegelisahan rakyat.

“Masalah ini ramai bukan tanpa alasan. Pemerintah juga harus mendengarkan masyarakat yang telah dirugikan dari aktivitas tambang di Raja Ampat selama ini,” ujarnya.

Dengan ini, Mufti pun memastikan Komisi VI DPR RI akan terus mengawal persoalan itu, dan meminta agar tidak ada kompromi terhadap izin-izin tambang yang melanggar aturan dan merusak alam serta mengganggu kesejahteraan rakyat.

“Kami akan awasi. Jangan sampai ketika sorotan publik mereda, aktivitas tambang dilanjutkan lagi seolah tak ada masalah. Penutupan tambang di Raja Ampat tak boleh hanya jadi manuver sesaat,” ujar Mufti.

(Tribunnews.com/Rifqah/Reza)

Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan