Wacana Pergantian Wapres
Pakar Kritik Puan Tak Proaktif Respons Surat Pemakzulan Gibran, Curiga Ada Politisasi Hukum
Pakar menjadi bertanya-tanya, apakah lambatnya respons Puan itu berkaitan dengan pertemuan Prabowo dan Megawati atau berhubungan dengan Sekjen PDIP.
Penulis:
Rifqah
Editor:
Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Hingga saat ini, DPR mengaku belum menerima surat pemakzulan Gibran Rakabuming Raka dari jabatan Wakil Presiden RI (Wapres) yang dilayangkan oleh Forum Purnawirawan TNI.
Mengenai hal ini, pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, menganggap Ketua DPR RI, Puan Maharani, tidak proaktif meminta surat tersebut.
Apalagi, mengingat bahwa PDIP pernah berseteru dengan ayah Gibran, yakni eks Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi).
"Mbak Puan sendiri yang tidak secara respons proaktif minta mana coba suratnya, kan kalau pikiran dasar kita tentang perseteruan politik atau dinamika lah, mestinya kan keluarga PDI Perjuangan itu yang harus bergerak ," ungkapnya, Rabu (2/7/2025), dikutip dari YouTube Abraham Samad SPEAK UP.
"Harusnya bergerak dong, ini Gibran yang dibicarakan dan mereka punya sejarah dengan bapaknya dan Gibrannya itu sendiri. Tapi ini malah 'oh belum sampai meja saya' (Puan), ini mesti dibaca nih menurut saya, apa di balik ini?" sambungnya.
Bivitri pun menjadi bertanya-tanya, apakah lambatnya respons Puan itu berkaitan dengan pertemuan Prabowo dan Megawati atau berhubungan dengan Sekretaris PDIP, Hasto Kristiyanto yang kini sedang menjalani proses sidang buntut perkara kasus suap Harun Masiku.
Karena hal-hal itu, Bivitri mencurigai adanya politisasi hukum.
"Apakah ada pertemuan, apakah ini ada kaitannya dengan pertemuan Prabowo dengan Megawati beberapa minggu yang lalu, misalnya, atau ada kaitannya juga dengan Pak Hasto yang masih dalam proses sidang, misalnya begitu, atau hal-hal lainnya lah yang kita tahu hari-hari ini banyak politisasi hukum," katanya.
"Hukum itu dipakai untuk menyandera, mengkriminalisasi ya, menyandera keputusan-keputusan politik," ujar Bivitri.
Bivitri pun menegaskan, surat pemakzulan Gibran itu tetap harus ditindaklanjuti, karena bukan surat biasa yang tidak mendasar alasannya.
"Harus (direspons), karena ini kan mekanisme yang juga bukan surat biasa, ini kan suratnya mengacu pada pasal 7A-7B konstitusi dan dan kita semua sudah baca suratnya karena menyebar di mana-mana."
Baca juga: Pakar Hukum Desak DPR Tindaklanjuti Surat Pemakzulan Gibran: Nanti Jadi Misteri Keajaiban Dunia ke-8
"Kita paham bahwa di surat itu sudah ada referensi ke konstitusi, Jadi bukan surat sekadar mengadukan tanpa dasar ya," ungkapnya.
Apabila DPR memang menganggap surat pemakzulan Gibran itu kurang penting atau kurang bukti, menurut Bivitri, mereka juga tetap harus memberikan respons.
Sebab, katanya, begitulah cara kerja DPR sebagai wakil rakyat.
"Suratnya purnawirawan itu jelas, referensinya pasal 7A-7B Konstitusi mengenai pemakzulan, sehingga mereka harus bahas, kalau mereka menganggap bahwa itu sesuatu yang tidak penting atau kurang bukti atau apapun ya, tetap mereka harus bahas dulu kemudian sampaikan kepada pengirim surat," ucap Bivitri.
"Balasan itu harus ada, pembahasan itu harus ada. Karena begitulah wakil rakyat harus bekerja, kalau enggak, ya enggak usah jadi wakil rakyat lah," tegasnya.
Alasan Puan Belum Terima Surat Pemakzulan Gibran
Sebelumnya, Puan menyatakan bahwa dirinya belum menerima surat pemakzulan Gibran karena masa sidang DPR RI baru saja dibuka pada Selasa (24/6/2025) lalu setelah DPR menjalani masa reses.
"Surat belum kita terima karena baru hari Selasa dibuka masa sidangnya, masih banyak surat yang menumpuk," kata Puan saat jumpa pers di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/7/2025).
Meski demikian, Puan memastikan pimpinan DPR RI bakal membaca dan memproses surat tersebut, jika nantinya sudah diterima.
Sejauh ini, dapat dipastikan kalau surat yang dilayangkan oleh Forum Purnawirawan TNI masih berada di Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR RI.
"Namun, nanti kalau sudah diterima tentu saja kita akan baca dan kita akan proses sesuai dengan mekanismenya," kata Puan.
Puan juga menjelaskan alasan soal belum diterimanya juga surat pemakzulan Gibran itu, meski sudah dilayangkan sejak jauh hari.
Katanya, surat tersebut memang sudah diterima oleh Setjen DPR sejak masa reses di pertengahan Juni kemarin, tetapi, DPR RI baru sekitar sepekan memasuki masa persidangan.
"Ya (surat dikirim) dalam masa reses, tapi kan dibukanya baru Selasa lalu masa sidangnya dan surat yang ada masih banyak sekali," tandas dia.
Adapun, permintaan pemakzulan Gibran itu tertuang dalam surat tertanggal 26 Mei 2025, yang ditujukan kepada Ketua MPR Ahmad Muzani dan Ketua DPR Puan Maharani.
"Dengan ini, kami mengusulkan kepada MPR RI dan DPR RI untuk segera memproses pemakzulan (impeachment) terhadap Wakil Presiden berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku," demikian bunyi surat tersebut.
Dalam surat tersebut, disebutkan sejumlah dasar konstitusional sebagai landasan usulan pemakzulan Gibran.
Di antaranya adalah UUD 1945 Amandemen Ketiga, TAP MPR Nomor XI/MPR/1998, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, serta Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Di mana, Forum menyoroti proses pencalonan Gibran sebagai wakil presiden yang dinilai sarat pelanggaran hukum.
Mereka mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah batas usia calon presiden dan wakil presiden.
Menurut Forum, keputusan tersebut cacat secara hukum karena adanya konflik kepentingan.
"Dengan demikian, terbukti bahwa keputusan tersebut menunjukkan tidak independen karena adanya intervensi melalui relasi keluarga langsung, paman dan keponakan, antara Ketua MK Anwar Usman dengan saudara Gibran Rakabuming Raka," tulis Forum dalam surat tersebut.
Selain aspek hukum, Forum juga mengungkap alasan kepatutan dan kelayakan.
Dalam hal ini, mereka menilai Gibran belum memiliki kapasitas dan pengalaman untuk memimpin Indonesia.
"Sangat naif bagi negara ini bila memiliki seorang wakil presiden yang tidak patut dan tidak pantas untuk memimpin rakyat Indonesia sebesar ini," demikian Forum membeberkan alasan kepatutan.
Tak hanya itu saja, Forum juga mengangkat persoalan moral, etika, dan dugaan keterlibatan Gibran dalam kasus akun media sosial “Fufufafa” yang sempat menimbulkan kegaduhan publik.
Akun tersebut diduga dikendalikan oleh Gibran dan berisi hinaan terhadap sejumlah tokoh nasional seperti Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga Anies Baswedan.
Mereka juga kembali mengingatkan mengenai laporan dugaan korupsi yang disampaikan akademisi Ubedilah Badrun pada 2022 lalu.
Laporan itu menyinggung dugaan relasi bisnis antara Gibran dan adiknya, Kaesang Pangarep, terkait suntikan dana dari perusahaan modal ventura ke sejumlah usaha rintisan milik keduanya.
"Berdasarkan uraian tersebut, kami mendesak agar DPR RI segera memproses pemakzulan Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka," ucap Forum dalam suratnya.
(Tribunnews.com/Rifqah/Rizki)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.