Sabtu, 13 September 2025

Kasus Impor Gula

3 Kritik ke Rezim Jokowi Disebut-sebut Bikin Tom Lembong Dijerat Korupsi Impor Gula

Menurut Usman Hamid, ada tiga kritik terhadap rezim Jokowi yang membuat Tom Lembong dijerat kasus dugaan tindak pidana korupsi.

Tribunnews.com/Rahmat Nugraha
SIDANG TOM LEMBONG - Terdakwa kasus dugaan korupsi impor gula, Mantan Menteri Perdagangan RI (Mendag) Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong jelang sidang agenda duplik di PN Tipikor Jakarta, Senin (14/7/2025). Pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Usman Hamid menyinggung, proses penuntutan terhadap Tom Lembong (dan Hasto Kristiyanto) bukanlah penegakan hukum murni, melainkan sebuah politically motivated prosecution. 

TRIBUNNEWS.COM - Pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Usman Hamid, menyebut proses hukum terhadap mantan Menteri Perdagangan RI Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Menyoroti kasus dugaan korupsi impor gula, Usman menyebut, posisi Tom Lembong sebagai oposisi yang vokal mengkritik penguasa dan berseberangan dari Mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) membuatnya dijerat hukum.

Hal ini dia sampaikan saat memberikan materi dalam Diskusi Publik yang digelar Koalisi Masyarakat Sipil dan tayangannya diunggah di kanal YouTube Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Senin (21/7/2025).

Usman Hamid juga dikenal sebagai Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia dan pernah menjabat sebagai Koordinator Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).

Pada 2004 silam, lulusan Fakultas Hukum Universitas Trisakti (1999) ini pernah ditunjuk oleh Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai anggota sekaligus sekretaris Tim Pencari Fakta untuk Pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib.

Selain meraih gelar Sarjana Hukum, Usman Hamid mendapat gelar Master of Philosophy (M. Phil) dari The Australian National University, Australia (1996).

3 Kritik Tom Lembong terhadap Rezim Jokowi yang Membuatnya Dijerat Kasus Korupsi

Mulanya, Usman Hamid menyinggung, proses penuntutan terhadap Tom Lembong (dan Hasto Kristiyanto) bukanlah penegakan hukum murni, melainkan sebuah politically motivated prosecution.

Politically motivated prosecution sendiri artinya adalah penuntutan yang didasari motif politik. 

Apalagi, Usman Hamid dalam Diskusi Publik tersebut juga menyinggung bahwa sejak periode pertama, hukum yang represif dan taktik yang antidemokrasi menjadi ciri khas dari pemerintahan Jokowi.

Bahkan, katanya lagi, pada periode kedua pemerintahan Jokowi, weaponization of law enforcement atau pemanfaatan hukum sebagai senjata untuk menebas lawan politik mencapai titik puncaknya, tidak tertandingi sejak runtuhnya Orde Baru.

Baca juga: Guyon Akademisi Saat Bicara Kasus Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto: Hidup Jokowi!

Menurut Usman Hamid, ada tiga kritik terhadap rezim Jokowi yang membuat Tom Lembong dijerat kasus dugaan tindak pidana korupsi.

Kritik-kritik ini dilontarkan Tom Lembong saat dirinya menjabat sebagai Co-Captain 2 Timnas AMIN (Tim Pemenangan Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar) jelang Pemilu 2024.

Kritik Tom Lembong pertama yang disinggung Usman Hamid adalah kritik terhadap proyek Ibu Kota Nusantara (IKN).

"Masuk ke kasusnya Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto. Dua sosok ini, sangat terlihat mereka ada di dalam barisan oposisi-oposisi," papar Usman.

"Suara-suara kritis itu baik terhadap kebijakan ya, terhadap kepemimpinan maupun terhadap kompetisi persaingan di masa pemilu," tambahnya.

"Pertama, kritik Tom Lembong terhadap kebijakan Jokowi dalam konteks ibu kota negara, Ibu Kota Nusantara," kata Usman. 

"Dia [Tom] mengatakan 'tidak ada investor yang berminat', itu dibantah oleh Jokowi, dibantah oleh Bahlil dengan mengatakan, 'Ada kok, tapi saya memang tidak bisa merinci.' Kata Bahlil, ya," jelasnya.

"Kalau ada tapi tidak bisa dirinci, sebenarnya tidak ada. Setelah didesak, lalu dikatakan ada, tapi pengusaha dalam negeri. Oh, kalau begitu bukan investor luar negeri yang dimaksud," tambahnya.

"Investor dalam negeri pun belakangan diberitakan dalam majalah-majalah atau berita-berita sebagai tindakan mereka yang tidak lebih dari sebuah keterpaksaan untuk mendukung apa yang seolah-olah besar berhasil. Padahal sebenarnya rapuh dan gagal," imbuh Usman.

"Hari ini kita lihat sendiri bahwa ibu kota negara itu, Ibu Kota Nusantara  itu gagal menjadi ibu kota nasional," tuturnya.

SIDANG TOM LEMBONG - Terdakwa kasus dugaan korupsi impor gula Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong menjalani sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Jumat (18/7/2025). Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, hakim meyakini Tom Lembong telah terbukti bersalah menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi terkait dengan impor gula. Tom Lembong divonis 4 tahun dan enam bulan (4,5 tahun) penjara. Tribunnews/Jeprima
SIDANG TOM LEMBONG - Terdakwa kasus dugaan korupsi impor gula Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong menjalani sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Jumat (18/7/2025). Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, hakim meyakini Tom Lembong telah terbukti bersalah menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi terkait dengan impor gula. Tom Lembong divonis 4 tahun dan enam bulan (4,5 tahun) penjara. Tribunnews/Jeprima (Tribunnews/Jeprima)

Kritik kedua Tom Lembong adalah soal hilirisasi nikel, di mana Jokowi dinilai hanya membuat kebijakan jangka pendek dan bersifat eksploitatif tanpa mempertimbangkan masa depan.

"Yang kedua adalah kritik Tom Lembong bahwa hilirisasi nikel itu merusak alam dan merusak pasar global," ujar Usman.

"Bahkan mengancam posisi Indonesia di kemudian hari, dari yang seharusnya bisa mempertahankan sumber daya nikel [selama] 30, 50 tahun, menjadi hanya sekitar 5, 10 tahun ke depan. Habis itu kita akan mengemis ke banyak negara untuk membalikkan energi nikel," tambahnya.

"Itu artinya kebijakan Jokowi bidang nikel, dalam kritiknya Tom Lembong, kebijakan yang sangat jangka pendek. Mengeruk, menjual, lalu tidak berpikir tentang masa depan," imbuhnya.

Selanjutnya, Usman menyebut kritik Tom Lembong mengenai aksi Jokowi bagi-bagi bantuan sosial jelang Pemilihan Umum atau Pemilu 2024 demi memenangkan Gibran Rakabuming Raka yang berpasangan dengan Prabowo Subianto.

"Yang ketiga adalah kritik Tom Lembong bahwa bantuan sosial Jokowi yang digunakan di dalam memprakondisikan pemilu, agar bisa memenangkan atau bisa mendorong kemenangan anaknya menguras jutaan ton pasokan beras dari Bulog," jelas Usman.

Penuntutan yang Sulit Dipertanggungjawabkan

Usman Hamid menilai, proses penuntutan terhadap Tom Lembong dan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto yang bersikap oposisi dan kritis terhadap penguasa sulit disebut sebagai proses hukum yang fair.

"Tiga kritik ini juga yang sebenarnya disampaikan oleh Hasto Kristiyanto. Nah, mereka bersikap kritis, bersikap oposisional, bahkan menantang kekuasaan Joko Widodo, termasuk dengan memilih kubu yang berlawanan dengan kubu yang didukung oleh petahana ketika itu," jelas Usman.

"Nah, dengan lanskap yang demikian menjadi jelas, terang, bahwa proses penuntutan terhadap keduanya sulit dipertanggungjawabkan sebagai proses hukum yang sepenuh-penuhnya sebagai proses hukum," tandasnya.

Kasus Impor Gula: Tom Lembong Sudah Divonis 4,5 Tahun Penjara dan Denda Rp750 Juta

Tom Lembong dijatuhi vonis hukuman 4,5 tahun penjara dan pidana denda Rp750 juta subsider 6 bulan penjara atas kasus dugaan korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan RI (Kemendag) periode 2015-2016 dalam sidang putusan yang digelar di Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat, Jumat (18/7/2025).

Vonis ini lebih rendah daripada tuntutan jaksa penuntut umum (JPU).

Sebelumnya, dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat pada Jumat (4/7/2025) lalu, JPU menuntut agar Tom dihukum dengan 7 tahun penjara dan denda sebesar Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan.

Kasus dugaan impor gula yang menjerat nama Tom Lembong dinilai telah mengakibatkan kerugian keuangan negara senilai Rp578 miliar.

Tom Lembong dalam kasus ini didakwa telah memperkaya 10 orang akibat menerbitkan perizinan impor gula periode 2015-2016.

Selain itu, ia didakwa terlibat dengan menyetujui impor gula tanpa melalui rapat koordinasi dengan kementerian atau lembaga.

Tom Lembong sendiri merupakan lulusan Harvard University (Amerika Serikat) pada 1994 di bidang arsitektur dan perancangan kota, dan pernah menjabat sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) periode 2016-2019.

Dipastikan Bakal Ajukan Banding

Adapun Ari Yusuf Amir selaku kuasa hukum Tom Lembong telah memastikan bahwa kliennya akan mengajukan banding pada Selasa (22/7/2025).

Tom Lembong, beserta tim kuasa hukumnya, yakin dan menegaskan tidak bersalah dalam kasus impor gula ini.

Sehingga, menurut Ari, bahkan meski Tom Lembong hanya dihukum satu hari, pihaknya akan tetap mengajukan banding.

"Iya sudah diputuskan kita akan banding hari Selasa, dihukum satu hari saja, Pak Tom akan banding," kata Ari kepada awak media, Minggu (20/7/2025).

Kejanggalan Soal Tak Ada Mens Rea

Putusan vonis terhadap Tom Lembong dalam perkara dugaan korupsi impor gula ini menuai kontroversi.

Apalagi, majelis hakim sudah menyatakan, tidak menemukan adanya mens rea atau niat jahat pada diri Tom dalam kegiatan importasi gula.

Kuasa hukum Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, menilai pertimbangan hakim yang menyebut tak ada mens rea terkesan ragu-ragu.

Dalam situasi seperti itu, kata Ari, seharusnya majelis hakim menjatuhkan putusan bebas, sesuai asas in dubio pro reo.

Asas itu berarti, jika hakim ragu, putusan dijatuhkan untuk terdakwa. Artinya, jika timbul keraguan berdasarkan pembuktian di persidangan, hakim menjatuhkan hukuman yang menguntungkan terdakwa.

“Menunjukkan kejanggalan, kegamangan, dan keraguan majelis dalam menjatuhkan putusan,” ujar Ari, dikutip dari Kompas.com. 

Menurutnya, pertimbangan mens rea hanya berdasar pada keterangan saksi yang mengacu pada berita acara pemeriksaan (BAP), alih-alih fakta persidangan.

 Hal ini keliru karena keterangan yang dianggap sebagai bukti adalah keterangan saksi di muka sidang.

“Keterangan saksi yang dijadikan dasar pertimbangan berdiri sendiri sehingga tidak ada persesuaian, maka bukanlah termasuk dalam minimal pembuktian,” kata dia.

(Tribunnews.com/Rizki A.)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan