Senin, 6 Oktober 2025

KPK Beberkan Buruknya Tata Kelola Tambang Sejak 2009: Izin Tumpang Tindih dan Pengelolaan Amburadul

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membeberkan hasil kajiannya terkait sektor pertambangan yang telah dilakukan sejak tahun 2009. 

Editor: Wahyu Aji
Tribunnews.com/Ilham Rian Pratama
KAJIAN KPK — KPK membeberkan hasil kajiannya terkait sektor pertambangan yang telah dilakukan sejak tahun 2009, di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (24/7/2025). Dari kajian panjang tersebut, KPK menemukan serangkaian masalah kronis, mulai dari tumpang tindih perizinan hingga ketidakselarasan pengelolaan antara pemerintah pusat dan daerah. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTAKomisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membeberkan hasil kajiannya terkait sektor pertambangan yang telah dilakukan sejak tahun 2009. 

Dari kajian panjang tersebut, KPK menemukan serangkaian masalah kronis, mulai dari tumpang tindih perizinan hingga ketidakselarasan pengelolaan antara pemerintah pusat dan daerah.

Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua KPK, Setyo Budiyanto, dalam konferensi pers yang digelar di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, pada Kamis (24/7/2025). 

Pernyataan ini disampaikan usai pertemuan koordinasi dengan tujuh kementerian kunci, termasuk Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Investasi dan Hilirisasi, yang secara khusus membahas perbaikan tata kelola tambang nikel.

"Sejak 2009 sampai dengan sekarang tentu banyak hal yang sudah dikaji, di antaranya masalah perizinan, kemudian pengelolaan," ujar Setyo.

Ia memerinci sejumlah temuan utama dari kajian KPK selama lebih dari satu dekade tersebut. 

Permasalahan yang mengemuka antara lain informasi dan basis data yang tidak terintegrasi, tumpang tindih perizinan, maraknya kegiatan penambangan tanpa izin (IUP), serta ketidaksinkronan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah.

"Juga masalah ketidaksinkronan dan disparitas antara pemerintah pusat dan daerah," kata mantan Direktur Penyidikan KPK itu.

Selain masalah perizinan dan tata kelola, KPK juga menyoroti rendahnya tingkat kepatuhan para pelaku usaha dalam memenuhi kewajiban mereka. 

"Kemudian ada kaitan juga dengan masalah BBM, elpiji, dan terakhir adalah disparitas harga antara pasar ekspor dan domestik," tutur Setyo.

Meskipun demikian, Setyo mengakui bahwa sejumlah rekomendasi dari kajian KPK telah membawa perbaikan. 

Salah satunya adalah pengurangan jumlah perizinan secara signifikan dari 4.877 izin dalam beberapa tahun terakhir. 

Selain itu, telah lahir pula inisiatif integrasi data seperti Sistem Informasi Mineral dan Batu Bara Antar Kementerian/Lembaga (Simbara).

Upaya perbaikan ini, menurut Setyo, telah berkontribusi pada peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor energi, yang naik dari Rp9 triliun pada 2013 menjadi Rp14 triliun.

Melalui rapat koordinasi dengan para pemangku kebijakan, KPK berharap agar seluruh temuan dan rencana aksi dapat ditindaklanjuti secara serius untuk menciptakan tata kelola yang lebih baik.

Baca juga: Bambang Patijaya Sebut Penataan Pertambangan Harus Bisa Dorong Nilai Tambah dan Pertumbuhan Inklusif

"Diharapkan dengan pertemuan ini, ada integrasi yang akan lebih bagus. Tidak ada lagi yang bersifat sektoral, semuanya nanti bisa dilakukan secara sinergi antara kementerian dan tentunya melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi," katanya.

Lalu siapa yang bertanggungjawaban atas buruknya tata kelola tambang di Indonesia?

Hal ini tergantung pada konteks dan jenis pelanggaran yang terjadi. 

Berikut penjelasannya:

1. Pemerintah dan Regulator

Pemerintah, khususnya Kementerian ESDM, bertanggung jawab atas penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan pengawasan pelaksanaannya.

Jika tambang beroperasi secara legal di wilayah IUP, maka negara bertanggung jawab atas dampak lingkungan, karena telah menyadari risiko saat izin diberikan.

Buruknya koordinasi antar lembaga, tumpang tindih izin, dan lemahnya penegakan hukum menjadi akar masalah tata kelola.

2. Perusahaan Tambang

Perusahaan pemegang IUP wajib melakukan reklamasi dan rehabilitasi lahan pasca tambang. Jika tidak dilakukan, mereka bisa dikenai sanksi hukum.

3. Aparat Penegak Hukum

KPK, Kejaksaan, dan Polri berperan dalam mengusut kasus korupsi, pencemaran, dan pertambangan ilegal.

Penegakan hukum yang lemah atau tidak konsisten dapat memperburuk tata kelola tambang.

4. Penyusun AMDAL dan Konsultan

Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang tidak akurat atau disusun tanpa independensi juga berkontribusi pada buruknya pengelolaan.

5. Pemerintah Daerah

Pemda memiliki kewenangan dalam pengawasan tambang di wilayahnya, termasuk memastikan pelaksanaan reklamasi dan tanggung jawab sosial perusahaan.

Kesimpulan

Buruknya tata kelola tambang bukan hanya kesalahan satu pihak, melainkan hasil dari sistem yang tidak terintegrasi, lemahnya pengawasan, dan minimnya akuntabilitas.

Salah satu solusinya harus melibatkan reformasi regulasi, transparansi izin, dan penegakan hukum yang tegas.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved