Selasa, 30 September 2025

Haidar Alwi: UUD 45 Wajib Jadi Dasar Keadilan Tambang bagi Gubernur dan Daerah

Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid blak-blakan dalam rapat dengar pendapat Komisi II DPR RI beberapa waktu lalu.

Penulis: Erik S
Editor: Wahyu Aji
Dok Pribadi/HO
PENGELOLAAN TAMBANG - Pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, R. Haidar Alwi. Haidar menegaskan bahwa peristiwa yang disampaikan Gubernur Sulawesi Tengah Anwar Hafid di hadapan Komisi II DPR RI harus menjadi pemicu evaluasi total terhadap sistem pengelolaan tambang nasional.  

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - R. Haidar Alwi, Pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, menegaskan bahwa peristiwa yang disampaikan Gubernur Sulawesi Tengah Anwar Hafid di hadapan Komisi II DPR RI harus menjadi pemicu evaluasi total terhadap sistem pengelolaan tambang nasional. 

Ia mengingatkan bahwa Pasal 33 UUD 1945 bukan sekadar teks hukum, melainkan jiwa konstitusi yang menuntut agar kekayaan alam dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan segelintir elite atau hanya pemerintah pusat.

“Kalau gubernur di wilayah tambang tidak diberi kuasa, padahal dia adalah wakil rakyat di provinsi, maka ada yang sangat keliru dalam penerapan undang-undang,” kata Haidar Alwi, Minggu (3/8/2025).

Ketika Gubernur Tak Diakui, Keadilan Pun Menyusut

Dalam rapat tersebut, Gubernur Anwar Hafid mengungkapkan bahwa dirinya tidak dapat mengakses kawasan industri tambang di Morowali.

Izin-izin telah dikeluarkan pusat, kawasan telah ditetapkan sebagai wilayah industri strategis nasional, dan segala kendali administratif telah lepas dari tangan pemerintah provinsi. Bahkan NPWP perusahaan-perusahaan besar tambang di sana terdaftar di Jakarta, bukan di lokasi operasional.

“Ini bukan hanya tentang kewenangan administratif, tapi soal harga diri dan tanggung jawab konstitusional seorang kepala daerah,” ujar Haidar.

Haidar Alwi menilai bahwa sistem hukum saat ini telah menggeser posisi gubernur menjadi sekadar simbol politik, tanpa kontrol nyata terhadap potensi alam yang ada di wilayahnya sendiri.

Tambang-tambang yang dikelola oleh korporasi besar, justru menyingkirkan partisipasi daerah yang seharusnya menjadi mitra pembangunan, bukan penonton di tanah sendiri.

“Kita menyaksikan fenomena ironis: provinsi kaya sumber daya, tapi dana bagi hasil hanya ratusan miliar rupiah. Sementara dampak ekologis, sosial, dan ekonomi ditanggung sepenuhnya oleh rakyat lokal,” ucap alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.

UUD 45 Adalah Jawaban, Bukan Sekadar Referensi

Menurut Haidar Alwi, Pasal 33 UUD 1945 seharusnya menjadi kompas dalam menyusun seluruh kebijakan pertambangan nasional.

Kekayaan alam yang dikuasai negara harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, termasuk rakyat di daerah penghasil.

Namun, fakta menunjukkan bahwa sebagian besar undang-undang turunan justru menjauh dari semangat ini.

“UU Minerba, UU Perizinan Berusaha, bahkan beberapa pasal dalam UU Cipta Kerja, telah mencabut akar konstitusional daerah. Padahal UUD 45 sudah sangat jelas: rakyat adalah pemilik sah kekayaan alam, bukan hanya pusat pengendali administrasi,” tegas Haidar Alwi.

Haidar Alwi menyebut bahwa penyebab utama ketimpangan ini adalah sentralisasi fiskal dan teknokratisme hukum yang tidak memberi ruang bagi otoritas daerah.

Karena itu, revisi terhadap undang-undang tersebut harus dilakukan secara menyeluruh, bukan tambal sulam atau sekadar peningkatan alokasi dana kompensasi.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan