5 Koruptor yang Bebas Bersyarat: Pinangki Sirna Malasari hingga Setya Novanto
Inilah 5 nama-nama terpidana kasus korupsi yang telah menghirup udara segar setelah mendapatkan pembebasan bersyarat.
Penulis:
Tiara Shelavie
Editor:
Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Korupsi di Indonesia dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime karena sifatnya yang sangat merusak, mengutip aclc.kpk.go.id.
Namun, vonis penjara yang dijatuhkan kerap berakhir lebih cepat dari yang dibayangkan publik.
Lewat remisi, pembebasan bersyarat, atau kebijakan hukum lainnya, sejumlah koruptor kelas kakap kembali menghirup udara bebas.
Di tahun 2022 saja, sebanyak 23 narapidana kasus korupsi mendapatkan pembebasan bersyarat, mengutip WartaKotalive.com.
Baru-baru ini, terpidana kasus korupsi KTP Elektronik atau E-KTP, Setya Novanto, juga menghirup udara bebas.
Siapa lagi koruptor yang telah merugikan negara yang akhirnya dibebaskan?
Berikut Tribunnews merangkum 5 kasus di antaranya.
1. Ratu Atut Chosiyah - Mantan Gubernur Banten, terpidana suap hakim MK dan korupsi pengadaan alat kesehatan

Mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah mendekam di penjara hampir sembilan tahun setelah tersandung dua kasus korupsi sekaligus, yakni pengadaan alat kesehatan rumah sakit dan suap Pilkada Lebak.
Pilkada Lebak
Pada 1 September 2014, Ratu Atut divonis 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 5 bulan kurungan untuk kasus suap sengketa Pilkada Lebak.
Sengketa Pilkada Lebak 2013 bermula ketika pasangan calon Amir Hamzah–Kasmin yang didukung keluarga Atut, kalah dalam penghitungan suara.
Mereka kemudian menggugat hasil suara ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Namun dalam prosesnya, terungkap adanya praktik suap kepada Ketua MK saat itu, Akil Mochtar yang berasal dari Tubagus Chaeri Wardana (Wawan), adik Ratu Atut, dengan tujuan memenangkan Amir–Kasmin.
Atut terbukti menyuap Akil Mochtar melalui Wawan sebesar Rp1 miliar untuk penanganan sengketa pilkada tersebut, agar putusan sengketa hasil pilkada di Mahkamah Konstitusi berpihak pada Amir–Kasmin.
Pengadaan Alat Kesehatan
Sementara itu, dalam kasus pengadaan alat kesehatan di Tangerang Selatan, Atut divonis 5 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp250 juta subsider 3 bulan kurungan.
Ia terbukti melakukan pengaturan dalam proses pengusulan anggaran Dinas Kesehatan Provinsi Banten pada APBD 2012 sehingga negara mengalami kerugian sebesar Rp79,7 miliar.
Atut sempat mengajukan banding dalam kasus suap sengketa Pilkada Lebak. Namun, upaya itu ditolak. Tak menyerah, Atut kemudian mengajukan kasasi.
Pada Februari 2015, Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi Atut dan justru memperberat hukumannya menjadi 7 tahun penjara, dari sebelumnya 4 tahun.
Awal 2021, Atut kembali mengajukan peninjauan kembali (PK), tetapi permohonannya kandas di MA.
Dengan demikian, total hukuman yang harus dijalani Ratu Atut adalah 12 tahun penjara.
Namun, ia tidak menjalani penuh masa hukuman tersebut karena mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat.
Pembebasan Bersyarat
Ratu Atut dibebaskan bersyarat pada 6 September 2022.
Kepala Lapas Kelas IIA Tangerang saat itu, Yekti Apriyanti, membenarkan pembebasan tersebut sudah sesuai prosedur dan peraturan perundang-undangan.
“Bu Atut mendapatkan program reintegrasi berupa pembebasan bersyarat, dan hal ini sesuai dengan SOP yang berlaku,” ujarnya kepada TribunBanten.com, Selasa (6/9/2022).
2. Pinangki Sirna Malasari — Mantan jaksa, terpidana suap terkait pelarian Djoko Tjandra

Jaksa Pinangki Sirna Malasari alias Jaksa Pinangki sempat disorot karena terlibat dalam pelarian buronan kasus korupsi Djoko Tjandra pada tahun 2021, mengutip Tribun-Timur.com.
Djoko Tjandra merupakan buronan kasus skandal Bank Bali yang berhasil ditangkap di Malaysia pada Juli 2020.
Sebelumnya, Jaksa Pinangki menjabat sebagai Kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung.
Sebagai aparat penegak hukum, keterlibatan Pinangki dalam pelarian buronan korupsi dinilai keterlaluan.
Atas perbuatannya, Jaksa Pinangki dijatuhi hukuman 10 tahun penjara oleh majelis hakim.
Ia juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp600 juta subsidair 6 bulan kurungan.
Pinangki Sirna Malasari dinyatakan terbukti bersalah dalam kasus suap pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) untuk terpidana kasus hak tagih (cessie) Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra.
Hal-hal yang memberatkan Pinangki antara lain statusnya sebagai aparat penegak hukum, upayanya menutupi keterlibatan pihak lain dalam perkara serupa, serta keterangannya yang berbelit di persidangan.
Tak terima divonis 10 tahun bui, Pinangki pun mengajukan permohonan banding dan dikabulkan oleh hakim Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta.
Vonis Pinangki yang sebelumnya 10 tahun, kini menjadi 4 tahun. Ia pun hanya menjalani penahanan kurang lebih 2 tahun.
Sebab pada Selasa (6/9/2022), Pinangki Sirna Malasari dinyatakan bebas bersyarat. Mantan jaksa itu tak lagi menjadi penghuni Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Tangerang.
Kepala Divisi Pemasyarakatan Kanwil Banten, Masjuno, menyebutkan bahwa Pinangki telah menjalani penahanan selama kurang lebih 2 tahun.
"Kurang lebih 2 tahun. Sama syaratnya juga, disamakan semuanya karena sudah tertuang secara tertulis," kata Masjuno.
3. Zumi Zola Zulkifli — Mantan Gubernur Jambi, terpidana suap RAPBD Jambi.

Zumi Zola baru menjabat sebagai Gubernur Jambi selama 2 tahun ketika tersandung kasus korupsi.
Ia bersama Fachrori Umar dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jambi pada 12 Februari 2016.
Mengutip Tribun-Medan.com, pada 2 Februari 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Zumi sebagai tersangka.
Ia diduga menerima suap terkait sejumlah proyek di Provinsi Jambi.
Penetapan Zumi sebagai tersangka merupakan pengembangan perkara kasus suap Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Jambi.
Kendati sudah menjadi tersangka sejak awal Februari 2018, Zumi baru ditahan KPK pada 9 April 2018.
Proses hukum kemudian berjalan. Pada 8 November 2018, jaksa penuntut umum (JPU) KPK menuntut Zumi 8 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Jaksa juga menuntut pencabutan hak politik Zumi selama 5 tahun setelah menjalani pidana pokoknya.
Dalam pertimbangannya, jaksa menilai perbuatan Zumi tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan mencederai kepercayaan masyarakat.
Vonis hakim lebih ringan dibanding tuntutan jaksa.
Dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada 6 Desember 2018, Zumi divonis 6 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan.
Majelis hakim menyatakan Zumi terbukti menerima gratifikasi lebih dari Rp40 miliar, 177.000 dolar Amerika Serikat, dan 100.000 dolar Singapura. Selain itu, ia juga menerima 1 unit Toyota Alphard dari kontraktor.
Selain itu, Zumi juga terbukti menyuap 53 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jambi dengan total Rp16,34 miliar.
Suap itu bertujuan agar pimpinan dan anggota DPRD menyetujui Rancangan Peraturan Daerah APBD Tahun Anggaran 2017 dan 2018 menjadi Peraturan Daerah.
Ajukan PK dan Bebas Bersyarat
Zumi Zola tidak mengajukan banding atas putusan pengadilan. Namun, tiga tahun setelah menjalani masa hukumannya, yakni pada Januari 2021, ia mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA). Upaya tersebut kandas pada Mei 2022.
Tak lama setelah putusan PK, Zumi Zola mendapatkan bebas bersyarat.
Ia keluar dari Lapas Kelas IA Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, pada 6 September 2022.
Saat itu, Zumi bebas bersamaan dengan sejumlah narapidana korupsi lainnya, seperti mantan Menteri Agama Suryadharma Ali dan mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar.
4. Patrialis Akbar — Mantan Hakim Konstitusi, terpidana suap terkait uji materi Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan

Pada September 2017, mantan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar divonis 8 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan terkait kasus suap uji materi Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Diwartakan Tribunnews.com, Patrialis Akbar terbukti menerima suap dari pengusaha impor daging, Basuki Hariman, dan stafnya, Ng Fenny.
Patrialis serta orang dekatnya, Kamaludin, menerima 50.000 dolar AS dan Rp4 juta.
Selain itu, keduanya juga dijanjikan uang sebesar Rp2 miliar dari Basuki.
Uang tersebut diberikan agar Patrialis membantu memenangkan putusan perkara Nomor 129/PUU-XIII/2015 terkait uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan di Mahkamah Konstitusi.
Pada September 2018, Patrialis Akbar mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA).
Kemudian, pada Agustus 2019, MA mengabulkan permohonan PK yang diajukan oleh Patrialis Akbar.
Dengan putusan ini, hukuman Patrialis dipangkas menjadi 7 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan, dilansir Tribunnews.com.
Juru Bicara MA, Andi Samsan Nganro, menjelaskan bahwa menurut majelis hakim PK, putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menghukum Patrialis 8 tahun penjara tidak didukung pertimbangan hukum yang konkret dan cukup sebagai dasar penentuan lamanya pidana.
Patrialis kemudian mendapatkan pembebasan bersyarat pada September 2022, bersama dengan 22 narapidana kasus korupsi lainnya.
5. Setya Novanto — Mantan Ketua DPR RI, terpidana kasus korupsi e-KTP yang merugikan negara lebih dari Rp2,3 triliun.

Kasus korupsi e-KTP yang menyeret Setya Novanto berawal dari pengakuan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, mengutip Tribunnews.com.
Nazaruddin saat itu mengungkap adanya aliran uang korupsi proyek e-KTP ke sejumlah anggota DPR, termasuk Setya Novanto yang diduga menerima uang sebesar 2,6 juta dollar AS.
Keterlibatan Setya Novanto dalam kasus ini menguat setelah namanya disebut dalam persidangan.
Setya Novanto disebut memiliki peran dalam mengatur besaran anggaran e-KTP yang mencapai Rp 5,9 triliun.
Dari total anggaran tersebut, sebanyak 51 persen atau Rp 2,662 triliun digunakan untuk belanja modal atau belanja riil proyek.
Sementara sisanya, sebanyak 49 persen atau Rp 2,5 triliun dibagi-bagi ke sejumlah pihak.
Berdasarkan fakta persidangan tersebut, KPK pun menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka pada 17 Juli 2017.
Tak terima ditetapkan sebagai tersangka, Setya Novanto melakukan perlawanan hukum dengan mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Pada 29 September 2017, hakim mengabulkan gugatan praperadilan Setya Novanto dan menyatakan penetapan tersangka terhadapnya tidak sah karena tidak sesuai prosedur hukum yang berlaku.
Namun, KPK kembali menetapkannya sebagai tersangka.
Novanto pun kembali mengajukan praperadilan pada 10 November 2017.
Sejak ditetapkan sebagai tersangka, Setya Novanto yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPR RI tidak pernah memenuhi panggilan KPK dengan berbagai alasan, mulai dari sakit hingga meminta KPK menunggu putusan praperadilan.
Hingga akhirnya, KPK mendatangi kediaman Setya Novanto di Jalan Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada 15 November 2017.
Namun, upaya paksa KPK tersebut tidak berhasil membawa Setya Novanto.
Kasus Setya Novanto kemudian diwarnai "drama" kecelakaan.
Pada 17 November 2017, mobil yang ditumpangi Setya Novanto dikabarkan menabrak tiang lampu.
Ia pun dilarikan ke Rumah Sakit Medika Permata Hijau.
Drama berlanjut ketika pengacaranya menyebut kepala Setya Novanto mengalami benjolan sebesar bakpao.
Akibat drama tersebut, pengacara Fredrich Yunadi dijatuhi hukuman terkait kasus perintangan penyidikan.
Setelah itu, KPK menjemput Setya Novanto dari rumah sakit, lalu membawanya ke RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, untuk menjalani perawatan akibat luka-luka dalam kecelakaan.
Selanjutnya, Setya Novanto resmi ditahan KPK pada 19 November 2017.
Saat menjalani sidang perdana pada 13 Desember 2017, Setya Novanto kembali menimbulkan drama.
Ia menolak berbicara sama sekali dan memperlihatkan raut wajah seperti orang sakit.
Padahal, hasil pemeriksaan dokter menyatakan Setya Novanto sehat dan dapat menjalani persidangan.
Upaya tersebut diduga dilakukan untuk mengulur waktu karena pada saat bersamaan PN Jakarta Selatan membacakan putusan praperadilan yang diajukannya.
Setelah menjalani beberapa kali persidangan, Setya Novanto dinyatakan terbukti bersalah melakukan korupsi proyek e-KTP tahun anggaran 2011–2013.
Ia divonis 15 tahun penjara dan diwajibkan membayar denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan.
Selain itu, Setya Novanto diwajibkan membayar uang pengganti sebesar 7,3 juta dollar AS dikurangi Rp 5 miliar yang telah dititipkan kepada penyidik.
Majelis hakim juga mencabut hak politiknya selama 5 tahun setelah menjalani masa pidana.
Selanjutnya, Setya Novanto melakukan perlawanan hukum.
Melalui kuasa hukumnya, ia mengajukan Peninjauan Kembali (PK) pada Rabu (28/8/2019).
Perkara tersebut diregistrasi Mahkamah Agung pada 6 Januari 2020, lalu didistribusikan ke majelis hakim pada 27 Januari 2020.
Permohonan PK itu diputus dalam waktu lama, yakni sekitar 1.956 hari.
Mahkamah Agung akhirnya mengabulkan PK Setya Novanto.
Dengan putusan PK tersebut, hukuman Setya Novanto dipotong dari 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan penjara.
Kini, Setya Novanto bebas bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, pada Sabtu (16/8/2025).
Politikus Golkar tersebut bebas bersyarat setelah hukumannya dipotong Mahkamah Agung, berdasarkan putusan PK yang dibacakan pada Rabu, 4 Juni 2025.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie/Galuh Widya Wardani/Theresia Felisiani/Glery Lazuardi/Adi Suhendi)
Sumber: TribunSolo.com
Menteri Hukum Tegaskan Kritik Bebas Bersyarat Setya Novanto Bukan Urusan Pemerintah |
![]() |
---|
Pengacara Ungkap Keberadaan Setya Novanto, Ada di Jakarta Usai Bebas Bersyarat, Apa yang Dilakukan? |
![]() |
---|
Iuran Keamanan Rumah Setya Novanto di Pondok Indah Rp300 Ribu per Bulan, Sosok Ini yang Membayar |
![]() |
---|
Pembebasan Setya Novanto Jadi Kado Pahit HUT RI, Prabowo Dikritik Hanya 'Omon-Omon' |
![]() |
---|
Warga Sebut Rumah Mewah Setya Novanto di Pondok Indah Pernah Jadi Tempat Syuting Sinetron Si Cecep |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.