IDSurvey Dorong Praktik Bisnis Hijau Lewat Pendekatan Riset dan Teknologi
Transformasi menuju bisnis berkelanjutan semakin menjadi perhatian di kalangan dunia usaha.
Editor:
Dodi Esvandi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Transformasi menuju bisnis berkelanjutan semakin menjadi perhatian di kalangan dunia usaha.
PT IDSurvey (Persero) menyatakan kesiapannya untuk mendampingi perusahaan dalam menjalankan praktik bisnis hijau, melalui pendekatan berbasis riset, teknologi, dan tata kelola lingkungan.
Direktur Utama IDSurvey, Arisudono Soerono, menyampaikan bahwa perusahaan memiliki infrastruktur yang luas—terdiri dari 87 laboratorium, 144 cabang operasional, 12 layanan internasional, dan lebih dari 140 jenis layanan sertifikasi—yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung transisi hijau di sektor industri.
“Kami melihat banyak pelaku usaha yang ingin beralih ke praktik berkelanjutan, tapi belum tahu harus mulai dari mana. Di sinilah kami hadir, menjembatani antara standar keberlanjutan dan kebutuhan dunia usaha,” ujar Arisudono dalam forum Katadata SAFE 2025, Rabu (10/9/2025).
IDSurvey mengembangkan pendekatan berbasis tiga pilar utama:
- Dekarbonisasi, untuk membantu perusahaan menurunkan emisi dan mengelola karbon
- Eco-framework, yang menekankan efisiensi sumber daya dan kepatuhan terhadap regulasi lingkungan
- ESG & Sustainability, sebagai panduan untuk keberlanjutan jangka panjang
Melalui ketiga pilar tersebut, IDSurvey mendampingi perusahaan dalam proses transisi menuju bisnis yang lebih ramah lingkungan.
Salah satu inovasi yang dikembangkan adalah integrasi data laboratorium ke dalam sistem digital, yang kemudian dikaitkan dengan peta sebaran polusi berbasis satelit.
Teknologi ini memungkinkan deteksi dini dan pengendalian emisi secara lebih akurat.
Beberapa proyek telah menunjukkan hasil konkret.
Salah satunya adalah pemanfaatan limbah cair kelapa sawit (POME) menjadi biogas untuk co-firing, yang menghasilkan 33,7 ribu ton kredit karbon melalui IDXCarbon.
Di sisi lain, IDSurvey juga membantu perusahaan manufaktur yang sebelumnya belum memiliki perhitungan jejak karbon, hingga akhirnya mampu menekan konsumsi energi dan membuka akses ke pasar global.
Arisudono menekankan bahwa krisis iklim bukan lagi isu abstrak, melainkan tantangan nyata yang berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari.
“Perubahan iklim menyentuh udara yang kita hirup, laut yang memberi makan, dan tanah tempat kita berpijak. Green business bukan sekadar tren, tapi kebutuhan mendesak,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa perusahaan memiliki peran ganda sebagai pengguna dan penghasil emisi, sekaligus sebagai aktor penting dalam transisi menuju ekonomi hijau.
Dalam praktiknya, bisnis hijau mencakup berbagai aspek: mulai dari tata kelola transparan berbasis ESG, pengelolaan limbah menjadi energi (waste-to-energy), hingga dekarbonisasi.
Sektor logistik dapat bertransformasi melalui green & smart port, pembangunan fisik diarahkan ke green building, dan produk ramah lingkungan ditandai dengan eco-label.
Di sektor pariwisata, konsep eco-tourism menjadi alternatif yang menjaga alam sekaligus memberdayakan masyarakat.
Ekonomi sirkular juga menjadi bagian penting dalam memastikan efisiensi sumber daya, sementara pembiayaan berkelanjutan (sustainable financing) menjadi fondasi agar proyek-proyek hijau dapat terus berjalan.
Tarif Hotel Tembus Rp150 Juta per Malam, Konferensi Perubahan Iklim di Brasil Terancam Sepi Delegasi |
![]() |
---|
337 Orang Tewas Akibat Banjir Bandang di Pakistan, Puluhan Orang Hilang |
![]() |
---|
Sukses Turunkan Emisi Sektor Kehutanan, RI Raih Pendanaan Green Climate Fund 103,8 Juta Dolar AS |
![]() |
---|
10 Provinsi Pemilik Lahan Kelapa Sawit Terluas di Indonesia, Mana Saja? |
![]() |
---|
10 Negara Penghasil Minyak Kelapa Sawit Terbesar di Dunia, Indonesia Peringkat Satu |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.