Formappi Sarankan Pendidikan Anggota DPR Minimal Lulusan S1 karena Parpol Malas Kaderisasi
Pengetatan syarat pendidikan bukan jadi hal mendesak jika partai politik (parpol) mau bekerja keras untuk melakukan kaderisasi.
Penulis:
Mario Christian Sumampow
Editor:
Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus mendukung syarat calon anggota DPR minimal S1.
Hal itu menurutnya dapat menjadi alat kontrol untuk meningkatkan kualitas anggota di parlemen.
Formappi selama ini diketahui adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang fokus pada pengawasan kinerja parlemen, khususnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Mereka "concern" terhadap jalannya proses legislasi, anggaran, dan pengawasan terhadap DPR.
“Saya kira salah satu alat kontrol yang bisa diintervensi untuk mendorong peningkatan kualitas anggota parlemen, ya melalui peningkatan syarat minimum pendidikan calon anggota legislatif,” kata Lucius saat dihubungi, Rabu (24/9/2025).
Menurutnya, pengetatan syarat pendidikan bukan jadi hal mendesak jika partai politik (parpol) mau bekerja keras untuk melakukan kaderisasi.
Dorongan agar syarat minimal pendidikan calon anggota legislatif (caleg) justru lahir karena parpol yang malas melakukan kaderisasi.
“Jadi bagi saya untuk mengisi kemalasan parpol melakukan proses kaderisasi ya pengetatan syarat usia calon legislatif termasuk menaikkan syarat minimal pendidikan calon penting untuk dilakukan,” tuturnya.
Walakin, menaikkan syarat minimal pendidikan tidak otomatis membuat kualitas DPR meningkat. Banyak faktor, tegas Lucius, yang memengaruhi kualitas kebijakan yang disahkan DPR.
“Seperti urusan kepentingan dan problem oligarki partai politik yang mencengkeram anggota,” pungkasnya.
Sebagai informasi, syarat minimal pendidikan SMA bagi calon anggota DPR/DPRD digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh dua warga, Nanda Yuniza Eviani dan Muhammad Rafli Nur Rahman.
Mereka menilai aturan dalam Pasal 240 ayat (1) huruf e UU Pemilu merugikan hak konstitusional rakyat karena membuka peluang lahirnya legislasi yang lemah dan tidak berkualitas.
Dalam sidang perkara Nomor 162/PUU-XXIII/2025, para pemohon meminta syarat pendidikan calon legislator diubah menjadi minimal S1.
Menurut mereka, standar lulusan SMA tidak sebanding dengan tugas DPR/DPRD yang berwenang membuat undang-undang. Hal ini berpotensi melahirkan regulasi tumpang tindih, diskriminatif, dan abai pada kebutuhan masyarakat.
Pemohon juga menilai rakyat dipaksa tunduk pada produk hukum yang lahir dari wakil rakyat dengan kapasitas intelektual rendah. Padahal, profesi seperti hakim, jaksa, hingga advokat diwajibkan bergelar sarjana.
Usai Surpres Diumumkan, Komisi VI DPR Tancap Gas Bahas Revisi UU BUMN |
![]() |
---|
Ada Unjuk Rasa Petani, Polisi Alihkan Arus Lalu Lintas di Sekitar DPR |
![]() |
---|
Hari Tani Nasional, 8.340 Personel Gabungan Amankan Unjuk Rasa Petani di DPR dan Monas |
![]() |
---|
RUU KUHAP Dinilai Perlu Mengatur Lebih Ketat Soal Penerapan Aturan Upaya Paksa |
![]() |
---|
Doni Akbar Minta PT Timah Perbaiki Transparansi Harga dan Tuntaskan Sengketa Lahan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.