Ketua Umum IKA UPI Dorong Pengembalian Mandat Konstitusi untuk Anggaran Pendidikan Sebesar 20 Persen
Amich Alhumami menilai pemanfaatan anggaran pendidikan saat ini belum sesuai dengan konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
TRIBUNNEWS.COM - Ketua Umum Ikatan Keluarga Alumni Universitas Pendidikan Indonesia (IKA UPI), Amich Alhumami menilai pemanfaatan anggaran pendidikan saat ini belum sesuai dengan konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Hal itu diungkapkan doktor lulusan University of Sussex, Inggris, ini dalam focus group discussion (FGD) Revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) yang diselenggarakan Fraksi Partai Golkar di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta pada Rabu (1/10/2025).
“Pemanfaatan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN yang terdistribusi ke 22 Kementerian dan Lembaga tidak sesuai dengan mandat awal konstitusi, UUD 1945 pasal 31 ayat 4, yang semula hanya untuk dua kementerian saja, yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama sebagai penyelenggara pendidikan nasional,” ungkapnya, dikutip dari keterangan tertulis.
Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi sebagai berikut:
"Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional."
Anggota Dewan Pendidikan Tinggi Periode 2025-2029 Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi itu menilai patut disyukuri pemerintah sudah menunjukkan komitmen kuat untuk memenuhi mandat konstitusi tersebut.
"Meskipun alokasi anggaran pendidikan selalu meningkat dari tahun ke tahun, namun distribusi alokasi ke banyak K/L (Kementerian dan Lembaga) tidak sesuai dengan maksud awal penetapan anggaran 20 persen untuk pendidikan, sehingga dipertanyakan oleh banyak kalangan bahkan menjadi subjek gugatan dari banyak pihak," jelasnya.
Amich mengungkapkan, pada tahun 2026, dari RAPBN sebesar Rp 3.842,7 triliun, sebanyak Rp 756 triliun (20 persen) dialokasikan untuk pendidikan.
"Tetapi, anggaran sebesar ini justru tersebar ke 22 K/L yang tidak selalu sesuai dengan tujuan utama untuk mendukung program pendidikan, dan penerima manfaat juga bukan siswa dan mahasiswa serta satuan pendidikan yang berada di bawah kementerian pengampu utama dalam penyelenggaraan pendidikan nasional," ungkapnya.
Dari tahun ke tahun, lanjutnya, distribusi alokasi anggaran ke kementerian lain di luar tiga kementerian pengampu utama dalam penyelenggaraan pendidikan juga sangat besar.
"Untuk APBN 2025 mencapai Rp 104 triliun," ujarnya.
"Menimbang bahwa pada tahun-tahun ke depan banyak program di sektor pendidikan yang memerlukan pendanaan sangat besar, maka anggaran 20 persen harus dikembalikan ke mandat awal dan peruntukan semula khusus kepada kementerian yang secara konstitusional menjadi penanggung jawab penyelengaraan pendidikan," tekannya.
Baca juga: Revisi UU Sisdiknas Dinilai Urgen, UMS Tekankan Pemerataan dan Mutu Pendidikan
Mengingat saat ini struktur kabinet dalam pemerintahan baru ada pemecahan kementerian, maka distribusi anggaran 20 persen semestinya terbagi ke tiga kementerian, yaitu Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah; Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi; dan Kementerian Agama.
Deputi Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional / Bappenas RI ini menyebut mengembalikan mandat awal konstitusi untuk dunia pendidikan mampu menopang program Wajib Belajar 13 Tahun.
"Serta untuk menunaikan amar keputusan Mahkamah Konstitusi bahwa pemerintah wajib menyediakan layanan pendidikan dasar gratis baik di sekolah/madrasah negeri maupun swasta, yang memerlukan anggaran besar," ungkapnya.
Lebih lanjut, Amich mengapresiasi inisiatif Komisi X DPR RI untuk mengajukan RUU Sisdiknas.
"Patut diapresiasi sangat tinggi dan merupakan momentum yang tepat untuk mengoreksi kekeliruan dalam pelaksanaan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN," ujarnya.
Pandangan Golkar
Sementara itu Ketua Fraksi Partai Golkar DPR, Sarmuji menegaskan revisi UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dinilai sangat penting.
Terutama untuk memetakan kembali arah pendidikan Indonesia.
“UU Sisdiknas ini sudah berusia 22 tahun. Bisa dikatakan satu generasi. Saatnya kita bertanya, bagaimana hasilnya? Apa kabar pendidikan kita hari ini? Kita perlu melakukan review menyeluruh agar sistem pendidikan benar-benar menjadi motor kemajuan bangsa,” ujar Sarmuji dalam keterangannya, Rabu (1/10/2025).
Sarmuji kemudian menyinggung contoh negara seperti Korea Selatan dan Tiongkok yang dulunya berstatus negara berkembang, namun kini berhasil bertransformasi menjadi negara maju.
Ia menilai, kemajuan kedua negara tersebut dicapai berkat keberhasilan mereka dalam membangun sektor pendidikan.
“Ada satu faktor penting yang membuat mereka bisa melakukan lompatan vertikal peradaban, yaitu pendidikan. Kita pun bisa melakukan lompatan serupa asalkan ada perubahan fundamental dalam sistem pendidikan kita,” tuturnya.
Sarmuji juga menekankan janji kemerdekaan sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ia juga menyoroti pentingnya memperjelas konsep mandatory spending 20 persen untuk pendidikan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
“Anggaran pendidikan harus betul-betul diarahkan demi kemajuan dunia pendidikan kita. Apa kategori tentang anggaran pendidikan perlu diperjelas," kata Sarmuji.
RUU Sisdiknas Agar Selaras dengan Zaman
Dalam forum yang sama, Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, menekankan urgensi revisi UU Sisdiknas agar selaras dengan perkembangan zaman.
“UU Sisdiknas ini sudah cukup tua, sudah harus direvisi untuk disesuaikan dengan perubahan zaman. Pokok-pokok perubahannya mencakup tata kelola pendidikan, wajib belajar, dan lain-lain,” jelas Hetifah.
Ia menegaskan, RUU ini disusun dengan memperhatikan prinsip meaningful participatory/participation.
“Komitmen DPR adalah melibatkan berbagai pihak dalam proses penyusunan RUU Sisdiknas, demi menghasilkan regulasi yang lebih baik dan relevan dengan kebutuhan masyarakat,” ujarnya.
Hetifah juga membantah hoaks yang beredar di media sosial terkait revisi UU Sisdiknas.
“Ada isu bahwa revisi UU Sisdiknas akan menghapus hak-hak guru. Itu tidak benar. Justru yang ada adalah peningkatan hak-hak guru,” tandasnya.
Pengajar Bidang Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Yuli Indrawati, menegaskan bahwa alokasi 20 persen anggaran pendidikan tidak boleh sekadar formalitas angka, tetapi bagaimana dana itu digunakan secara tepat sasaran, transparan, dan efisien.
Ia menyoroti fakta bahwa sebagian besar anggaran masih terserap untuk gaji guru, sementara program peningkatan mutu, pelatihan, dan infrastruktur sering terpinggirkan.
“Kalau semua hanya habis untuk gaji, maka kualitas guru, pemerataan fasilitas, dan inovasi pendidikan akan terus terhambat,” tegasnya.
Yuli mengingatkan pentingnya belajar dari negara lain, seperti Finlandia dengan kesejahteraan guru, Singapura dengan efisiensi dan teknologi, serta Jerman dengan pendidikan vokasi.
Ia juga menekankan bahwa revisi UU harus memperjelas tata kelola berbasis prinsip subsidiarity dan memastikan mutu wajib belajar 13 tahun.
“Anggaran 20 persen itu harus diarahkan pada peningkatan mutu, bukan sekadar terserap untuk gaji dan administrasi,” imbuhnya.
(Tribunnews.com/Gilang Putranto, Fersianus Waku)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.