Kasus Korupsi PLTU Kalbar
Rumitnya Kasus Korupsi PLTU Kalbar yang Jerat Adik JK: Diselidiki 4 Tahun Lalu, Kasus High Profile
Kortas Tipikor Polri membeberkan kerumitan dalam pengungkapan kasus dugaan korupsi PLTU Kalbar yang menjerat adik JK.
TRIBUNNEWS.COM - Kasus dugaan korupsi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat (Kalbar) tahun proyek 2008-2021 sempat memiliki kendala saat awal penyelidikannya.
Hal ini disampaikan oleh Kepala Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kakortastipidkor) Polri, Irjen Cahyo Wibowo, dalam konfernsi pers di Gedung Bareskrim Polri, Senin (6/10/2025).
Cahyo mengatakan sebenarnya kasus korupsi ini sempat diselidiki oleh Polda Kalbar pada tahun 2021 lalu.
Namun, lantaran keterbatasan anggaran, maka dilimpahkan ke Bareskrim Polri pada Mei 2024.
Selain keterbatasan anggaran, kasus yang merugikan negara hingga Rp1,3 triliun ini dianggap kompleks.
"Begitu kita lihat bahwa perkara ini memang begitu kompleks dan cukup rumit. Sehingga tidak mungkin ditangani oleh Polda Kalbar dengan anggaran yang terbatas dan kemudian juga dengan kemampuan yang terbatas, dan ini sempat stuck di sana," kata Cahyo.
"Kemudian kita ambil alih di bulan Mei 2024. Dari penyelidikan kami tetap melibatkan dari penyelidik Polda Kalbar join investigasi," sambungnya.
Baca juga: 4 Fakta Halim Kalla, Adik Jusuf Kalla Terseret Kasus Korupsi PLTU 1 Kalbar, Rugikan Negara Rp1,35 T
Cahyo menuturkan tetap dilibatkannya penyelidik dari Polda Kalbar agar semakin memudahkan penyelidikan di tingkat Bareskrim Polri.
Ia juga mengungkapkan pelimpahan kasus ke Polri lantaran saat awal penyelidikan, para terduga pelaku merupakan sosok dengan latar belakang high profile.
Sebagai informasi, ada empat tersangka yang ditetapkan dalam kasus ini. Dua di antaranya merupakan Direktur Utama (Dirut) PT PLN Persero 2008-2009, Fahmi Mochtar, serta adik Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla (JK), Halim Kalla.
Adapun adik JK juga merupakan Presiden Direktur (Presdir) PT Bumi Rama Nusantara yang menjadi perusahaan yang dimenangkan oleh Fahmi Mochtar dalam proyek PLTU ini.
"Kenapa diambil alih, ya tadi kan melihat bahwa ini ada kita pandang sebagai high profile. High profile itu bisa dilihat dari calon tersangka, kerugian keuangan kemudian juga dari case-nya itu sendiri yang begitu rumit dan juga melibatkan para pihak yang dari pihak luar negeri yakni dari Singapura dan (perusahaan) OJSC dari Rusia," kata Cahyo.
Dalam kasus ini, Kortas Tipidkor menetapkan empat tersangka yakni Dirut PT PLN 2008-2009, Fahmi Mochtar; adik Wapres ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla (JK) sekaligus Presdir PT Bumi Rama Nusantara, Halim Kalla; Dirut PT Bumi Rama Nusantara berinisial RR; serta Dirut Praba Indo Persada berinisial HYL.
Akibat perbuatannya, negara dinyatakan total loss hingga mencapai 62.410.523 (62,4 juta) dolar AS serta Rp323.199.898.518 (Rp323,1 miliar).
Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 UU 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP.
Duduk Perkara
Pada kesempatan yang sama, Direktur Penindakan Kortas Tipikor, Brigjen Totok Suharyanto, menjelaskan duduk perkara kasus korupsi ini.
Totok menuturkan pada tahun 2008, PLN mengadakan proyek PLTU yang berlokasi di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat.
Lalu, saat proses lelang, Fahmi Mochtar yang saat itu menjabat sebagai Dirut PLN, melakukan pemufakatan jahat dengan memenangkan PT Bumi Rama Nusantara agar bisa mengerjakan proyek tersebut.
Padahal, kata Totok, perusahaan tersebut tidak memenuhi syarat.
"Selanjutnya dalam pelaksanaan lelang, diketahui bahwa panitia pengadaan atas arahan Direktur Utama PLN tersangka FM telah meloloskan KSO BRN, Alton, dan OJSC meski tidak memenuhi syarat teknis administrasi."
"Selain itu diduga kuat bahwa perusahaan Alton OJSC tidak tergabung dalam KSO (Kerja Sama Operasi) yang dibentuk dan dikepalai PT BRN (Bumi Rama Nusantara)," kata Totok.
Baca juga: Halim Kalla dan 3 Tersangka Korupsi PLTU 1 Kalbar yang Rugikan Negara Rp 1,3 T Belum Ditahan
Totok mengatakan pada tahun 2009, ketika adanya penandatanganan kontrak, KSO BRN telah mengalihkan proyek PLTU ke PT Praba Indo Persada.
Selanjutnya, Dirut PT Praba Indo Persada yang juga tersangka berinisial HYL menjadi pemegang keuangan KSO BRN.
Padahal perusahaan yang dipimpin HYL tidak memiliki kompetensi untuk mengerjakan proyek PLTU tersebut.
Masih di tahun yang sama, Fahmi Mochtar melakukan tanda tangan kontrak dengan RR terkait proyek PLTU dengan total nilai mencapai 80,8 juta dolar AS dan Rp507.424.168 (Rp507,4 miliar).
"Kemudian pada tanggal 24 Juni 2009, dilakukan tanda tangan kontrak oleh tersangka FM selaku Dirut PLN dengan tersangka RR selaku Dirut PT BRN dengan nilai kontrak 80.488.341 USD dan Rp507.424.168 atau total kurs saat itu Rp1,24 triliun saat itu," ujar Totok.
Dalam kontrak tersebut, pengerjaan PLTU Kalbar dilakukan dari 28 Desember 2009-28 Februari 2012.
Namun, hingga akhir kontrak, KSO BRN dan PT Praba Indo Persada tidak mampu menyelesaikan proyek itu meski telah dilakukan 10 kali amandemen.
"Akan tetapi faktanya pekerjaan telah terhenti sejak 2016 dengan hasil pekerjaan 85,25 persen. Sehingga PT KSO BRN telah menerima pembayaran dari PT PLN sebesar Rp323 miliar dan sebesar 62,4 juta dolar AS. Itulah yang merupakan total loss," katanya.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.